Inibaru.id – Nggak terasa, gempa Jogja 2006 sudah berlalu 18 tahun silam. Kala itu, gempa yang terjadi pada 27 Mei 2006 dengan kekuatan Magnitudo 5,9 muncul dari Sesar Opak menewaskan 5.778 orang di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan sejumlah wilayah di Jawa Tengah.
Saking mengerikannya bencana yang bikin lebih dari 800 ribu orang kehilangan tempat tinggal tersebut, gempa darat dengan kedalaman hanya 11,3 kilometer menurut perhitungan BMKG ini sampai membekas hingga sekarang. Orang Yogyakarta sampai mengenangnya dengan Lindu Gede yang bermakna gempa besar.
Orang Jawa memang punya istilah sendiri untuk menyebut gempa, yaitu "lindu". Alasannya tentu saja adalah saking seringnya bencana ini muncul di Pulau Jawa. Maklum, layaknya di sebagian besar wilayah Indonesia, Jawa berada di cincin api dan pertemuan lempeng dunia. Lebih dari itu, di Jawa juga ada cukup banyak sesar-sesar dan patahan yang bisa memicu gempa kapan saja.
Diperkirakan, istilah "lindu" sudah eksis sejak abad ke-11. Yap, orang Jawa ternyata sudah mengenal gempa sejak kurang lebih 1.000 tahun yang lalu. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya istilah ini di sejumlah karya sastra Jawa pada zaman Hindu-Buddha seperti Kakawin Arjunawiwaha, Bharatayuda, Kidung Sunda Adiparwa, Sumanasantaka, hingga Bhomakaya.
“Istilah lindu kan dari Bahasa Jawa. Tapi, dalam Bahasa Sunda, ada istilah kalindwan yang maknanya adalah kondisi di mana bumi berguncang. Bahasa Sunda mengenal istilah lindu untuk gempa,” ucap arkelog sekaligus pengajar sejarah dari Universitas Negeri Malang Dwi Cahyono sebagaimana dinukil dari Historia, (13/8/2018).
Tapi, beda dengan zaman sekarang di mana gempa lebih dicermati dengan ilmu, pada masa lalu, gempa dianggap sebagai pertanda alam dan terkait dengan sejumlah mitologi.
Masyarakat Jawa pada zaman dahulu percaya bahwa di dalam bumi ada dua ekor naga yang jadi penopang sekaligus penjaga kedamaian bumi. Mereka adalah Naga Anantara atau Anantaboga yang ada di perut bumi, serta Naga Sesa atau Anantasesa/Adisesa yang di dasar laut.
“Kedua naga ini dikenal sebagai nogo bumi oleh orang Jawa,” lanjut Dwi.
Pasca-kejayaan Kerajaan Hindu-Buddha, sejumlah arsip kuno pada masa penjajahan Belanda juga mengungkap adanya gempa di Tanah Jawa. Yang paling jelas adalah rekaman gempa 1867 di Babad Pakualaman yang ditulis oleh Gusti Kanjeng Raden Ayu Adipati Paku Alam alias Siti Jaleka, istri dari Paku Alam VI. Gempa itu sampai bikin Beteng Keraton Yogyakarta dan sejumlah bangunan di Kotagede dan Makam Imogiri mengalami kerusakan parah, Millens.
“Catatan gempa di Babad Pakualaman itu cukup rinci menunjukkan kengerian gempa di Yogyakarta yang terjadi pada waktu subuh tersebut,” lanjut Dwi.
Yap, orang Jawa ternyata mengenal istilah "lindu" sekaligus gempa sudah sangat lama, ya, Millens. Karena sejarah dengan gempa cukup panjang, alangkah baiknya kita lebih bijak dalam mengenal mitigasi gempa. Setuju? (Arie Widodo/E10)