Inibaru.id – Sekilas nggak ada yang aneh ketika mengunjungi Kampung Pecinan Semarang di Wot Gandul. Tapi tahukah kamu bahwa awalnya perkampungan ini terbentuk karena Belanda?
Jadi, kala itu VOC sengaja menempatkan para warga etnis Tionghoa pada satu wilayah. Tujuannya, untuk lebih mudah mengendalikan mereka. Eh, kenapa harus dikendalikan? Ini terjadi karena Geger Pecinan di Batavia pada 1740.
Geger Pecinan adalah pembantaian terhadap ribuan etnis Tionghoa di Batavia. Tanpa pandang bulu, VOC yang dipimpin Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier menghabisi nyawa mereka.
Tercatat bahwa 10.574 pemukim Tionghoa di Batavia merupakan pedagang, pegawai pelabuhan, dan buruh di pabrik gula. Diduga, angka ini lebih tinggi mengingat banyaknya imigran gelap waktu itu.
Penyebab terjadinya Geger pecinan ditengarai karena penyerangan etnis Tionghoa di Batavia terhadap Belanda. Hm, bagaimana mungkin mereka diam saja kalau hidupnya selalu diusik? Betul nggak?
Kas kosong VOC membuat gubernur putar otak. Dia kemudian membidik etnis Tionghoa yang hidupnya makmur di Batavia. Bukan cuma memonopoli para pedagang, Belanda juga mulai menerapkan aturan ngawur. Para etnis Tionghoa ini diharuskan membeli surat identitas seharga dua ringgit kepada Belanda.
Mereka yang nggak mau atau nggak sanggup beli bakal ditangkap dan dipenjara. Harta benda nggak luput dari incaran. Tersebar juga kabar bahwa mereka yang ditangkap bakal dibuang ke laut. Timbullah ketakutan di antara masyarakat etnis Tionghoa.
Pada titik ini, etnis Tionghoa yang resah mulai mempersenjatai diri mereka. Banyak razia dilakukan untuk menangkap etnis Tionghoa yang dianggap mencurigakan dan membahayakan.
Jengah menjadi objek kesewenang-wenangan, pada 7 Oktober 1740, etnis Tionghoa mulai berani menyerang pos VOC di pelbagai titik sampai menewaskan 16 serdadu Belanda. Belanda merespons dengan pemberlakuan jam malam dan pelucutan senjata para etnis Tionghoa.
Hingga akhirnya pada 10 Oktober 1740, Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier memerintahkan untuk membantai semua etnis Tionghoa yang terlihat oleh mata serdadu Belanda. Diperkirakan 7 ribu sampai 10 ribu orang menjadi korban dan mayat mereka dibuang ke Kali Besar.
Relokasi ke Wilayah Pantura
Pertempuran kecil terus terjadi selepas pembantaian besar-besaran selama dua hari itu. Namun sisa-sisa etnis Tionghoa yang selamat memilih menyelamatkan diri dengan menyingkir ke wilayah timur Jawa, seperti Rembang dan Semarang,
Dikutip dari buku Kota Semarang Dalam Kenangan karya Jongkie Tio, saat sampai di Semarang, etnis Tionghoa bertemu pesilat yang cukup masyhur bernama Sing She. Dia membantu etnis Tionghoa melawan VOC pada 1741 meski dua tahun kemudian kelompok ini menerima balasan dari VOC.
Masyarakat etnis Tionghoa yang selamat dari serangan 1743 ini kemudian melarikan diri ke pedalaman untuk bergabung dengan Pangeran Trunojoyo di Kartasura. Sisanya, terdesak di sebuah kawasan yang nantinya disebut Pecinan. Nah, untuk mengendalikan kaum minoritas ini VOC sampai mendirikan tangsi militer di Jalan Jurnatan.
"Didirikan satu tangsi militer Belanda di Jalan Jurnatan, yang dihuni oleh tentara dari berbagai negara yang direkrut oleh penguasa Belanda. Tangsi itu dinamakan De Werttenbergse Kazerne," kata budayawan Jongkie Tio kepada CNNIndonesia di Semarang, Selasa (13/2/2018).
Sengaja Disiapkan oleh VOC
Asal kamu tahu, wilayah Pecinan Semarang berada di kawasan sekitar Wot Gandul, Beteng, Gang Pinggir, dan Kalikoping. Kawasan itu bisa disebut sebagai wilayah pesisir di Semarang karena dilewati dengan aliran Kali Semarang yang dekat dengan laut.
Ada satu yang menarik mengenai lokasi ini. Kalau kamu perhatikan, di sebelah Utara, terdapat Kali Wot Gandul yang mengalir ke Kali Semarang yang dekat dengan laut. Warga Pecinan seakan didesak sampai ke ujung daratan. Sementara di sebelah Selatannya, ada perbukitan. Bukit dan laut itu, seolah menjadi pagar yang mengurung mereka.
Ternyata kondisi ini justru menguntungkan masyarakat. Bisnis perjudian yang mereka bangun berkembang dengan pesat. Kalau dipikir-pikir, fengshui lokasi ini memang bagus.
Menurut kepercayaan Tionghoa, keberadaan gunung dan sungai membawa hoki tersendiri. Jika ada salah satu saja itu sudah bagus. Apalagi di sana mereka memiliki dua-duanya.
Hingga saat ini, Kawasan Pecinan Semarang menjadi pusat pertokoan yang ramai. Bahkan menurut Harjanto Halim, ketua Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata (Kopi Semawis), Pecinan di Semarang lebih hidup dibanding Pecinan di Singapura dan Malaysia. Kalau menurutmu gimana, Millens? (Kharisma Ghana Tawakal/E05)