BerandaKulinary
Sabtu, 4 Nov 2022 09:30

Menikmati 'Rotinya Orang Mati' Khas Kulon Progo, Roti Kolmbeng

Roti kolmbeng khas Kulon Progo muncul di masa penjajahan Belanda di Indonesia. (IG/Makankeliling)

Roti kolmbeng khas Kulon Progo sudah eksis sejak zaman penjajahan Belanda. Dulu roti ini dikenal sebagai rotinya orang mati. Kini, roti ini lebih dikenal sebagai penganan yang dicari untuk keperluan hajatan.

Inibaru.id – Membicarakan kuliner khas Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta biasanya yang terpikir adalah jajanan-jananan tradisional seperti peyek undur-undur, cenil, geblek, cethot, atau growol. Padahal, ada juga lo penganan lain yang "lebih modern" dan nggak kalah nikmat. Namanya adalah roti kolmbeng.

Jika jajanan-jajanan tradisional muncul pada masa kerajaan, roti mulai dinikmati masyarakat Nusantara pada masa penjajahan. Yang memperkenalkannya tentu saja para penjajah dari Belanda.

Sejarah mencatat, roti mulai diperjualbelikan di Tanah Air ke warga pribumi sejak 1930-an. Tapi, jangan kira roti saat itu sudah bervariasi dan memiliki tekstur empuk seperti pada zaman sekarang. Dulu, roti dikenal bertekstur kasar dan cenderung keras.

Sejak saat itulah, masyarakat Nusantara dari berbagai daerah mulai mengembangkan roti khasnya sendiri. Salah satu jenis roti yang muncul dari kreativitas tersebut adalah roti kolmbeng.

Pembuat Roti Klombeng Makin Sedikit

Roti kolmbeng yang diproduksi di Kulon Progo. (Kompas/Diskominfo KP)

Salah satu pembuat roti yang kini semakin sulit ditemukan di pasaran tersebut adalah Giman Captodiyono. Dia memiliki industri roti rumahan yang berlokasi di Dusun Diran, Kalurahan Sidorejo, Kapanewon Lendah, Kulon Progo.

Dia mendapatkan "ilmu" memproduksi roti kolmbeng saat bekerja di Pabrik Pakualaman. Setelah pabrik tersebut tutup, Giman pun memutuskan untuk memproduksinya sendiri.

“Saya sudah memproduksi roti kolmbeng di rumah sejak 38 tahun lalu,” ucapnya sebagaimana dilansir dari Dijogja.co, Rabu (2/11/2022).

Setiap hari, Giman mampu memproduksi 550 potong roti yang namanya adalah akronim dari kata Bahasa Jawa kolo mbiyen yang berarti zaman dulu tersebut. Roti-roti tersebut dipasarkan di Pasar Kulon Progo, Bantul, Imogiri, dan Beringharjo.

“Roti ini justru banyak dipasarkan di Imogiri. Pembeli lokal biasanya datang langsung ke sini,” cerita Giman sebagaimana dikutip dari Radar Jogja, Kamis (3/11/2022).

Awet Tanpa Pengawet

Roti Kolmbeng sudah eksis sejak zaman penjajahan. (Radar Jogja/Hendri Utomo)

Ada satu keunikan dari roti kolmbeng yang nggak bisa ditemui roti-roti lainnya, yaitu kemampuannya untuk tetap layak dikonsumsi meski sudah berusia sepekan. Padahal, roti ini nggak dibuat dengan bahan pengawet.

Alat yang dipakai untuk membuat roti ini juga unik, yaitu oven dengan bahan tanah liat. Oven ini dipanggang di atas tungku yang memakai bahan bakar arang kayu. Di atas oven ditempatkan gerabah khusus yang juga diberi bara arang kayu. Karena mendapatkan panas dari atas dan bawah, roti pun mengembang dengan sempurna, Millens.

Menurutnya, roti kolmbeng sering dicari untuk kebutuhan hidangan hajatan seperti pernikahan, kematian, atu kelahiran. Roti ini juga sering dipakai untuk sesaji atau acara kenduri.

“Kalau Ruwah biasanya roti ini dipakai untuk tradisi nyadran. Sementara saat Lebaran untuk oleh-oleh pembeli dari luar kota. Tapi, roti ini dulu dikenal sebagai "rotinya orang mati” cerita Giman.

Kamu penasaran dengan roti tanpa pengawet dan diolah secara tradisional ini? Harganya nggak mahal kok, Millens. Kalau kamu membelinya langsung di rumah produksi Pak Giman, bisa mendapatkannya Rp1.000 per potong. Bisa beli banyak sampai puas deh. (Arie Widodo/E10)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024