Inibaru.id - Berjualan payung murah meriah kepada orang-orang berduit yang terjebak hujan di tempat umum nggak akan pernah menjadi pekerjaan sulit. Namun, bagaimana dengan produk UMKM premium yang bagus tapi belum dikenal publik?
Di sinilah kamu membutuhkan strategi soft-selling, sebuah pendekatan pemasaran yang berorientasi pada hubungan dan nilai. Nggak seperti berjualan secara langsung, yang acap disebut hard-selling, strategi ini menekankan pendekatan lebih halus melalui konten-konten edukatif atau storytelling.
Kalau kamu pernah scrolling TikTok atau Instagram untuk video lucu atau cerita mengharukan tapi berujung checkout produk atau tiba-tiba kepengin beli brownies padahal sebelumnya cuma nonton konten nostalgia masa kecil, saat itulah kamu tengah "terjebak" dalam strategi soft-selling.
Berbeda dari hard-selling yang langsung to the point seperti "Beli sekarang juga!" atau "Diskon 50 persen!”, strategi soft-selling lebih lembut, yang bahkan kadang nggak kelihatan seperti jualan. Tapi justru karena itulah, teknik ini terasa lebih nyaman dan bikin calon pembeli nggak merasa sedang dipaksa belanja.
Cocok untuk UMKM
Stevens & Tate, pakar pemasaran Amerika, menjelaskan bahwa soft-sell bekerja dengan membangkitkan emosi positif terkait brand atau produk secara halus. Tujuannya adalah membuat konsumen percaya, bukan merasa tengah disasar.
“Yang diinginkan dari soft‑sell advertising adalah pendekatan yang sangat halus, karena tujuan utamanya adalah untuk membangkitkan respons emosional yang positif dari kustomer," tulisnya dalam website resminya, dikutip Kamis (17/7/2025).
Strategi ini sangatlah cocok untuk pelaku UMKM. Hal itulah yang dikatakan Siti Azizah, penjual produk frozen food rumahan asal Kota Semarang yang dalam setahun terakhir memfokuskan penjualan secara daring via sejumlah media sosial.
"Pelaku UMKM seperti saya punya modal promosi yang terbatas, sementara produk belum dikenal. Berdasarkan pelatihan yang pernah saya ikuti, saya perlu mengandalkan kedekatan emosional, storytelling, dan personal branding. Harus soft-selling dulu," tuturnya, Kamis (17/7).
Membangun Kepercayaan
Menurut Azizah, soft-selling bisa menjadi cara yang efektif untuk membangun kepercayaan dan menciptakan ikatan emosional dengan konsumen. Dia mengatakan, hal ini sangatlah penting karena produk serupa banyak di pasaran dan harga jual produknya cukup kompetitif.
“Soft selling membuat konsumen merasa ‘nyambung’ dulu dengan merek atau pemilik usaha. Ini penting, ketimbang mereka langsung dijejali dengan ajakan membeli,” jelas perempuan 29 tahun tersebut.
Karena produk yang dijualnya adalah frozen food, dia mengaku kadang menyisipkan cerita pribadi gimana resep untuk produk-produknya didapatkan atau jalan panjang yang ditempuhnya untuk mencapai cita rasa terbaik yang layak jual.
"Pakai narasi yang menyentuh dan inspiratif, lalu tambahi dengan kelucuan. Misal, saya bikin konten tentang 'lapar tengah malam', lalu menjelang akhir cerita disisipi dengan kata-kata macam: tinggal goreng, kamu nggak akan kelaparan kalau punya frozen food di rumah," bebernya, memberi contoh.
Jangan Terlalu Halus
Percy H Whiting, penulis klasik tentang promosi penjualan dan marketing pernah mengatakan, harus melibatkan minat yang tulus terhadap kebutuhan orang lain. Jadi, dalam strategi soft-selling, fokus utamanya tetaplah pada kebutuhan mereka, bukan apa yang kita ceritakan.
"Jangan bercerita terlalu panjang tanpa melibatkan relevansi pada produk atau layanan," terang Azizah. "Soft-selling itu kayak ngobrol santai, tapi jangan 'halus-halus' hingga kita kehilangan konteks, karena cerita di sini sebetulnya kan hanya pengantar, bukan inti dari konten itu."
Agar nggak terlalu halus dan malah jadi overkill, berikut adalah sejumlah strategi soft-selling yang bisa kamu lakukan, yang dirangkum dari berbagai sumber:
1. Tetapkan tujuan setiap konten
Setiap postingan harus punya arah. Mulailah dengan cerita, lalu selipkan call to action (CTA) yang halus seperti: “Kalau kamu cari yang seperti ini, bisa cek produknya di bio.”
2. Batasi panjang narasi
Konten atau cerita soft-selling boleh personal dan mengalir, tapi jangan terlalu panjang tanpa relevansi. Pastikan narasi tetap berhubungan langsung dengan manfaat produkmu.
3. Sisipkan nilai produk
Meski soft-selling, kamu tetap berbisnis. Maka, konten harus memberi pandangan produk sebagai solusi, bukan sekadar latar cerita.
4. Gunakan ragam format konten
Campurkan storytelling dengan konten pengenalan fitur, behind-the-scenes, atau testimoni pengguna. Ini menjaga dinamika dan arah komunikasi.
5. Adaptif dengan platform yang dipakai
Tiap platform punya gaya tersendiri. Misalnya, gunakan carousel edukatif pada Instagram, video ringan dengan voice-over dan storytelling pada Tiktok, atau kirim foto dan caption singkat tapi bersahabat pada Whatsapp.
6. Evaluasi berdasarkan respons audiens
Jika engagement menurun atau ada komentar negatif yang muncul, segeralah beradaptasi dan mengganti topik dengan yang mereka sukai.
Soft selling memang memerlukan keseimbangan. Terlalu banyak cerita, pesan bisa hilang; tapi terlalu intens akan membuatnya seperti hard-selling. Maka, kuncinya adalah dengan tetap memperhatikan konteks dan target pasar yang kita inginkan. Semoga bisnis UMKM-mu lancar! (Siti Khatijah/E10)
