BerandaTradisinesia
Jumat, 1 Des 2022 09:59

Sejarah Jongos dan Babu yang Erat dengan Praktik Perbudakan

Potret seorang babu pada masa penjajahan. (VOI/Wikimedia Commons)

Jongos dan babu dianggap sebagai istilah kasar untuk menyebut pembantu atau pelayan. Ternyata, kesan kasar dan rendah ini berasal dari sejarah kelam yang harus mereka alami pada masa penjajahan Belanda, lo. Seperti apa sih sejarahnya?

Inibaru.id- Kata ‘babu’ dan ‘jongos’ biasanya dimaknai sebagai orang-orang yang bekerja melayani orang lain. Kedua istilah tersebut dianggap sebagai versi kasar dari pelayan, pembantu, atau asisten rumah tangga. Tapi, kamu tahu nggak kalau istilah ini menyimpan sejarah yang cukup kelam di masa penjajahan Belanda?

Jongos adalah istilah bagi pembantu berjenis kelamin laki-laki. Tapi, menurut sejarawan Universitas Negeri Makasar Dimas Aryo Sumilih, makna istilah jongos awalnya sangat berbeda. Soalnya, istilah ini berasal dari kata ‘jong’ atau ‘jung’, sebutan bagi perahu layar kuno dari Jawa yang dipakai para saudagar saat membawa rempah-rempah ke luar negeri.

Lantas, kok bisa maknanya berubah menjadi sebutan untuk pembantu? Kalau itu disebabkan oleh para anak buah kapal yang bekerja keras dan mau melakukan apa saja yang diperintahkan para saudagar atau nahkoda.

“Jong akhirnya dianggap sebagai simbolisasi kerja keras, nggak putus asa, dan berani mengambil risiko. Sikap inilah yang dianggap identik bagi para ‘jongen’ atau ‘jonges’. Dalam Bahasa Belanda, ‘jongen’ juga bisa diartikan sebagai anak laki-laki,” ucapnya sebagaimana dilansir dari VOI, (3/7/2020).

Para jongos yang dipekerjakan sebagai pelayan rumah makan. (VOI/Wikipedia Commons/KITLV)

Penyebutan ‘jongen’ atau ‘jonges’ yang kemudian berubah menjadi jongos ini meluas dari yang awalnya hanya untuk para anak buah kapal ke pelayan-pelayan di bidang lain. Apalagi, para jongos pribumi dikenal cekatan dan sangat rajin melakukan permintaan atasannya atau para tamu. Kebutuhan jongos-jongos pribumi di berbagai sektor rumah tangga dan bisnis kolonial pun semakin tinggi.

Sayangnya, menurut National Geographic Indonesia, Jumat (3/9/2021), nggak semua jongos diperlakukan seperti karyawan yang bekerja dan mendapatkan bayaran dari majikannya. Sejak VOC menguasai perdagangan di Nusantara, sebagian dari jongos-jongos ini justru diperbudak.

“Orang Belanda di sana melibatkan budaknya untuk membantu pekerjaan rumah tangga, pekerjaan di gudang-gudang dan kapal, serta sebagai simbol untuk menaikkan status mereka,” ungkap Heather Sutherland dalam buku Slavery and Slave Trade in South Sulawesi yang terbit pada 1983. Buku ini menceritakan perbudakan di Tanah Air sudah muncul sejak akhir abad ke-17.

Tugas Babu

Potret seorang babu zaman dahulu. (Nationalgeographicindonesia/KITLV/Woodbury and Page)

Jika ada pelayan laki-laki, tentu ada pelayan perempuan, bukan? Nah, untuk yang satu ini, terkait dengan istilah ‘babu’. Pada zaman kolonial, istilah ini berasal dari kata ‘mbah iboe’ karena yang melakukannya adalah perempuan dewasa atau usia lanjut. Saat itu, profesi babu punya tugas yang sangat spesifik, yaitu hanya merawat anak majikan dan mengurus kamar anak.

Sayangnya, saat abad ke-20, orang-orang kulit putih Eropa di Nusantara semakin ingin menunjukkan keunggulan rasnya sehingga nggak lagi mempercayakan para babu ini mengurus atau bahkan menyuapi anak-anaknya. Tugas ini kemudian diberikan pada pengasuh anak yang didatangkan langsung dari Eropa.

Sejak saat itulah, peran babu pun bergeser menjadi pembantu rumah tangga. Selain itu, status mereka pun dianggap sangat rendah, persis layaknya para jongos yang diperbudak. Gara-gara hal ini, istilah babu dan jongos pun dianggap kasar dan rendah. Kesan ini pun bertahan hingga sekarang, puluhan tahun setelah Indonesia merdeka.

Nggak nyangka ya sejarah babu dan jongos cukup kelam di masa penjajahan, Millens? (Arie Widodo/E10)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Buka Sampai Tengah Malam, Nasi Kuning Mbah Jo Yogyakarta Selalu Dijejali Pelanggan

16 Jan 2025

Sepakat Berdamai setelah Seteru Sengit Antara PP dan GRIB Jaya di Blora

16 Jan 2025

Gambaran Keindahan Kepulauan Canaria di Spanyol pada Film 'Killing Crabs'

16 Jan 2025

Kata Orang Tua Siswa tentang Penjual Jajanan di Sekolah

16 Jan 2025

Mulai 1 Februari, KA Sancaka Utara 'Comeback' dengan Relasi Diperpanjang hingga Cilacap

16 Jan 2025

Menghadapi Dilema Bekal vs Jajanan di Sekolah; Bagaimana Sikap Orang Tua?

16 Jan 2025

Rujak Mitoni dan Tradisi 'Gender Reveal' di Batang

16 Jan 2025

Bakal Diisi Siswa Pintar dan Berprestasi, Apa Itu SMA Unggulan Garuda?

17 Jan 2025

Mencari Tahu Sejarah Nama Kecamatan Kunduran di Blora

17 Jan 2025

204 Pendaftar Pelatihan Keterampilan Gratis di BLK Rembang, Bakery Jadi Kejuruan Favorit

17 Jan 2025

Fenomena 'Sad Beige Mom', Benarkah Warna Netral Bisa Mempengaruhi Perkembangan Anak?

17 Jan 2025

Mulai Hari Ini, Kamu Bisa Wisata Perahu di Kali Pepe di Gelaran Grebeg Sudiro Solo!

17 Jan 2025

'Asura', Serial Keluarga Terbaru dari Koreeda Hirokazu

17 Jan 2025

Memasak Wajik untuk Hajatan; Lelaki Mengaduk, Perempuan Meracik

17 Jan 2025

Setelah Jadikan Ratu Kalinyamat sebagai Pahlawan Nasional, Apa Langkah Lestari Moerdijat Selanjutnya?

17 Jan 2025

Untuk Mental yang Lebih Sehat, Ayo Lakukan Decluttering di Rumah!

18 Jan 2025

BPS: Pengeluaran Harian Lebih dari Rp20 Ribu Nggak Tergolong Orang Miskin

18 Jan 2025

Swedia Kembali Gunakan Buku Cetak untuk Pendidikan

18 Jan 2025

Jalan Kaki Seru bareng Komunitas Mlaku Magelang

18 Jan 2025

Lebih Nyaman, Tiga KA di Daop 4 Semarang Beroperasi dengan Sarana Terbaru

18 Jan 2025