BerandaTradisinesia
Jumat, 18 Agu 2022 16:00

Beda Nasib Dua Tapal Batas Mataram di Yogyakarta dengan Surakarta

Tugu tapal batas Mataram Yogyakarta dan Surakarta. Yang satu terawat, yang satu nggak. (Seputargk.id)

Nasib dua tapal batas Mataram yang memisahkan Kesultanan Yogyakarta dengan Kesunanan Surakarta Mataram itu tampak berbeda. Yang satu terawat, satunya tidak. Kenapa bisa begitu?

Inibaru.id – Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 resmi memecah Kerajaan Mataram menjadi dua, yakni Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Kondisi ini masih bertahan hingga sekarang, meski secara pemerintahan keduanya masuk dalam wilayah Indonesia.

Berdasarkan perjanjian itu, Surakarta menjadi pusat pemerintahan Kesunanan Surakarta, yang dirajai Sunan Pakubuwana III. Sementara, Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Yogyakarta; pemimpinnya adalah Sultan Hamengkubuwana I.

Kendati sudah dibagi, kejelasan terkait batas kedua wilayah tersebut belum dibuat. Selain pergolakan Mataram yang masih berlanjut, Perang Jawa juga berlangsung berlarut-larut. Pembagian wilayah baru terwujud para 27 September 1830, dua bulan pasca-Perang Jawa berakhir.

Kala itu, VOC meminta kedua belah pihak menandatangani Perjanjian Klaten yang menyebutkan bahwa daerah Pajang dan Sukowati masuk dalam wilayah Kasunanan. Sementara, Mataram dan Gunungkidul masuk dalam wilayah Yogyakarta.

Dua Tugu Tapal Batas

Untuk memudahkan, batas wilayah kesunanan dengan kesultanan pada Perjanjian Klaten itu diberi tugu tapal batas. Tapal batas ini didirikan di lereng pegunungan antara Klaten dengan Gunungkidul.

“Garis batas antara daerah Pajang dan Gunungkidul adalah lereng pegunungan selatan di sisi utara,” tulis LG Jabbar dari Universitas Negeri Yogyakarta di dalam skripsi terbitan 2016 berjudul Perjanjian Klaten 1830: Dampaknya pada Kasultanan Yogyakarta.

Bentuk tugu pembatas ini menyerupai gapura yang dibangun pada bahu jalan. Satu di kanan, satu di kiri. Hingga kini, tapal batas berupa sepasang tugu ini masih eksis, lo. Meski sudah berusia hampir dua abad, kedua tapal batas masih tampak kokoh berdiri.

Kamu bisa melihatnya di ujung utara Kelurahan Sambirejo, Kapanewon (Kecamatan) Ngawen, Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta. Desa ini berbatasan langsung dengan Desa Burikan, Kecamatan Cawas, Klaten, Jawa Tengah.

Kondisi yang Berbeda

Satu tugu dibangunan Kasultanan Yogyakarta, dan tugu lainnya dibangun Kasunanan Surakarta. (Tirto/Kabar Handayani/Bara)

Meski tugu-tugu pembatas itu memiliki bentuk yang sama, kalau diperhatikan secara saksama, kondisi bangunan penanda keduanya jauh berbeda. Salah satu tapal pembatas terlihat lebih terawat dari satunya. Kenapa demikian?

Sebagai informasi, tugu yang terlihat baik dibangun oleh Kesultanan Yogyakarta pada 29 Djoemadiawal 1867; bewarna putih-hitam berhiaskan lambang kerajaan. Sementara, tugu satunya, yang berwarna putih biru, tampak rusak dengan lambang Kesunanan Surakarta yang memudar, dibangun pada 22 Redjeb 1867.

Kepala Desa Burikan Surata mengakui, tugu yang di wilayah Yogyakarta lebih terawat, sedangkan tugu di desanya, yang masuk wilayah Surakarta, terlihat memprihatinkan. Dia sejatinya pengin memperbaiki tugu itu, tapi diurungkan karena tapal batas tersebut adalah bangunan cagar budaya.

"Bangunan itu nggak bisa sembarangan diubah-ubah karena masuk cagar budaya," ungkap Surata pada Mei 2022 lalu.

Bangunan Cagar Budaya

Berdasarkan aturan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DI Yogyakarta yang ditetapkan melalui SK Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 185/KEP/2011, tertulis bahwa Tugu Tapal Batas masuk dalam bangunan cagar budaya dan harus dirawat.

Keberadaan aturan yang diterbitkan Gubernur DIY tersebut menyulitkan Surata untuk membenahi bangunan tugu pada sisi wilayah Surakarta yang temboknya mulai ditumbuhi lumut dan lambang kesunanannya mulai berkarat itu.

“Kami sebenarnya ingin membuat gapura itu lebih cantik dan tidak kumuh cat-catnya. Alasannya, ya kami sebatas prihatin,” pungkasnya.

Wah, sayang sekali kalau tugu tapal batas antara Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta ini rusak ya, Millens. Semoga pihak terkait memperhatikan betul kondisi ini, deh! (Sol,Tir/IB09/E03)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Cantiknya Deburan Ombak Berpadu Sunset di Pantai Midodaren Gunungkidul

8 Nov 2024

Mengapa Nggak Ada Bagian Bendera Wales di Bendera Union Jack Inggris Raya?

8 Nov 2024

Jadi Kabupaten dengan Angka Kemiskinan Terendah, Berapa Jumlah Orang Miskin di Jepara?

8 Nov 2024

Banyak Pasangan Sulit Mengakhiri Hubungan yang Nggak Sehat, Mengapa?

8 Nov 2024

Tanpa Gajih, Kesegaran Luar Biasa di Setiap Suapan Sop Sapi Bu Murah Kudus Hanya Rp10 Ribu!

8 Nov 2024

Kenakan Toga, Puluhan Lansia di Jepara Diwisuda

8 Nov 2024

Keseruan Pati Playon Ikuti 'The Big Tour'; Pemanasan sebelum Borobudur Marathon 2024

8 Nov 2024

Sarapan Lima Ribu, Cara Unik Warga Bulustalan Semarang Berbagi dengan Sesama

8 Nov 2024

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024