Inibaru.id – “Hanya ada satu mata uang yang berlaku di mana-mana. Bukan Gulden Negeri Belanda, bukan Deutche Mark Jerman, bukan Poundsterling Inggris, dan bukan pula Dolar Amerika. Mata uang itu bernama kejujuran.”
Untaian kalimat di atas merupakan kutipan dari catatan perjalanan jurnalistik karya Adinegoro saat menjelajahi Benua Eropa pada 1926. Usianya ketika itu 22 tahun.
Tahu siapakah dia? Dikutip dari suarasurabaya.net, (8/2/2016), nama Adinegoro disematkan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai nama penghargaan untuk wartawan Indonesia berprestasi. Disebut “Hadiah Adinegoro", PWI menganugerahkan penghargaan tersebut bagi karya jurnalistik terbaik.
Penyematan nama Adinegoro dianggap sebagai bentuk penghargaan kepada Adinegoro sebagai tokoh pers Indonesia.
Kalau mendengar nama Adinegoro, Sobat Millens pasti berpikir sosok legendaris ini asli orang Jawa. Padahal Adinegoro ini mempunyai nama lengkap Djamaluddin Adinegoro, mendapatkan gelar Datuk Maradjo Sutan (1904-1967) yaitu seorang urang awak dari Tanah Minang, Sumatera Barat. Lo kok bisa? Ia menggunakan nama Adinegoro, sebagai samaran dalam dunia penulisan dan kepengarangan ketika sekolah di Stovia (Sekolah Dokter Bumiputra).
Pria yang lahir pada 1904 ini, diminta ayahnya untuk melanjutkan pendidikan di Jawa, yaitu di Stovia. Tapi dia menunjukkan minat yang besar terhadap dunia tulis menulis dan akhirnya dia menjadi pembantu tetap dari koran Tjahaja Hindia.
Baca juga:
Mengenal Tirto Adhi Soerjo, Bapak Pers Nasional yang Terlupakan
Kartini, Pahlawan Perempuan dengan Pemikiran Out Of The Box pada Zamannya
Adinegoro adalah orang Indonesia pertama yang menempuh kuliah jurnalistik di Jerman pada tahun 1926. Karya tulisnya yang berjudul Melawat ke Barat merupakan buku kisah perjalanan wartawan Indonesia ke luar negeri, diterbitkan oleh Balai Pustaka dalam tiga jilid pada tahun 1936. Dia lalu keluar dari Stovia dan memutuskan bersekolah di Eropa untuk mendalami jurnalistik.
Nah, pada saat perjalanan menuju Eropa tersebut, pada 1926 Adinegoro menuliskan catatan yang kemudian dibukukan menjadi buku Melawat ke Barat. Naskah tersebut sebenarnya adalah kumpulan dari tulisan yang dikirimkan oleh Adinegoro ke majalah Pandji Poestaka, milik Balai Poestaka.
Adinegoro juga menulis buku lainnya. Salah satunya berjudul Falsafah Ratu Dunia. Dalam karyanya itu, Adiegoro menyebutkan “Ratu Dunia” sebagai istilah mengenai pers.
Nggak hanya memperdalam jurnalistik, di Eropa, Adinegoro juga belajar tentang geografi dan kartografi di Wuerzburg, juga geopolitik di Muenchen, Jerman. Ilmunya soal perpetaan ini berguna ketika pecah Perang Dunia II, Adinegoro yang menggambarkan peta pergerakan perang itu. Wah, top banget!
Setelah Indonesia merdeka, pada 1948 Adinegoro pindah ke Jawa dan di Jakarta dia mendirikan majalah Mimbar Indonesia bersama dengan Prof. Soepomo, Prof. Moh. Noor, Soekardjo Wirjopranoto, dan Mr. Yusuf Wibisono.
Adinegoro juga sempat ditunjuk oleh Sukarno, Presiden pertama Republik Indonesia untuk menjadi Ketua Komite Nasional Sumatera, mengambil alih administrasi pemerintahan dari tangan Jepang. Dia pun sempat memimpin kepala penerangan Republik Indonesia di wilayah Sumatera, dan di Bukit Tinggi.
Pada 1951 dia mendirikan Yayasan Persbiro Indonesia dan mendirikan Perguruan Tinggi Publisistik yang kemudian berubah nama menjadi Sekolah Tinggi Publisistik. Diperluas menjadi Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, sekarang bertempat di Lenteng Agung, Jakarta Selatan dan juga menjadi Fakultas Publisistik di Universitas Padjajaran, Bandung.
Sebagai seorang jurnalis, Adinegoro senantiasa menulis atas dasar fakta, sumber tepercaya dan data kredibel. Sosok legendaris ini menempatkan ilmu jurnalistik bukan sekadar cerita biasa. Dia mampu memberikan referensi terperinci mengenai berita yang ingin disampaikannya.
Ya, komplet sudah sosok wartawan ini. Multitasking, multiplatform, multichannel ,dan multimedia berada dalam satu paket sosok Adinegoro.
Adinegoro meninggal dunia pada 1967 dengan meninggalkan warisan buku yang dikenang sampai sekarang. Karya-karya yang membesarkan namanya, seperti yang ditulis dalam suarasurabaya.net (8/2/2016) yaitu dua buah novel yang yang ditulis pada 1928, yaitu adalah Asmara Jaya dan Darah Muda.
Ajip Rosidi dalam buku Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia(1982), mengatakan bahwa Adinegoro merupakan pengarang Indonesia yang berani melangkah lebih jauh menentang adat kuno yang berlaku dalam perkawinan. Dalam kedua romannya Adinegoro bukan hanya menentang adat kuno tersebut, melainkan juga dengan berani memenangkan pihak kaum muda yang menentang adat kuno yang dijalankan oleh pihak kaum tua.
Baca juga:
Chrisye, Sang Legenda Musik Indonesia
Tino Sidin Tetap Akan Dikenang
Pada tahun 1950, atas ajakan koleganya Mattheus van Randwijk, Adinegoro membuat atlas pertama berbahasa Indonesia lo, Millens. Wow keren ya!
Atlas tersebut dibuat dari Amsterdam, Belanda bersama Adam Bachtiar dan Sutopo. Dari mereka bertiga, terbitlah buku Atlas Semesta Dunia pada 1952. Inilah atlas pertama yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia sejak Indonesia merdeka.
Pada tahun 1954, Adinegoro menerbitkan ensiklopedia pertama dalam bahasa Indonesia berjudul Ensiklopedi Umum dalam Bahasa Indonesia.
Nggak heran, sampai sekarang namanya masih diingat. (SR/SA)