Inibaru.id - Aturan pemberlakuan pajak yang akan dikenakan untuk para pedagang di marketplace membuat Indira Sayekti merasa waswas. Sebagai orang awam yang nggak terlalu paham dengan kebijakan di dunia e-commerce, dia takut keuntungannya tergerus lantaran ada pungutan pajak tersebut.
"Saya jualan baju (motif) batik print dan cap. Reseller. Hasilnya nggak seberapa, jadi kalau kena pajak, habislah keuntungan saya ini," keluh perempuan asal Kabupaten Pekalongan tersebut, Selasa (1/7/2025).
Dengan keuntungan bulanan yang hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, menjadi reseller pakaian untuk dijual secara daring tetap dilakoninya lantaran ini menjadi upaya terbaik yang bisa dilakukannya saat ini, mengingat penghasilan suaminya nggak menentu.
"Suami saya buruh bangunan; tahulah berapa penghasilannya. Nggak setiap hari ikut proyek. Ini saya jualan online diajari tetangga. Untuk antisipasi pajak, saya harus berhitung ulang, kan? Tapi, kemarin sempat dengar juga, yang kena pajak yang omzetnya ratusan juta (rupiah). Semoga saja begitu," curhatnya.
PPN untuk Pelaku Usaha Daring
Pajak marketplace yang ditakutkan Yekti, sapaan akrab Sayekti, sebetulnya adalah Pajak Pertumbuhan Nilai (PPN) untuk pelaku usaha daring. Hal ini merujuk pada terbitnya Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-12/PJ/2025 pada 22 Mei 2025 lalu.
Dalam aturan ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mewajibkan platform e-commerce seperti Shopee, Tokopedia, hingga Lazada untuk memungut PPN dari para pedagang daring.
Beleid ini mengatur tentang kriteria pihak yang ditunjuk untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN atas pemanfaatan barang atau jasa kena pajak dari luar ke dalam negeri melalui sistem perdagangan elektronik atau Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).
Kebijakan tersebut disahkan oleh Suryo Utomo sebelum posisinya sebagai Dirjen Pajak digantikan oleh Bimo Wijayanto yang ditunjuk langsung oleh Presiden Prabowo Subianto.
Marketplace sebagai Pemungut PPN
Sesuai Pasal 2 Ayat (1), PPN dikenakan atas pemanfaatan barang dan jasa kena pajak yang diperjualbelikan melalui PMSE. Lalu pada Pasal 2 Ayat (2) dijelaskan bahwa pemungutan, penyetoran, dan pelaporannya dilakukan oleh pelaku usaha yang ditunjuk sebagai pihak lain.
Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah entitas atau pelaku usaha yang secara langsung memfasilitasi transaksi digital antara penjual dan pembeli. Penunjukan ini dilakukan oleh Menteri Keuangan melalui keputusan resmi.
“Direktur Jenderal Pajak menunjuk pelaku usaha PMSE sebagai pihak lain, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (2) terhadap pelaku usaha PMSE yang telah memenuhi batasan kriteria tertentu dengan menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak,” jelas Pasal 3 Ayat (1), dikutip Kamis (3/7).
Dengan demikian, marketplace secara resmi berperan sebagai pemungut PPN dari transaksi yang terjadi di dalam platform mereka.
Kriteria dan Tarif PPN
Kriteria pedagang yang dikenai PPN
Pasal 4 dalam peraturan tersebut menjelaskan kriteria pedagang online yang akan dikenakan pemungutan PPN oleh marketplace, yaitu:
- Nilai transaksi dengan pemanfaat barang dan/atau pemanfaat jasa di Indonesia melebihi Rp600 juta dalam 1 tahun atau Rp50 juta dalam 1 bulan; dan/atau
- Jumlah traffic atau pengakses di Indonesia melebihi 12 ribu dalam 1 tahun atau 1.000 dalam 1 bulan.
Tarif PPN
Marketplace seperti Shopee, Tokopedia, dan Lazada yang memfasilitasi aktivitas jual beli online termasuk dalam pihak yang diwajibkan untuk memotong PPN dari pedagang yang memenuhi kriteria tersebut.
Adapun tarif PPN yang dikenakan ditentukan dengan menggunakan nilai lain, yaitu sebesar 11/12 dari jumlah uang yang dibayarkan oleh pembeli pada setiap transaksi.
Sebagai bukti pungut, pelaku usaha wajib menyediakan dokumen seperti faktur penjualan (commercial invoice), tagihan (billing), tanda terima pemesanan (order receipt), atau bentuk dokumen sejenis lainnya.
Jadi, untuk pelaku usaha daring yang belum masuk dalam kriteria wajib kena PPN, kamu nggak perlu khawatir. Tetap semangat berjualan, ya! (Siti Khatijah/E10)