Inibaru.id – Saat minyak kelapa masih banyak diproduksi di Jawa, kuliner tradisional ini banyak dijual di berbagai tempat seperti pasar hingga selasar jalan. Kethek namanya. Sayang, kini kudapan gurih ini mulai jarang ditemukan seiring dengan bergesernya pengguna minyak yang di Jawa disebut lengo klentik tersebut.
Proses membuat kethek memang nggak bisa dipisahkan dari minyak kelapa. Penyebabnya, penganan asal Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, itu terbuat dari ampas pembuatan minyak kelapa yang biasa disebut blondo. Ada pula yang menyebutnya glendo atau kethak.
Penyebutan kethek di Kebumen mungkin merupakan pergeseran dari kata kethak. Di sejumlah tempat di Jateng, ada makanan serupa kethek yang dikenal sebagai Kethak Blondo. Jadi, kemungkinan nggak ada hubungannya dengan monyet ya, meski dalam bahasa Jawa kethek berarti monyet.
Kethek blondo biasa disajikan dengan ditum, teknik membungkus makanan yang akan dikukus, memakai daun pisang. Mirip seperti pelbagai jajan pasar lain di pasar. Penganan ini biasa disantap dengan nasi hangat, getuk, atau menjadi topping tempe goreng.
Lengo Klentik dan Blondo
Kethek diyakini sudah ada di Kebumen sejak dulu, nggak jauh berbeda dengan lengo klentik dan blondo. Teknik membuat minyak kelapa memang sudah dikuasai masyarakat Jawa sejak sangat lama, yang tercatat pada sebuah prasasti berbahasa Jawa Kuna yang saat ini disimpan di Belanda.
Berbeda dengan pembuatan minyak sawit yang melibatkan pabrik besar, minyak kelapa dibuat oleh industri rumahan, bahkan perseorangan. Cara membuatnya, kelapa segar diperas hingga menjadi santan kental, lalu direbus di wajan besar dan terus diaduk hingga menghasilkan cairan minyak.
Cairan berwarna cokelat kekuningan ini kemudian diambil, dipisahkan dari kerak kental berwarna kehitaman di dasar wajan yang disebut blendet. Blendet disaring dan dipres semalaman hingga menghasilkan ampas padat yang disebut blondo. Alih-alih dibuang, blondo diolah kembali menjadi makanan, misalnya kethak blondo atau kethek.
Oya, masyarakat menggunakan minyak kelapa sebelum mengenal minyak kopra dari kelapa yang dikeringkan. Namun, sekitar 1980-an, minyak kelapa dan kopra yang cepat tengik mulai tergusur oleh kemunculan minyak sawit. Kondisi ini juga berimbas pada produksi blondo, yang tentu saja menggerus keberadaan kethek di pasaran.
‘Ampas’ Bercita Rasa Gurih
Konon, orang Jawa nggak pernah membuang makanan, termasuk ampas atau residu. Ampas kelapa menjadi campuran botok atau gembrot, ampas kedelai menjadi gembus, pun demikian dengan ampas lengo klentik yang menjadi blondo.
Blondo bertekstur lembut, bercita rasa gurih dengan sedikit rasa manis. Tanpa dimasak lagi pun blondo sudah enak dikonsumsi. Blondo yang sudah dipapatkan biasanya tinggal dipotong persegi lalu dimakan begitu saja. Namun, ada pula yang dilembutkan lagi, lalu diberi gula merah sebelum dimakan.
Lalu, bagaimana dengan kethek? Kethek adalah blondo yang dibuat botok; makanan khas Jawa yang dimasak dengan dibungkus daun pisang, lalu dikukus. Kethek bisa dimakan sebagai sajian tunggal, kadang diberi irisan cabai dan bawang merah; tapi bisa juga menjadi lauk untuk nasi hangat atau getuk.
Kethek bertekstur lembut dengan cita rasa gurih. Aromanya? Hm, perpaduan aroma daun pisang dengan kelapa yang wangi dijamin akan membuat perutmu keroncongan dan selera makanmu lebih bergeliat! Ha-ha.
Sayangnya, saat ini sudah nggak banyak orang yang membuat kethek di Kebumen. Eits, tapi bukan berarti nggak ada ya! Kethek kadang masih bisa ditemukan di pasar-pasar tradisional di kabupaten yang berada di pantai selatan Jawa Tengah tersebut.
Jadi, kalau kebetulan kamu lagi main ke pasar tradisional di Kebumen dan menemukan kethek blondo, jangan disia-siakan ya! Segeralah beli kudapan langka itu dan nikmati sensasi rasanya, Millens. (Ter/IB20/E07)