BerandaPasar Kreatif
Rabu, 1 Jul 2025 13:46

Gamifikasi; Bagaimana Menerapkan 'Permainan' dalam Keseharian Gen-Z

Sistem poin dalam dunia pemasaran dan promosi produk merupakan bagian dari gamifikasi yang disukai gen-Z. (Black Friday via Yajny)

Dengan sistem gamifikasi, kegiatan sehari-hari seperti di tempat kerja dan sekolah yang acap dianggap membosankan bisa terasa lebih seru, yang tentu saja akan disukai anak muda seperti gen-Z.

Inibaru.id - Menjadi sosok yang nggak suka coba-coba rupanya menjadi berkah tersendiri bagi Berlian Manikam. Belum lama ini, kebiasaannya berbelanja bulanan di satu supermarket membuatnya menang undian. Meski bukan grand prize, dia senang dengan hadiah nggak terduga tersebut.

"Aku suka belanja di sana karena murah dan dapat poin tiap pembelian dalam jumlah tertentu. Poin-poin itu bisa ditukar dengan hadiah langsung atau ikut undian. Nah, aku pilih ikut undian. Eh, nggak nyangka bisa menang," tuturnya belum lama ini.

Sebagai penggemar mobile game, perempuan yang akrab disapa Monik itu memang menyukai segala hal yang berbau permainan, termasuk untuk hal-hal di luar gim. Inilah yang membuatnya tertarik berbelanja di supermarket yang sebetulnya agak jauh dari rumahnya tersebut.

"Apa pun yang berhubungan dengan mengumpulkan poin, mendapatkan lencana, atau level up seperti dalam gim, aku suka; termasuk dalam hal belanja, bahkan pekerjaan," tutur perempuan yang bekerja di sebuah perusahaan teknologi ini.

Mengenal Istilah Gamifikasi

Dalam dunia pemasaran, menerapkan elemen permainan seperti memberikan poin, lencana, atau kenaikan level ini dikenal dengan istilah gamifikasi. Selain marketing, istilah tersebut juga biasa diaplikasikan dalam konteks non-permainan lain.

Tujuannya, untuk meningkatkan motivasi, keterlibatan, dan hasil dalam berbagai bidang, yang selain pemasaran dan pengembangan produk juga berkaitan dengan pembelajaran, pendidikan, bahkan pekerjaan yang "serius" dan jauh dari kata main-main.

Memanfaatkan naluri kompetitif dan keinginan untuk mendapatkan penghargaan, penerapan elemen permainan dalam aktivitas non-permainan kini menjadi senjata rahasia di banyak bidang, dengan harapan menjadikan hal tersebut lebih menyenangkan dan bikin ketagihan.

Selain marketing, dunia pendidikan menjadi ranah yang paling terpapar strategi gamifikasi. Di sejumlah sekolah, nggak sulit menemukan istilah "menyelesaikan misi", "naik level", atau "mengumpulkan poin" saat berhasil menjawab soal, misalnya.

Pendidikan dalam Bentuk Gim

Esensi gamifikasi adalah menyulap proses membosankan jadi seru seperti main game. Menurut Dr Karl Kapp dalam The Gamification of Learning and Instruction, gamifikasi bisa meningkatkan motivasi intrinsik lewat tantangan, feedback instan, dan perasaan mencapai sesuatu.

Beberapa sekolah di Eropa dan Asia mulai menggunakan platform seperti Classcraft, yang mengubah ruang kelas menjadi dunia role-playing game (RPG). Murid bisa membentuk tim, menyelesaikan quest akademik, dan mendapatkan experience point (XP) karena datang tepat waktu atau membantu temannya belajar.

Ilustrasi: Gamifikasi bisa menjadi cara untuk meningkatkan motivasi dan semangat, termasuk di dunia kerja. (Getty Images via Kiplinger)

Di Indonesia, pendekatan serupa mulai muncul lewat aplikasi belajar seperti Ruangguru dan Zenius yang memberikan lencana, daftar peringkat (leaderboard), hingga sistem reward. Hasilnya? Banyak siswa merasa lebih tertantang dan bersemangat.

“Saya kurang tahu kalau Ruangguru atau Zenius, tapi di Duolingo dan Strava ada sistem peringkat dan reward semacam itu. Bagi saya yang suka berkompetisi, ini menarik karena jadi termotivasi parah," tutur Hana, mahasiswa di sebuah kampus negeri di Kota Semarang, Senin (30/6).

Sisi Negatif Gamifikasi

Dua aplikasi yang disebut Hana itu bukanlah platform pendidikan seperti Ruangguru atau Zenius. Duolingo merupakan aplikasi pembelajaran bahasa asing, sedangkan Strava adalah aplikasi pencatat aktivitas olahraga. Keduanya cukup familiar di kalangan anak muda, termasuk gen-Z.

Ini membuktikan bahwa gamifikasi telah menjadi strategi yang jitu untuk lintas sektor. Di dunia kesehatan, ada Habitica yang berupaya membentuk kebiasaan baik penggunanya memakai sistem gamifikasi ini agar mereka betah, termotivikasi, dan nggak merasa bosan.

Hm, terlihat menarik, ya? Namun, apakah sistem kompetisi ini nggak punya efek samping? Sebuah riset dari Universitas Helsinki mengingatkan, sistem reward yang terlalu berlebihan akan membuat motivasi intrinsik seseorang hilang.

"Kita menjadi semangat bukan karena suka, tapi lantaran pengin mendapatkan poin," tulis hasil riset tersebut.

Harus Dirancang dengan Empati

Deloitte, perusahaan layanan jasa profesional multinasional mengatakan, sekitar 89 persen orang menyatakan bahwa gamifikasi membuat mereka lebih produktif di tempat kerja. Namun, perlu diingat bahwa sistem reward atau peringkat yang dibuat tanpa empati akan memunculkan kompetisi yang toksik.

Dalam dunia pendidikan, kompetisi tanpa empati akan membuat murid minder atau malah saling menjatuhkan. Jadi, apakah gamifikasi bisa diterapkan? Tentu saja bisa, asalkan tepat guna. Gamifikasi bukanlah solusi ajaib untuk semua hal yang dianggap membosankan.

Jika dirancang menggunakan empati, misalnya dengan menerapkan beberapa leaderboard sesuai dengan kategori tertentu (contoh: paling konsisten, paling berkembang, paling suportif), sistem gamifikasi akan menghubungkan dunia digital yang digemari anak muda dan dunia nyata yang menuntut tanggung jawab.

Hidup akan tetap berjalan dengan atau tanpa mendapat reward. Tapi, seperti Monik, akan lebih menyenangkan jika tiba-tiba ada yang bilang kita dapat hadiah dari hasil kumpulin poin, kan? Ehm, nggak jauh beda dengan konsep pahala dalam Islam, kan? (Siti Khatijah/E10)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Bakmi Palbapang Pak Uun Bantul, Hidden Gem Kuliner yang Bikin Kangen Suasana Jogja

2 Des 2025

Bahaya Nggak Sih Terus Menancapkan Kepala Charger di Soket Meski Sudah Nggak DIpakai?

2 Des 2025

Lebih Mudah Bikin Paspor; Imigrasi Semarang Resmikan 'Campus Immigration' di Undip

2 Des 2025

Sumbang Penyandang Kanker dan Beri Asa Warga Lapas dengan Tas Rajut Bekelas

2 Des 2025

Mengapa Kebun Sawit Nggak Akan Pernah Bisa Menggantikan Fungsi Hutan?

2 Des 2025

Longsor Berulang, Sumanto Desak Mitigasi Wilayah Rawan Dipercepat

2 Des 2025

Setujui APBD 2026, DPRD Jateng Tetap Pasang Target Besar Sebagai Lumbung Pangan Nasional

28 Nov 2025

Bukan Hanya Padi, Sumanto Ajak Petani Beralih ke Sayuran Cepat Panen

30 Nov 2025

Pelajaran Berharga dari Bencana Longsor dan Banjir di Sumatra; Persiapkan Tas Mitigasi!

3 Des 2025

Cara Naik Autograph Tower, Gedung Tertinggi di Indonesia

3 Des 2025

Refleksi Akhir Tahun Deep Intelligence Research: Negara Harus Adaptif di Era Kuantum!

3 Des 2025

Pelandaian Tanjakan Silayur Semarang; Solusi atau Masalah Baru?

3 Des 2025

Spunbond, Gelas Kertas, dan Kepalsuan Produk Ramah Lingkungan

3 Des 2025

Regenerasi Dalang Mendesak, Sumanto Ingatkan Wayang Kulit Terancam Sepi Penerus

3 Des 2025

Ajak Petani Jateng Berinovasi, Sumanto: Bertani Bukan Lagi Pekerjaan Sebelah Mata

23 Nov 2025

Sumanto: Peternakan Jadi Andalan, Tapi Permasalahannya Harus Diselesaikan

22 Nov 2025

Versi Live Action Film 'Look Back' Garapan Koreeda Hirokazu Dijadwalkan Rilis 2026

4 Des 2025

Kala Warganet Serukan Patungan Membeli Hutan Demi Mencegah Deforestasi

4 Des 2025

Mahal di Awal, tapi Industri di Jateng Harus Segera Beralih ke Energi Terbarukan

4 Des 2025

Tentang Keluarga Kita dan Bagaimana Kegiatan 'Main Sama Bapak' Tercipta

4 Des 2025

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

A Group Member of

Ikuti kamu di: