Inibaru.id - Di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, muncul kebiasaan yang mungkin terasa unik bagi banyak orang yakni mengonsumsi serangga yang dalam musim hujan kerap bermunculan dari ladang dan sawah. Seekor serangga yang disebut Puthul menjadi bahan pangan lokal yang cukup populer; bukan hanya sebagai camilan, tetapi juga sering menjadi bekal anak-anak sekolah.
Apa dan Siapa Puthul?
Puthul adalah istilah lokal yang digunakan warga Gunungkidul untuk menyebut sejenis kumbang tanah dari keluarga Scarabaeidae (kadang disebut juga sebagai jenis Phyllophaga helleri) yang fase larvanya dikenal sebagai “uret”. Pada fase larva, hewan ini hidup di dalam tanah dan dikenal sebagai hama akar tanaman, termasuk padi gogo karena aktif memakan bagian akar.
Fase dewasa puthul muncul secara musiman ketika tanah mulai lembap, terutama saat musim hujan datang. Fenomena ini dalam tradisi setempat disebut sebagai musim “rampal”, yaitu masa di mana beberapa jenis serangga dan hewan tanah bermunculan serentak.
Larva puthul atau uret berbentuk menyerupai huruf “C”, berwarna putih kekuningan, tubuh lunak, dan hidup di dalam tanah, umumnya di kedalaman yang bervariasi tergantung kelembapan. Sementara itu, kumbang dewasa terlihat berwarna cokelat kemerahan, aktif terutama menjelang malam, dan terbang keluar dari tanah ketika musimnya tiba.
Dari Hama ke Hidangan: Olahan Puthul
Yang menarik, meskipun puthul dalam fase larva dianggap hama yang merugikan pertanian, masyarakat Gunungkidul telah menjadikannya bahan pangan yang bernilai lokal tinggi. Dua cara pengolahan paling populer adalah digoreng atau dibacem.
Nggak hanya unik secara budaya, puthul ternyata kaya gizi. Menurut riset yang dikutip oleh media, puthul yang dikeringkan bisa memiliki kadar protein hingga 30-40 persen. Selain itu, puthul juga mengandung lemak tak jenuh (Omega 3), vitamin B, zat besi, dan kalsium. Bahkan kulit luarnya mengandung kitin, yang bisa mendukung mikrobiota baik dalam sistem pencernaan manusia.
Namun, konsumsi puthul juga memerlukan kehati-hatian terdapat kemungkinan reaksi alergi pada sebagian orang, mirip seperti reaksi terhadap konsumsi udang atau serangga lain.
Puthul menjadi simbol bagaimana masyarakat Gunungkidul mampu merubah “masalah” (hama pertanian) menjadi “peluang”, baik sebagai sumber pangan alternatif dan bernilai ekonomi, maupun sebagai bagian dari tradisi yang menghargai siklus alam. Fenomena ini mencerminkan bahwa manusia dan alam bisa hidup berdampingan dengan saling mendukung, bukan hanya dalam kondisi ideal tetapi juga dalam tantangan ekologi dan sosial.
Berada di ladang atau sawah Gunungkidul pada musim hujan, bila tiba-tiba muncul kerumunan kecil kumbang tanah yang disebut puthul, sebenarnya kamu sedang melihat bagian dari ritual alam yang terjaga. Dari serangga yang pernah dianggap hama, tumbuhlah camilan renyah yang kaya gizi, buah kreativitas dan kearifan lokal. Puthul bukan hanya soal rasa gurih renyah semata, tetapi tentang makna bahwa setiap bagian alam punya potensi jika kita mampu melihat dan menghargainya. Betewe, kamu mau cobain puthul nggak nih, Gez? (Siti Zumrokhatun/E05)
