BerandaPasar Kreatif
Rabu, 14 Apr 2020 20:30

Ubah Produksi Seragam jadi Masker, Taufik: Yang Penting Masyarakat Terbantu

Produksi masker juga dilakukan di kediamannya. (Inibaru.id/ Rafida Azzundhani)

Bagi Taufik, menolong nggak mengenal kata rugi, termasuk ketika memutuskan mengubah konveksinya untuk memproduksi masker lantaran banyak petugas medis kekurangan APD. Baginya, menyoal harga tiada perlu, asalkan masyarakat terbantu.

Inibaru.id - Sebelum pandemi corona, produksi masker bukanlah yang utama di usaha konveksi Taufik. Namun, kini, penjahit di konveksi yang berada di Desa Gribig, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus itu hampir seluruhnya memproduksi masker.

Bersama empat penjahitnya, Taufik saat ini bisa memproduksi ratusan lembar masker per hari. Satu penjahit biasanya membuat minimal 100 pcs. Padahal, sebelum Covid-19 mendera negeri ini, sehari-hari konveksinya menjahit seragam dan kaus.

Namun, physical distancing benar-benar mengubah semuanya, termasuk usaha lelaki 43 tahun tersebut. Produksi seragam terhenti lantaran pemesan memutuskan menunda pesanannya. Ini membuat banyak konveksi kemudian beralih produksi: membuat masker kain!

Taufik pun setali tiga uang. Saat ini, permintaan masker memang meningkat; harganya juga merangkak naik. Namun, bukan untuk cari untung, suami dari Nonok itu mengaku memproduksi masker guna membantu petugas medis yang tengah mengalami kelangkaan APD.

Begitulah Taufik bercerita, saat saya temui pada Jumat (10/4/2020) di kediamannya yang menyatu dengan konveksi dan toko. Sore itu, dibantu sang istri, dia tengah menyortir masker pesanan yang sudah jadi.

Bertujuan Membantu

Keputusan membuat masker kain memang nggak terjadi begitu saja. Seorang teman, petugas medis pada sebuah rumah sakit di Kudus, kata Taufik, belum lama ini memintanya membuat masker, sebagai upaya terakhir lantaran sangat sedikit alat pelindung yang tersedia.

“Waktu itu pengadaan masker sulit didapatkan. Langka!" tuturnya, yang saat saya temui mengaku sedang memproduksi 12 ribu lembar masker pesanan.

Pesanan pertama Taufik berasal dari instansi kesehatan, sebanyak 2.000 lembar. Setelah itu, ada pesanan dari sejumlah dokter pribadi. Ada pula yang untuk kepentingan bakti sosial.

Dari pemesan, selembar masker dihargai Rp 2.000. Taufik mengatakan, harga tersebut sebetulnya nggak cukup untuk ongkos produksi lantaran harus mengupah penjahit Rp 1.000 per masker.

"Ya, nggak cukup (ongkos produksinya). Bayar penjahit, belum lagi bahannya. Apalagi pas sudah berjalan, penjahit minta bayarannya dinaikkan," kata dia.

Taufik bersama istrinya tengah mnyortir masker yang sudah jadi. (Inibaru.id/Rafida Azzundhani)

Kendati demikian, Taufik mengaku nggak pernah memikirkan keuntungan yang didapatkan, karena dari awal niatnya memang membantu.

“Niat saya menolong. Masak menolong rugi? Kami coba bantu dengan apa yang kami bisa,” terangnya,

Bukan Kain Sisa

Dalam pembuatan masker, Taufik mengaku nggak menggunakan kain sisa atau perca, melainkan lembaran kain yang dipotong sesuai pola. Beberapa pemesan, terangnya, bahkan punya standar bahan sendiri.

"Pihak rumah sakit harus menggunakan kain katun osfot (oxford)," kata dia.

Gimana dengan ukurannya? Sebelum dijahit, kain harus berukuran 18x22 sentimeter, lalu menjadi 18x10 sentimeter setelah jadi.

"Lipatan masker ada 3, harus tepat di hidung, mulut, dan dagu. Dengan ukuran masing-masing 4 sentimeter," paparnya.

Taufik juga menerapkan lapisan dalam dan luar pada masker buatannya. Pada bagian samping masker, dia sengaja mambuat lubang agar bisa dimasuki tisu, agar masker lebih baik dalam menyaring udara.

Hm, betul-betul kisah yang menarik! Kamu juga bisa, lo, membantu memutuskan mata rantai corona dengan melakukan hal-hal yang kamu bisa, sekecil apapun itu! (Rafida Azzundhani/E03)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024