Inibaru.id - Konsep slow living semakin diminati di era modern, terutama oleh mereka yang ingin melarikan diri dari hiruk-pikuk kota dan menjalani hidup yang lebih tenang. Gaya hidup ini sering diasosiasikan dengan tinggal di desa—lingkungan yang jauh dari tekanan kehidupan urban.
Namun, menjalani slow living nggak sesederhana pindah ke desa dan menikmati suasana alam. Ada tantangan sosial yang tidak bisa diabaikan, salah satunya adalah tuntutan untuk bersosialisasi dan berbaur dengan masyarakat sekitar.
Di desa, interaksi sosial merupakan bagian nggak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Masyarakat pedesaan cenderung memiliki budaya gotong royong yang kuat, di mana setiap orang saling mengenal dan mendukung satu sama lain.
Dari kegiatan sehari-hari seperti bekerja di ladang, menghadiri acara keagamaan, hingga sekadar berbincang santai di warung, semua membutuhkan partisipasi aktif dari individu yang tinggal di sana.
Hal ini tentu berbeda dengan kehidupan di kota, di mana orang lebih terbiasa hidup secara individualis. Di kota, seseorang bisa memilih untuk menjaga jarak dari lingkungannya tanpa ada tuntutan sosial yang kuat. Sebaliknya, di desa, jarang berinteraksi dengan tetangga bisa dianggap sebagai sikap tertutup atau bahkan nggak menghargai komunitas.
Karena itulah, slow living lebih cocok bagi mereka yang siap dan mampu berbaur dengan masyarakat. Tanpa kesiapan untuk bersosialisasi, menjalani kehidupan santai di desa justru bisa menjadi pengalaman yang menegangkan, alih-alih menenangkan. Memilih untuk slow living berarti nggak hanya mencari ketenangan, tetapi juga siap menjadi bagian dari sebuah komunitas kecil dengan segala dinamika sosialnya.
Jika seseorang ingin mencoba gaya hidup ini namun merasa kurang nyaman dengan banyak interaksi sosial, ada baiknya untuk memulai dari hal kecil—misalnya, memperkenalkan diri kepada tetangga, ikut serta dalam acara desa, atau terlibat dalam kegiatan-kegiatan sederhana. Perlahan tapi pasti, membangun hubungan baik dengan masyarakat sekitar akan membuat hidup di desa menjadi lebih nyaman dan bermakna.
Pada akhirnya, slow living bukan sekadar hidup perlahan dan menikmati waktu, tetapi juga tentang memperkaya hidup dengan hubungan sosial yang harmonis.
Siapa pun yang ingin menjalani gaya hidup ini perlu memahami bahwa hidup santai di desa adalah keseimbangan antara menikmati ketenangan alam dan aktif menjalin koneksi dengan sesama.
Gimana, masih mau ber-slow living, Millens? (Siti Zumrokhatun/E05)