BerandaLegendary
Senin, 10 Des 2017 15:06

Kawasan Menteng: Menyulap Hutan Jadi Kota Taman

Menteng pada zaman old. (Jakarta.com)

Kawasan Menteng dirancang sebagai hunian dengan pelbagai aliran arsitektur. Intinya: sebuah kota taman.

Inibaru.id – Benarkah nama Menteng, salah satu kawasan elite di Jakarta Pusat berasal dari nama buah menteng (Baccaurea racemosa)?

Pakar tentang kebetawian, Ridwan Said, membenarkan bahwa daerah di bagian selatan Batavia dulunya adalah hutan-hutan yang dihuni beragam flora dan fauna.

Jakartakita.com juga menulis, sampai awal abad ke-17, seluruh daerah di daerah selatan Benteng Rijswijk (1668) dan Benteng Noorjwijk (1657) kurang dikenal dan masih dihuni binatang liar. Dahulu daerah Menteng banyak ditumbuhi pepohonan rindang. Salah satu jenis pepohonan yang banyak tumbuh di daerah ini adalah pohon buah menteng.

Menurut beberapa sumber, pada pertengahan abad ke-18 daerah Menteng masih dimiliki oleh seorang tuan tanah keturunan Moor (Arab) bernama Assan Nina Daut. Selanjutnya wilayah itu dikuasai oleh J Du Chene de Vienne (1790), warga Belanda dan keturunannya. Pada pertengahan abad ke-19, saat Terusan Suez dibuka, orang-orang Arab dari Hadramaut berimigrasi dalam jumlah besar ke pesisir Jawa. Sebagian dari mereka membeli tanah dan bermukim di Menteng.

Sebuah alamak berbahasa Belanda Regeringsalmanak menyebutkan sejumlah anggota keluarga Shahab pernah menjadi landheeren (tuan tanah) hingga tahun 1910 sebelum Menteng dikuasai kembali oleh Belanda.

Siapa yang kali pertama menggagas daerah nggak berpenghuni itu sebagai hunian? Arsiteknya PAJ Mooijen yang disebut sebagai orang pertama yang merancang kawasan Menteng. Rancangan awalnya memiliki kemiripan dengan model kota taman dari Ebenezer Howard, seorang arsitek pembaharu asal Inggris. Bedanya, Menteng tidak dimaksudkan berdiri sendiri namun terintegrasi dengan suburban lainnya.

Baca juga:
Selamat Jalan, Nenek Rocker Indonesia!
Benyamin S dan Kebetawian

Thomas Karsten seorang pakar tata lingkungan semasanya, memberi komentar bahwa Menteng memenuhi semua kebutuhan perumahan untuk kehidupan yang layak.

Proyek Menteng dinamakan Nieuw Gondangdia dan menempati lahan seluas 73 hektare. Pada 1890 kawasan tersebut dimiliki oleh 3.562 pemilik tanah. Batas selatannya adalah Banjir Kanal Barat yang selesai dibangun 1919.

Rancangan Mooijen dimodifikasi oleh FJ Kubatz dengan mengubah tata jalan dan penambahan taman-taman hingga mencapai bentuk yang tetap antara 1920a-n dan 1930-an. Sebagai kota taman, di kawasan ini banyak dijumpai taman-taman terbuka. Yang terbesar adalah Taman Suropati yang terletak di antara Jalan Imam Bonjol dan Jalan Diponegoro.

Kawasan Menteng merupakan kawasan yang asri, nyaman dan indah, sebuah pemukiman yang disenangi oleh masyarakat Eropa dan masyarakat pribumi kelas menengah ke atas. Karakteristik arsitektural dari bangunan rumah di kawasan Menteng secara umum memang memiliki beberapa gaya. Ada yang berciri klasik/gaya old indischeNieuwe Zakelijkhed, Indies Baru, Art Nouveau/Art Deco, Amsterdam, De’Stijl, gaya art deco ataupun modern 1930-an, dan gaya villa atau bungalow Belanda.

Sebagai pelengkap dari lingkungan perumahan dibangun pula berbagai bangunan utilitas dan fasilitas di kawasan Menteng antara lain Gedung NV de Bouwploeg (sekarang Mesjid Cut Mutia), Gedung Bataviasche Kunstkring (sekarang kantor Imigrasi), Gedung Nassaukerk (sekarang Gereja St.Paulus dan Gereja Theresia).

Baca juga:
Benny Panjaitan, Komponis, Gitaris, dan Vokalis Panbers
Jangan Cari Menteng di Kawasan Elite Menteng Jakarta

Oya Sobat Millens, setelah Kemerdekaan Indonesia, Menteng menjadi daerah elite di Jakarta. Banyak tokoh penting dan konglomerat ternama tinggal di wilayah itu, termasuk Soekarno dan Hatta.

Ya, Menteng menjadi saksi penting sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Bahkan di kawasan inilah para pemimpin bangsa menyusun naskah Proklamasi di Jalan Imam Bonjol No 1 (eks. Rumah Laksamana Maeda yang kini menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi).  Menteng juga pernah menjadi tempat tinggal masa kanak-kanak Presiden ke-44 Amerika Serikat, Barack Obama. (EBC/SA)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024

Menyusuri Perjuangan Ibu Ruswo yang Diabadikan Menjadi Nama Jalan di Yogyakarta

11 Nov 2024

Aksi Bersih Pantai Kartini dan Bandengan, 717,5 Kg Sampah Terkumpul

12 Nov 2024

Mau Berapa Kecelakaan Lagi Sampai Aturan tentang Muatan Truk di Jalan Tol Dipatuhi?

12 Nov 2024

Mulai Sekarang Masyarakat Bisa Laporkan Segala Keluhan ke Lapor Mas Wapres

12 Nov 2024

Musim Gugur, Banyak Tempat di Korea Diselimuti Rerumputan Berwarna Merah Muda

12 Nov 2024

Indonesia Perkuat Layanan Jantung Nasional, 13 Dokter Spesialis Berguru ke Tiongkok

12 Nov 2024

Saatnya Ayah Ambil Peran Mendidik Anak Tanpa Wariskan Patriarki

12 Nov 2024