Inibaru.id – Di tengah tingginya arus anak muda yang pengin mendapatkan pekerjaan di Jakarta dan sekitarnya, Hayati yang sempat menghabiskan beberapa tahun hidupnya di sana justru memilih untuk pindah bekerja ke Kota Semarang. Dari sekian banyak alasan yang bikin dia akhirnya hijrah ke Ibu Kota Jawa Tengah ini, salah satunya adalah kehidupan yang jauh lebih tenang atau yang lebih akrab disebut sebagai ‘slow living’.
Mendapatkan pekerjaan di Jakarta memang bisa memberikan prestis tersendiri. Gaji besar, perkembangan karier yang mantap, tempat kerja yang keren di gedung-gedung pencakar langit, hingga dalam hal lebih mudahnya mendapatkan kesempatan untuk menonton konser musikus luar negeri serta menonton pertandingan Timnas. Tapi, semua hal keren itu didapatkan dengan syarat harus mengikuti alur kehidupan Jakarta yang dikenal serba cepat.
Bukan hal aneh melihat konten pengguna kereta commuter line Jakarta berlarian dan berdesak-desakan saat berangkat atau pulang kerja. Banyak pula yang baru bisa pulang ke rumah pada larut malam meski harus kembali berangkat kerja pada pagi buta. Kalau menurut Hindia di lagu berjudul Untuk Apa, ada lirik bertuliskan ‘seakan hidup hanya untuk bekerja’ yang bisa mewakili hal ini.
Meski belum banyak, realitanya kini mulai banyak generasi muda dari kalangan milenial maupun gen Z yang ternyata nggak tertarik dengan gaya hidup seperti itu. Ezra, misalnya. Lahir dan besar di Jakarta, dia justru menemukan kenyamanan saat kuliah di Yogyakarta. Andai mendapatkan kesempatan untuk bekerja di Kota Pelajar dengan gaji yang layak, dia mengaku bakal memilih untuk tetap tinggal alih-alih pulang.
“Pas setahun pertama tinggal di Jogja, yang bikin terkesan adalah nggak ada suara klakson berlebihan di jalanan. Kalau suntuk atau pengin nyari sunset, bisa ke pantai yang nggak jauh. Kalau soal UMR Jogja memang kurang ya. Tapi, jurusanku IT jadi bisa nyoba nyari kerjaan remote yang oke. Kalau itu terwujud, aku bakal stay di sini saja,” tulisnya di pesan WhatsApp pada Kamis (12/12/2024).
Balik lagi ke Hayati yang kini jadi pekerja kantoran di sebuah lembaga pendidikan yang berlokasi di dekat Balai Kota Semarang. Dia masih ingat betul saat dua tahun lalu dia dengan sigap mengajukan pindah kota saat kantor cabang Semarang membutuhkan staf baru.
“Gajinya mungkin turun ya dari saat kerja di Jakarta. Tapi tetap oke karena aku jadi lebih tenang hidupnya di sini karena biaya kos murah, nggak keburu telat karena jalanan di tengah kota jarang macet, dan aku juga sering jalan kaki dari kos. Di sini aku masih bisa minum teh dan bersantai melihat matahari pagi sebelum berangkat kerja,” ceritanya pada Rabu (11/12).
Beda dengan Hayati dan Ezra yang berasal dari Jakarta dan pindah ke kota yang lebih kecil, Wisnu yang kini tinggal dan bekerja di Kota Semarang justru memilih untuk mengambil langkah lebih ekstrem demi mendapatkan kehidupan slow living yang dia inginkan. Dalam dua pekan belakangan, dia rutin datang ke lereng selatan Gunung Ungaran mencari lahan yang bisa dia sewa untuk bercocok tanam.
Soal pekerjaan, laki-laki yang sudah memiliki perusahaan kecil itu mengaku pengin mewujudkan impiannya sejak dulu menjadi petani.
“Ungaran sama Semarang kan dekat. Jadi aku bisa dalam berapa hari dalam seminggu di Semarang ngurus kantor, di hari lain bisa menanam di ladang. Sengaja milih di sini karena lahannya subur, pemandangan alamnya bagus, dan udaranya sehat. Ini impianku banget hidup seperti ini,” ungkapnya, Minggu, (8/12).
Selain mereka bertiga, kalau kamu cermati, di media sosial, akun-akun yang menunjukkan kehidupan slow living seperti @matisyahdu dan @di_kakigunung di Instagram, atau @merekamcahaya di X (dulu Twitter), memiliki pengikut yang banyak. Di akun-akun itu, banyak pula anak muda yang saling berdiskusi atau sharing tentang kehidupan slow living yang bisa jadi pilihan alternatif untuk menikmati hidup.
Kalau kamu sendiri, apakah juga tertarik untuk menerapkan gaya hidup slow living, Millens? (Arie Widodo/E10)