BerandaFoto Esai
Senin, 31 Jan 2021 09:56

Mencari Cacing Sutra, Mendulang 'Emas' di Bawah Jembatan Citarum Semarang

Kalau melintas di Jembatan Citarum Semarang, tengkolah ke bawah. Di bawah jembatan yang membelah Sungai Banjir Kanal Timur itu, orang-orang mendulang cacing sutra. Setengah menyelam, di bawah terik matahari, mereka bertaruh nyawa demi cacing bernama latin Tubifex sp tersebut.<br>

Inibaru.id - Hanya kepala-kepala dengan pelindung kepala yang terlihat dari jembatan. Jika diperhatikan lebih saksama, badan mereka terbenam di air berlumpur di Sungai Banjir Kanal Timur (BKT), Kota Semarang. Merekalah para pendulang cacing sutra.

Perlu kamu tahu, cacing yang juga sering disebut tubifex, dari nama Latin Tubifex sp, adalah salah satu makanan utama dalam pembenihan ikan. Binatang "kosmopolitan" tersebut umumnya hidup di dasar danau, sungai, dan selokan, yang hidup menempel pada sedimen atau lumpur.

Cacing sutra bisa dibudidayakan. Namun, lantaran ketersediaan cacing ini cukup banyak di alam bebas, sebagian orang memilih mengambil langsung di habitat aslinya dengan cara mendulang lumpur sungai atau danau. Nah, inilah yang dilakukan mereka yang ada di sekitar jembatan BKT.

Nggak kurang dari 60 orang mendulang cacing di sungai yang membelah Kota Semarang bagian timur tersebut. Salah seorang di antaranya adalah Widodo. Lelaki 46 tahun itu memakai sejenis jaring kecil untuk mendulang lumpur di dasar sungai yang berisi cacing. Hasilnya langsung dimasukkan ke jerigen.

Mengobrol dengan Widodo, saya terpaksa turun ke bibir sungai. Melihat sungai yang kotor, enggan rasanya. Namun, begitu Widodo mengatakan sudah dua tahun menggeluti profesi mencari cacing, saya langsung tertarik. Apa yang membuatnya bersedia bertahan dengan pekerjaan itu sekian lama?

Agaknya, dia nggak bermasalah dengan lumpur yang pekat dan sungai yang keruh di BKT, sedangkan pikiran saya telah melayang ke mana-mana. Ha-ha. Dia juga nggak terlihat risau dengan cuaca menjelang siang yang sudah cukup menyengat saat saya menyambanginya.

Widodo sebetulnya bisa memilih mencari cacing di bawah jembatan yang teduh, tapi dia menolak. Menurutnya, ada sesepuh penunggu jembatan. "Berbentuk ular besar!” kata dia, yang sontak membuat saya mengulum senyum karena sebelumnya saya berpikir bakal ada alasan yang lebih ilmiah terlontar dari mulutnya.

Di dekat Widodo, ada Banggok. Banggok agaknya lebih senior dalam urusan mencari cacing ketimbang Widodo. Sosok 50 tahun itu memang mendaku sebagai pakar dalam mendulang cacing sutra. Hal itu diamini Widodo.

Di sela kesibukannya "menyelam" separuh badan, Banggok mulai bercerita tentang pencarian cacing sutra. Menurutnya, mencari cacing sutra nggak bisa ngasal, harus tahu kondisi lumpur di sungai. Jadi, nggak semua bagian sungai jadi habitat koloni cacing sutra.

“Pokoknya cari lumpur yang licin,” ungkapnya, yang kemudian dengan gamblang menceritakan bahwa mendulang cacing adalah profesi yang cukup menjanjikan.

Oya, cacing sutra umumnya dijual dalam dua bentuk: kering dan segar. Nah, produk cacing segar inilah yang biasa dijual Banggok dkk. Mereka menjualnya dalam bentuk literan. Seliter cacing dibanderol Rp 40 ribu. Per hari, rata-rata mereka bisa menjual 4-5 liter. Banggok bahkan mengaku kadang menjual lebih dari 10 liter.

“Sering dapat Rp 400 ribu sampai Rp 500 ribu sehari,” katanya, yang seketika membuat saya pengin beralih profesi. "Bagi yang baru belajar, sehari dapat Rp 100 ribu saja sudah cukup baik."

Banggok dkk biasanya mulai kungkum di sungai sekitar pukul 07.00 WIB dan mentas menjelang Zuhur atau sekitar pukul 12.00 WIB. Cacing-cacing yang masih berlumpur itu kemudian dibawa pulang dan dibersihkan. Penasaran, saya pun mengikuti proses pembersihan cacing-cacing jambon nan lembut itu.

Untuk memisahkan cacing dari lumpur, Banggok dibantu istrinya. Segera setelah tiba di rumah, cacing hasil mendulang di BKT langsung dituang ke ember, lalu direndam air selama dua jam untuk membuat cacing terpisah dari lumpur.

“Cacing akan mengambang, sedangkan lumpurnya tenggelam,” terang lelaki yang tinggal di Jalan Banjir Kanal, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang, tersebut. Sejumlah pendulang cacing yang menjadi rekan kerjanya juga berasal dari daerah tersebut.

Cacing yang sudah berpisah dengan lumpur itulah yang kemudian dijual. Pembelinya rata-rata akan menjualnya lagi dalam porsi yang lebih kecil. Ada pula para pehobi dan penjual ikan yang menampung hasil buruannya itu.

Menurut Banggok, kendati hasilnya lumayan, ada saat-saat dia nggak bisa bekerja atau pendapatannya turun drastis, misalnya ketika musim hujan tiba. Ketinggian air di BKT yang naik dengan arus yang deras membuat keselamatannya terancam. Selain itu, cacing di dasar sungai juga biasanya ikut tersapu air. Saat seperti itu dia pun memilih meliburkan diri.

Untuk urusan keselamatan, Banggok dkk memang cukup peduli. Namun, mereka menutup mata pada risiko kesehatan seperti terserang penyakit gatal atau semacamnya. Urusan perut lebih penting. Meski begitu, Banggok tetep melindungi diri dengan menyediakan obat gatal. Dia juga nggak peduli kalau profesinya dipandang sebelah mata oleh orang lain.

“Kalau ingin hidup, bekerja apa saja, nggak perlu malu!” pungkasnya, yang seketika membuat saya tertawa, sebelum akhirnya memilih pamitan. (Audrian F/E03)

Banggok, salah seorang pencari cacing sutra di sungai Banjir Kanal Timur. <br>
Di bawah jembatan Citarum.<br>
Mendulang lumpur agar mendapat cacing sutra.<br>
Widodo, dua tahun menjadi pendulang cacing. Dia sudah terbiasa dengan keruh air sungai dan sejumlah ancaman lainnya. <br>
Menggunakan dirijen bekas untuk menampung cacing sutra.<br>
Saling bertukar informasi tentang tangkapan hari ini.
Banggok lebih dulu mentas daripada dua teman lainnya.<br>
Sudah memasuki tengah hari, waktu untuk pulang.
Istri Banggok membantu penyaringan cacing sutra dari lumpur.
Cacing sutra siap jual.<br>

Tags:

ARTIKEL TERKAIT