Inibaru.id – Rekan saya warga asli Frankfurt, Jerman, bernama Sarah baru saja melahirkan pada Rabu (25/6/2025) lalu. Tapi, hingga Senin (30/6), kondisi tubuhnya belum benar-benar pulih pasca-persalinan karena suhu udara di kota tempat tinggalnya belakangan sangat panas.
Yang jadi masalah, di rumahnya nggak ada AC. Alasannya, biasanya suhu udara saat musim panas nggak bikin Sarah dan suaminya, Andy, kepanasan sebelumnya. Tapi, khusus untuk musim panas 2025, mereka merasa kewalahan dengan hal ini.
"Suhunya mencapai 37-38 derajat Celsius, rasanya kayak dipanggang. Beli kipas angin pun tetap terasa panas. Makanya aku mengalami dehidrasi dan nggak pulih-pulih," ucapnya via pesan WhatsApp pada Senin (30/6).
Suhu udara yang kian nggak bersahabat memang sedang melanda Eropa. Nggak cuma dikeluhkan Sarah dan keluarganya di Jerman, warga Spanyol hingga Balkan juga merasakan gelombang panas ekstrem.
Kota El Granado di selatan Spanyol bahkan mencatat suhu 46 derajat Celsius pada Sabtu (28/6), sebuah angka yang menjadi rekor tertinggi untuk bulan Juni, menurut badan meteorologi nasional negara tersebut.
Di Barcelona, kabar duka datang dari seorang penyapu jalan yang meninggal dunia setelah menyelesaikan shiftnya pada hari yang terik. Pemerintah setempat masih menyelidiki penyebab pasti kematiannya, meski banyak menduga hal ini karena heatstroke. Di banyak rumah sakit, lonjakan pasien dengan gejala serupa pun mulai bermunculan.
Bukan hanya Spanyol yang kepanasan. Peringatan merah akibat cuaca panas ekstrem juga dikeluarkan di Portugal, Italia, dan Kroasia. Sementara negara lain seperti Prancis, Belgia, Austria, hingga Serbia tak luput dari peringatan level sedang hingga tinggi. Kondisi ini menjadikan bulan Juni 2025 berpotensi menjadi salah satu bulan terpanas dalam sejarah Eropa modern.
“Korban paling rentan biasanya adalah lansia, pasien dengan penyakit kronis, dan mereka yang hidup di jalan,” ungkap Mario Guarino, Wakil Presiden Perhimpunan Medis Gawat Darurat Italia, kepada AFP, Minggu (29/6).
Mengantisipasi gelombang panas ini, sejumlah kota di Italia melakukan langkah cepat. Napoli menyiapkan unit khusus di rumah sakit untuk menangani korban heatstroke. Bologna membuka tujuh pusat perlindungan berpendingin ruangan dan Roma menggratiskan akses kolam renang bagi warga berusia 70 tahun ke atas.
Langkah serupa diambil di Portugal. Seorang apoteker di Lisbon menyebut pihak Dinas Kesehatan setempat terus memperingatkan warga agar tidak keluar rumah di siang hari. “Sudah ada beberapa kasus heatstroke dan luka bakar,” jelasnya.
Dampak gelombang panas terasa hingga negara-negara Balkan. Slovenia dan Makedonia Utara mencatat suhu tertinggi untuk bulan Juni, masing-masing 42 derajat Celsius. Yang lebih mengerikan, prakiraan cuaca menyebut suhu akan terus melonjak di Prancis, Italia, Jerman, bahkan Inggris, dengan London diperkirakan mencapai 35 derajat pada awal pekan depan.
Fenomena gelombang panas ini disebabkan oleh sistem tekanan tinggi yang membuat udara panas dari atmosfer bagian atas turun ke permukaan bumi, memanas, dan menahan radiasi matahari. Nggak adanya awan sebagaimana langit pada musim panas pada umumnya, bikin negara-negara di Eropa pun nggak lagi punya pelindung dari teriknya sinar matahari.
Para peneliti dari World Weather Attribution menyatakan bahwa kondisi ini nggak bisa dilepaskan dari krisis iklim. Mereka menyebut gelombang panas yang disertai suhu di atas 28 derajat selama tiga hari berturut-turut kini 10 kali lebih mungkin terjadi dibandingkan era pra-industri alias sekitar 1,5 abad yang lalu.
Peringatan ini bukan cuma untuk Eropa. Seluruh negara di dunia harus mulai bersiap. Ketika cuaca ekstrem mulai jadi hal biasa, artinya perubahan iklim bukan lagi ancaman masa depan tapi sejak hari ini. (Arie Widodo/E07)