BerandaPasar Kreatif
Jumat, 20 Apr 2023 14:00

Menghidupi Keluarga dengan Melukis, Apakah Realistis?

Ge Haryanto menenteng lukisan wajah ulama masyhur Muhammad Lutfi Bin Yahya buatannya. (Inibaru.id/ Fitroh Nurikhsan)

Masa depan seniman acap dianggap suram karena penghasilan mereka yang nggak menentu. Namun, apakah realistis menghidupi keluarga dengan melukis? Begini kata pelukis Semarang, Ge haryanto.

Inibaru.id - Profesi sebagai pelukis kerap dipandang sebelah mata karena dianggap nggak bisa untuk menopang hidup, apalagi menjamin perekonomian keluarga. Namun, hal ini dimentahkan Ge Haryanto. Pelukis asal Kota Semarang itu dengan tegas mengatakan sebaliknya.

Mengenal dunia melukis sedari kecil, lelaki yang akrab disapa Ge itu mengaku menjadikan lukisan sebagai sumber penghasilan utamanya. Menurutnya, pendapatan itu cukup untuk menopang kehidupan keluarga kecilnya.

Dunia seni rupa agaknya memang nggak bisa dipisahkan dari hidupnya sedari balita. Bahkan, Ge yang mengaku sudah menyadari bakat itu sedari kecil pun segera memutuskan untuk belajar seni rupa ke dua sanggar lukis pada 1992.

"Saya belajar di dua sanggar lukis sekaligus, yakni di Seni Bianglala dan Imam Bonjol Kota Semarang pada 1992," tutur Ge kepada Inibaru.id belum lama ini.

Ge Haryanto sedang menyelesaikan pesanan lukisan di depan rumahnya. (Inibaru.id/ Fitroh Nurikhsan)

Setelah merasa cukup mumpuni dalam melukis, Ge memutuskan untuk merantau ke Bali. Di Pulau Dewata, kesehariannya dihabiskan untuk melukis. Namun, di sana dia nggak menganggap melukis sebagai sebuah pekerjaan, melainkan hobi yang dihargai.

Pelukis beraliran realisme itu bersyukur karena karya-karyanya cukup diminati orang lain. Hanya dengan mengandalkan menjual lukisan, dia mampu menghidupi istri dan ketiga anaknya.

"Alhamdulillah. Bersyukur, banyak orang yang membeli karya saya. Ada yang dari Jakarta, Yogyakarta, Sumatra, bahkan Malaysia," ungkap Ge.

Menurut pengakuan Ge, rahasia kesuksesannya meraih keuntungan dari dunia melukis adalah karena dia gencar promosi di sosial media. Sementara, dari segi teknis, agar lukisan awet, kuncinya adalah penggunaan cat minyak impor dari Belanda.

"Udah terbukti. Lihat salah satu lukisan saya di atas itu; saya buat pada 1997. Warnanya masih bagus," kata Ge sembari menunjukkan lukisan lawasnya. "Kalau cat warna buatan lokal, menurut saya semakin lama warnanya bakal pudar."

Alat yang Berkualitas

Karya-karya lukisan Ge Haryanto yang terpampang di dinding rumahnya. (Inibaru.id/ Fitroh Nurikhsan)

Apa yang diungkapkan Ge merupakan ilmu yang dia dapatkan dari dua sanggar tempatnya belajar. Dia mengatakan, gurunya waktu itu selalu mewanti-wanti agar dirinya selalu menggunakan kuas maupun minyak cat yang memiliki kualitas tinggi saat melukis.

"Modal" alat dan bahan berkualitas rupanya sejalan dengan pendapatan yang diterima Ge. Nggak hanya diminati kolektor dari dalam negeri, lukisan Ge juga diburu orang-orang dari luar negeri. Dia mengatakan, sebagian peminat saya tolak lantaran memesan lukisan dalam bentuk Non-Fungible Token (NFT).

"Saya nggak paham NFT itu seperti apa. Karena saya nggak ngerti ya saya tolak," ucapnya santai.

Ge mengaku, dirinya memang memilih mengerjakan apa yang paling dia mengerti saja. Untuk pembuatan lukisan, dia membatasi untuk sekitar 10 pesanan saja. Untuk satu lukisan, dia biasanya membutuhkan waktu minimal seminggu.

"Karena kaitannya dengan kepercayaan, saya setiap bulan membatasi 10 pesanan saja. Alasannya, saya nggak mau dikejar-kejar orang," kelakarnya. "Saat melukis saya juga nggak pernah nunggu mood bagus atau ilham. Pokoknya setiap waktu saya bisa melukis."

Untuk satu lukisan berukuran 40x50 sentimeter, Ge mematok sebesar Rp1.5 juta, sedangkan ukuran 60×80 sebesar Rp2,5 juta. Sementara, lukisan ukuran 70×90 dibanderol Rp4,5 juta. Adapun ukuran 80×100 dipatok Rp5,5 juta. Terakhir, untuk ukuran 100×120, harganya mencapai Rp6,5 juta.

Kalau sepuluh lukisan buatan Ge terjual dalam sebulan, bisa dibayangkan berapa pendapatannya dalam sebulan, kan? (Fitroh Nurikhsan/E03)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

KPU Jateng Fasilitasi Debat Cagub-Cawagub Tiga Kali di Semarang

4 Okt 2024

Masih Berdiri, Begini Keindahan Bekas Kantor Onderdistrict Rongkop Peninggalan Zaman Belanda

4 Okt 2024

Gen Z Cantumkan Tagar DESPERATE di LinkedIn, Ekspresikan Keputusasaan

4 Okt 2024

Sekarang, Video Call di WhatsApp Bisa Pakai Filter dan Latar Belakang!

4 Okt 2024

Mengapa Banyak Anak Muda Indonesia Terjerat Pinjol?

4 Okt 2024

Ini Waktu Terbaik untuk Memakai Parfum

4 Okt 2024

Wisata Alam di Pati, Hutan Pinus Gunungsari: Fasilitas dan Rencana Pengembangan

4 Okt 2024

KAI Daop 4 Semarang Pastikan Petugas Operasional Bebas Narkoba Lewat Tes Urine

4 Okt 2024

Indahnya Pemandangan Atas Awan Kabupaten Semarang di Goa Rong View

5 Okt 2024

Gelar HC Raffi Ahmad Terancam Nggak Diakui, Dirjen Dikti: Kampusnya Ilegal

5 Okt 2024

Kisah Pagar Perumahan di London yang Dulunya adalah Tandu Masa Perang Dunia

5 Okt 2024

Penghargaan Gelar Doktor Honoris Causa, Pengakuan atas Kontribusi Luar Biasa

5 Okt 2024

Ekonom Beberkan Tanda-Tanda Kondisi Ekonomi Indonesia Sedang Nggak Baik

5 Okt 2024

Tembakau Kambangan dan Tingwe Gambang Sutra di Kudus

5 Okt 2024

Peparnas XVII Solo Raya Dibuka Besok, Tiket Sudah Habis Diserbu dalam 24 Jam

5 Okt 2024

Pantura Masih Pancaroba, Akhir Oktober Hujan, Masyarakat Diminta Jaga Kesehatan

6 Okt 2024

Pasrah Melihat Masa Depan, Gen Z dan Milenial Lebih Memilih Doom Spending

6 Okt 2024

Menikmati Keseruan Susur Gua Pancur Pati

6 Okt 2024

Menilik Tempat Produksi Blangkon di Gunungkidul

6 Okt 2024

Hanya Menerima 10 Pengunjung Per Hari, Begini Uniknya Warung Tepi Kota Sleman

6 Okt 2024