Inibaru.id – Setiap tanggal 9 Februari, media massa Indonesia merayakan Hari Pers Nasional. Tanggal ini ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1985. Tapi tahukah kamu siapa Bapak Pers Nasional Indonesia?
Namanya adalah Tirto Adhi Soerjo. Berasal dari keluarga aristokrat Jawa dengan gelar Raden Mas, Tirto lahir di Blora pada 1880. Dia anak seorang Bupati bernama Raden Ngabehi Muhammad Chan Tirtodipuro. Karena asal muasalnya tersebut, pemilik nama kecil Djokomono itu berkesempatan mendapatkan pendidikan Eropa.
Berbeda dengan anak para bangsawan pada umumnya yang lebih memilih sekolah di bidang pemerintahan, Tirto pada usia 13 tahun lebih memilih sekolah dokter di Stovia pada 1893-1900. Keputusannya itu akhirnya menjadi titik terpenting dalam hidupnya. Hal itu menjadikannya bisa membandingkan antara kultur kasta bangsawannya, yang dianggapnya “kuno dan menindas”, dengan kultur “modern yang membebaskan”.
Tirto memulai kariernya dengan bekerja untuk Pembrita Betawi pada kurun 1901-1903. Bercita-cita membuat surat kabar sendiri, keinginan tersebut baru terwujud pada 1903. Dengan bantuan modal dari RAA Prawiradiredja, Bupati Cianjur yang sepakat dengan ide-idenya, berdirilah Soenda Berita.
Baca juga:
Djamaluddin Adinegoro, Pelopor Jurnalistik Indonesia dari Tanah Minang
Kartini, Pahlawan Perempuan dengan Pemikiran Out Of The Box pada Zamannya
Asal kamu tahu nih, surat kabar Soenda Berita adalah surat kabar pertama yang didirikan, dikelola, dan diterbitkan oleh orang pribumi. Oleh Tirto, surat kabar tersebut bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan bangsanya, menyiapkan pembaca memasuki dunia modern.
Mengutip Tirto.id (5/11/2016), setelah Soenda Berita, Tirto lalu menggagas penerbitan Medan Prijaji dan Soeloeh Keadilan pada 1907. Dua koran inilah yang lantas menegaskan pilihan jurnalistik Tirto, yakni memberikan pembelaan warga lewat tulisan, dan jika diperlukan disediakan pula bantuan hukum untuk korban penindasanoleh pemerintah kolonial dan golongan penindas lainnya.
Medan Prijaji bahkan bisa dikatakan pioner pers di Indonesia. Koran itu menyajikan berita-berita yang secara keras mengkritik kebijakan serta perlakuan kolonial kepada masyarakat pribumi. Bahkan kadang menelanjangi secara lugas orang-orang pribumi sendiri yang menjadi antek kolonial.
Untuk bahasa surat kabarnya, nyaris semua surat kabar yang digagas Tirto Adhi Soerjo, terutama Medan Prijaji, memakai bahasa Melayu rendahan alias bahasa Melayu pasar. Jadi nggak menggunakan bahasa yang terlalu tinggi dan sesuai dengan kaidah-kaidah baku pada saat itu.
Kenapa? Ini karena bahasa Melayu rendah ini merupakan bahasa pergaulan dalam masyarakat. Alhasil dengan memakai bahasa Melayu pasar, Medan Prijaji akan lebih dipahami dan bahkan menjadi media yang merakyat untuk semua kalangan. Bahkan bahasa Melayu rendah inilah yang kemudian menjadi cikal bakal bahasa Indonesia.
Nggak hanya itu saja, Tirto juga menjadi orang pertama yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk pendapat umum. Dia berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu. Hal tersebut berakibat beberapa kali ditangkap dan disingkirkan dari Pulau Jawa.
Dia pernah dibuang ke Lampung selama dua bulan karena tulisannya tentang penyalahgunaan jabatan di sebuah daerah. Tirto juga pernah dibuang pada 1912 ke Pulau Bacan, dekat Halmahera (Provinsi Maluku Utara sekarang) selama enam bulan. Dia dibuang terkait tulisannya yang mengecam Bupati Rembang Djojodiningrat dan menyinggung Gubernur Jenderal Idenburg.
Aksi-aksi pembelaan lewat media yang telah dilakukan Tirto itu merupakan wujud jurnalisme advokasi, dan Tirto adalah orang Indonesia pertama yang melakukannya, bahkan sejak ia masih bekerja untuk Pembrita Betawi.
Nggak hanya berperan besar di ranah jurnalistik, Tirto juga memberikan andil dalam riwayat pergerakan nasional bangsa Indonesia. Pada 1905, dia menggagas dibentuknya sebuah perhimpunan bernama Sarikat Prijaji. Dia jugalah yang mendirikan organisasi bernama Sarekat Dagang Islamiah (SDI) pada 5 April 1909 di Bogor.
Namun sayanga, karena pada 1912 Tirto dibuang ke Maluku, kepengurusan SDI yang berpusat di Bogor terbengkalai. Hingga akhirnya SDI di Solo menjadi pusatnya. Kelak SDI ini berganti nama menjadi Sarekat Islam (SI) yang pada akhirnya nanti menjadi organisasi massa terbesar di Indonesia.
Baca juga:
Darmanto Jatman, Penyair dan Psikolog yang Inspiratif
Yon Koeswoyo, Dedengkot Koes Plus yang Kini Telah Pergi
Nasib Tirto sendiri bisa dibilang tragis. Bagaimana nggak tragis, sepulang dari pengasingan dia terpuruk dalam kondisi yang memprihatinkan. Gerak-geriknya selalu diawasi dan dibatasi oleh penguasa kolonial. Nasib miris dan rasa keprihatinan akut itu berakibat buruk pada mental dan kesehatannya. Bahkan dia dikabarkan nyaris kehilangan ingatan dan akal sehat akibat penderitaan fisik dan batin yang menyerang dari mana-mana.
Akhirnya, pada 7 Desember 1918, Tirto meningal di Mangga Dua, Batavia. Pada usia 38 tahun, Tirto meninggal dalam kesunyian. Hanya segelintir orang yang mengantarkannya ke pemakaman. Atas karya dan perjuangannya dalam dunia Jurnalistik, Tirto ditetapkan sebagai Bapak Pers Nasional pada 1973. Lalu tanggal 10 November 2006, Tirto Adhi Soerjo memperoleh gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Maha Putra Adipradana.
Ya, sempat terlupakan dan menjadi legenda, perjuangan Tirto Adhi Soerjo layak dijadikan sebagai inspirasi. (ALE/SA)