Inibaru.id - Pada 14 Oktober 1945 selepas magrib telepon rumah Dokter Kariadi berbunyi. Dia menerima informasi dari Kepala Pusat Rumah Sakit Rakyat (Pusara) Semarang bahwa tandon air Reservior Siranda ditebar racun oleh Tentara Jepang.
Tanpa pikir panjang, lelaki kelahiran Malang itu bergegas menuju tandon air di Jalan Wungkal untuk memastikan kebenaran informasi tersebut. Istri Kariadi, Soenarti sempat mencegah agar suaminya tetap di rumah. Pasalnya, situasi di Kota Semarang kala itu sedang genting.
Namun, Kariadi tidak mengindahkan imbauan tersebut. Dia bersikeras untuk memastikan desas-desus tersebut. Bersama sopir, Kariadi pun berangkat menuju lokasi.
Dalam perjalanan menuju tandon air Reservior Siranda, Dokter Kariadi tak sengaja terjebak dalam kerusuhan tahanan Jepang dengan Polisi Istimewa, tepatnya di depan Sekolah Pelayaran yang berlokasi di Jalan Ahmad Yani. Tak disangka Kariadi tewas, diduga ditembak oleh Tentara Jepang di tengah huru-hara tersebut.
Sebelum dinyatakan meninggal dunia, Kariadi sempat dilarikan ke rumah sakit. Sayangnya, nyawa Kariadi tidak bisa diselamatkan. Sejurus kemudian berita gugurnya Kariadi menyulut kemarahan warga Semarang. Hari-hari berikutnya situasi di Kota Lunpia semakin genting, dimana-mana terjadi peperangan antara warga lokal dengan Tentara Jepang. Peristiwa itu lalu dikenal dengan sebutan "Pertempuran Lima Hari di Semarang".
Siapakah Dokter Kariadi?
Nama Kariadi harum di Kota Atlas. Sepak terjang dan pengabdiannya di bidang pelayanan kesehatan menjadikan namanya kini diabadikan jadi nama Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) di Kota Semarang.
Kariadi lahir 15 September 1905. Bungsu dari dua bersaudara itu masih belia ketika kedua orang tuanya meninggal dunia. Kariadi kecil lalu diasuh dan dibesarkan oleh pamannya.
Tinggal di lingkungan kewedanaan zaman Hindia-Belanda dan dalam pengasuhan pamannya ternyata sebuah keberuntungan. Pasalnya Kariadi bisa menuntut ilmu di Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Malang dan HIS Sidoardjo. Setelah lulus, Kariadi melanjutkan studinya dengan masuk ke sekolah dokter di Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS) Surabaya.
Ketika masa-masa menjalani pendidikan di NIAS, Kariadi bertemu dan memadu kasih dengan Soenarti. Perempuan yang akhirnya jadi istrinya itu bukan sosok sembarangan. Dia merupakan dokter gigi pribumi pertama di era Hindia-Belanda.
Setelah disumpah jadi dokter, Kariadi pun memulai praktek di berbagai tempat. Di sela-sela kesibukkannya, Kariadi masih menggeluti hobi fotografi dan dia sempat melakukan penelitian tentang penyakit Malaria dan Filaria.
Rumah Dinas Terakhir
Singkat cerita, selepas bertugas di Martapura pada tanggal 15 Mei 1942, Kariadi kembali ke Pulau Jawa. Dia langsung mendapat mandat sebagai Kepala Laboratorium di Rumah Sakit Rakyat Semarang atau sekarang dikenal dengan nama RSUP Dr Kariadi Kota Semarang.
Menurut Pemerhati Sejarah Mozes Christian Budiono, kali pertama menginjakkan kaki di Semarang, Kariadi beserta keluarganya tinggal di Jalan Kaligarang nomor 8. Tak berselang lama, Kariadi pindah menempati rumah dinas barunya di Karangtempel nomor 196.
"Sebelum gugur, Dokter Kariadi berangkat dari sini, pamitan. Jadi rumah dinas di belakang kita ini tempat persinggahan terakhir beliau di Semarang," kata Mozes sembari menunjuk sebuah bangunan rumah kosong disisi kiri jalan Dr Cipto.
Berdasarkan sumber buku dan koran-koran lawas, Mozes yakin rumah kosong tak terawat yang bagian depannya ditutupi seng itu pernah ditinggali tokoh bersejarah di Kota Semarang.
Untuk membuktikan rumah kosong itu pernah ditinggali Kariadi, Mozes berharap Pemerintah Kota Semarang melakukan penelitian dengan kalangan akademisi maupun sejarawan. Jika dinyatakan benar, rumah kosong itu harus dirawat dan dialihfungsikan sebagai tempat untuk mengenang perjuangan Kariadi.
"Saya pribadi berharap rumah bersejarah itu difungsikan sebagai museum. Bukan museum Kariadi saja tapi museum Pertempuran Lima Hari di Semarang. Nama Kariadi kan identik sekali dengan peristiwa besar itu," ungkapnya.
Dijelaskan Mozes, keluarga terutama istri sangat terpukul dengan meninggalnya Kariadi. Untuk menghilangkan trauma mendalam, istri dan anak-anak Kariadi kemudian memutuskan pindah ke Salatiga. Selanjutnya, rumah bekas Kariadi tersebut ditempati oleh Dokter Raden Sanjoto.
Sementara itu, Ketua RT setempat Wijayanto membeberkan, nomor rumah di sepanjang jalan Dr Cipto Kelurahan Karangtempel, Kecamatan Semarang Timur nggak pernah berubah dari dulu. Dia juga membenarkan bahwa rumah kosong di samping kanannya pernah ditempati Dokter Raden Sanjoto.
"Pas saya pindah ke sini tahun 1982, pak Sanjoto udah meninggal dunia. Di rumah itu ditinggali oleh Bu Sanjoto dan anak-anaknya," ucap Wijayanto.
Medio akhir 90-an sampai sekarang rumah itu tak berpenghuni. Sepengetahuannya, status rumah kosong bekas tempat tinggal Dokter Kariadi saat ini tercatat dimiliki oleh seorang pengusaha rokok ternama di Tanah Air.
Menarik menyimak kisah hidup dan jasa-jasa dari Dokter Kariadi ya, Millens? Sebagai anak muda yang menghargai jerih payah dari pahlawan pendahulu, sudah selayaknya kita menghargai dan merawat semua bentuk peninggalan, termasuk tempat tinggal. Semoga rumah kosong di Jalan Dr Cipto 196 itu mendapat perhatian dari pemerintah setempat. (Fitroh Nurikhsan/E10)