Inibaru.id - Kampung Darat yang berada di Semarang Utara ini punya banyak cerita. Sebelum menjadi bagian Kelurahan Dadapsari, daerah ini bernama Kampung Melayu Darat.
Kata "Darat" yang tetap melekat seakan menegaskan asal usulnya. Yap, kampung ini menjadi tempat bermukim Kiai Haji Muhammad Sholeh bin Umar As-Samarani atau lebih akrab disebut dengan Kyai Sholeh Darat. Dia adalah mahaguru para kiai besar.
Dua kiai yang merupakan muridnya adalah KH Hasyim Ash’ari, pendiri Nahdatul Ulama dan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. RA Kartini juga merupakan santri karismatik ini, lo.
Selain menjadi tempat tinggal tokoh Islam yang disegani, Kampung Darat merupakan tempat bernaung puluhan penjual kopi keliling. Salah seorangnya, Sutomo. Lelaki 60 tahun ini biasa berkeliling menjajakan kopi dengan bersepeda.
Tomo, panggilan akrabnya, mengenang masa-masa awal dia berjualan kopi pada 1975. Dia terinspirasi ayah dan kakaknya yang lebih dulu melakoni profesi yang sama.
Menurut Tomo, banyaknya pedagang kopi keliling di Kampung Darat karena satu alasan. Dulu, ada seorang juragan kopi bernama Ali Kholil. Dia adalah cucu Kiai Soleh Darat, tokoh yang lekat dengan kampung ini.
“Ali Kholil dulu kopinya banyak. Ramai,” ujar Sutomo.
Seiring kesuksesan usaha kopi ini, Ali Kholil mempekerjakan banyak orang. Barangkali karena getok tular, banyak orang Tegal yang menjadi pegawai Ali Kholil termasuk ayah dan kakak Tomo.
Di sini, mereka nggak cuma mencari uang tapi juga menimba ilmu agama dengan nyantri di Pondok Pesantren Darat. Seperti santri lainnya, mereka tidur di masjid. Selain memperdalam ilmu agama, para pegawai ini juga diberi pengetahuan seputar kopi.
“Jadi nggak hanya jual saja,” terang Tomo.
Tomo ingat ketika usaha kopi Ali Kholil masih jaya, harga kopi murah. Karena itu, dia nggak merasa keberatan membelinya. Jadi, selain menjadi pegawai yang menjualkan produk bosnya, dia juga kulakan.
Sayangnya, masa kejayaan itu tumbang juga. Harga kopi semakin mahal dan sulit dicari. Banyak pedagang kopi yang akhirnya berhenti atau pulang ke daerahnya karena nggak sanggup kulakan. Nggak adanya penerus sepeninggal Ali Kholil, membuat produksi kopi benar-benar mandek.
“Kopi Pak Ali Kholil tinggal kenangan,” ujarnya.
Selain dirinya, masih ada pedagang kopi keliling dengan sepeda. Tapi, mereka bukan didikan Ali Kholil. Jika dihitung menurut Tomo saat ini hanya tersisa empat orang dan lokasi mereka tersebar.
Secara pribadi, Tomo nggak menyarakan orang lain menjalankan profesi ini. Namun baginya yang sudah kadung jauh melakoninya, menjadi penjual kopi keliling merupakan jalan hidupnya. Dia bahkan pernah menolak tawaran pekerjaan lain.
“Saya pernah ditawari kerja jadi tukang bersih-bersih di suatu perusahaan. Tapi saya lebih memilih jualan kopi saja. Sekalian olahraga,” tutupnya.
Hm, menarik ya, Millens? Etapi, kamu sudah pernah beli kopi murni dari Pak Tomo belum nih? (Audrian F/E05)