Inibaru.id - Setelah memajaki para pelaku usaha daring di marketplace dengan platform e‑commerce sebagai pemungut pajaknya, pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) kini berencana memperluas basis penerimaan pajak ke ranah media sosial dan aktivitas digital lainnya.
Langkah ini dianggap perlu untuk memenuhi target rasio penerimaan negara terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 11,71–12,22 persen pada 2026. Menurut rencana terbaru, perpajakan di media sosial akan mencakup:
- Kreator konten yang menghasilkan pendapatan dari monetisasi;
- Influencer atau selebgram yang menerima bayaran dari endorsemen;
- Perusahaan platform digital luar negeri seperti Youtube, Tiktok, Instagram, bahkan layanan streaming konten seperti Netflix dan Spotify.
Mendukung Target APBN 2026
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menjelaskan, strategi ini rencananya bakal dimulai pada 2026, dengan memanfaatkan data digital dan analitik media sosial.
“Kami akan mulai menyisir potensi pajak dari media sosial dan data digital untuk mendukung target penerimaan APBN 2026,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers yang berlangsung di Jakarta, Senin (14/7/2025).
Terpisah, Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Anggito Abimanyu menegaskan bahwa analisis data dan pemantauan aktivitas digital akan menjadi instrumen baru dalam optimalisasi penerimaan pajak digital.
“Kami menggali potensi (pajak) itu melalui data analitik maupun media sosial,” ujarnya, dikutip dari Metro TV Selasa (15/7).
Lanjutan dari Pajak Marketplace
Wacana ini muncul sebagai langkah lanjutan dari terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 tentang pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 oleh penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).
Dalam beleid tersebut, marketplace resmi ditunjuk sebagai pihak pemungut pajak untuk transaksi penjualan barang secara elektronik. Anggito menyebut, platform e‑commerce telah resmi ditunjuk sebagai pemotong pajak terhadap pedagang daring dan kini skema tersebut akan diperluas ke aktor ekonomi digital lainnya.
Menurut Anggito, rencana pemungutan pajak dari aktivitas digital merupakan bagian dari upaya pengembangan proses bisnis dan penguatan kapasitas penerimaan negara yang berbasis transaksi digital, baik domestik maupun lintas negara.
"Langkah ini sudah mulai diterapkan pada 2025, dan akan diperkuat lagi pada 2026," kata dia.
Dimulai dengan Sosialisasi Menyeluruh
Untuk kamu para kreator konten yang mengaktifkan monetisasi lewat platform digital dan influencer yang menerima sponsor atau endorsemen, bersiaplah terkena pajak! Namun, untuk saat ini kamu belum perlu merasa khawatir karena kebijakan tersebut belum akan diterapkan dalam waktu dekat.
Sebelum diterapkan, pemerintah menyatakan akan melakukan sosialisasi menyeluruh terhadap pelaku industri kreatif dan digital. Hal ini terkait dengan reformasi perpajakan pasca-pengesahan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Dalam rapat koordinasi yang digelar di Bogor pada Jumat (11/7) lalu, Sri Mulyani menekankan pentingnya sistem datar yang terintegrasi untuk mendukung kebijakan ini.
“Harapan saya sungguh besar, semoga berbagai progres yang impresif ini terus berlanjut dan berdampak positif pada optimalisasi penerimaan negara yang berkualitas,” tegasnya.
Secara finansial, kebijakan ini jelas merugikan para kreator atau influencer. Namun, dari sisi yang lebih positif, kita melihat bahwa pemerintah telah mengakui keduanya sebagai profesi legal yang harus mendapatkan perlindungan dari negara. Gimana menurutmu, Gez? (Siti Khatijah/E10)
