BerandaInspirasi Indonesia
Kamis, 15 Feb 2023 09:08

Dikelola dengan Baik, Sampah di Panggungharjo, Bantul Jadi Sumber Cuan

Pengelolaan sampah di Panggungharjo, Bantul. (Radar Jogja/Iwan Nurwanto)

Bukannya dibiarkan menumpuk di TPA, warga Panggungharjo, Bantul, DIY, memilih untuk mengelola sampahnya sendiri. Berkat pengelolaan yang tepat, sampah di sana bahkan jadi sumber cuan.

Inibaru.id – Masalah sampah masih jadi hal yang memusingkan warga di daerah-daerah di Indonesia. Tapi, bagi warga Panggungharjo, Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, sampah justru bisa jadi sumber cuan. Kok bisa?

Di Indonesia, pengelolaan sampah memang belum benar-benar bagus. Hal ini membuat kita sering melihat masalah penumpukan sampah di tempat pembuangan akhir (TPA). Bahkan, banyak warga yang membuang sampah di lahan kosong, pinggir sungai, atau lokasi-lokasi lain yang seharusnya steril. Hal ini tentu membuat lingkungan tercemar, bukan?

Nah, warga Panggungharjo sadar kalau masalah sampah ini nggak bisa disepelekan begitu saja. Soalnya, setiap hari pasti ada sampah yang harus dibuang. Di Bantul saja, menurut laporan Antara pada Selasa (27/9/2022), per hari ada 600 ton sampah. Jika hanya mengandalkan tukang sampah untuk membuangnya, sebenarnya hal ini hanya memindahkan sampah dari satu tempat ke tempat lain saja, bukannya mengelolanya agar bisa didaur ulang dan nggak mencemari lingkungan.

Pengelolaan Sampah oleh BUMDes Kupas

Sampah dipilah dan dikelola di Panggungharjo, Bantul. (Bernas.id/Deny Hermawan)

Lalu, seperti apa pengelolaan sampah di Desa Panggungharjo? Lurah setempat Wahyudi Anggoro Hadi menyebut di tempat tinggalnya ada BUMDes Kupas (Kelompok Usaha Pengelola Sampah) yang eksis sejak 2013.

“Pengelolaannya seperti ini, sampah organik bisa dijadikan kompos serta pakan maggot (belatung). Kalau yang anorganik, bisa dijual ke industri daur ulang atau dibuat kayu berbahan dasar plastik,” ungkap Wahyudi sebagaimana dikutip dari Radar Jogja, Selasa (27/9).

Awalnya, warga enggan ikut serta dalam program ini karena harus repot-repot memilah sampahnya. Wahyudi menyebut hanya 18 persen warga Panggungharjo yang mau mengikuti program ini saat kali pertama Kupas aktif. Untungnya, Kupas punya cara jitu untuk membuat warga lebih tertarik ambil bagian, yaitu dengan membuat Program Tabungan Emas.

“Per 2020, kami melakukan skema disintensif. Jadi yang mau memilah sampah dapat tabungan emas. Kalau yang nggak mau memilah sampah bakal diminta membayar retribusi dua kali lipat. Meski kesannya memaksa, ini untuk kebaikan semua,” terangnya.

Inovasi Kupas makin terasa pada 2022. Aplikasi Pasti Angkut diluncurkan. Lewat aplikasi tersebut, sekitar 1.600 warga yang jadi pelanggan Kupas bisa mengorder pengangkutan sampah dan pembayaran retribusi lewat ponsel. Di aplikasi ini pula, warga bisa mempelajari cara memilah atau mengelola sampah dengan benar.

O ya, tarif pengangkutan sampah yang ditarik lewat aplikasi ini juga murah, yaitu Rp1.000 per kilogram. Rata-rata, warga hanya membayar total Rp10 ribu per bulan, jauh lebih murah dari biaya rata-rata pengangkutan sampah di DIY yang mencapai Rp25 ribu –Rp50 ribu.

Jadi Sumber Cuan

Kupas Panggungharjo kini mampu mengelola sampah 4,5 ton per hari. (Kawaldesaku)

Karena sampah di Panggungharjo dipilah dengan baik, otomatis banyak sampah-sampah yang bisa didaur ulang. Nah, sampah yang disebut dengan ‘rosok’ ini dikumpulkan dan dibeli pengusaha daur ulang. Hasilnya nggak main-main, bisa memberikan pemasukan Rp17 juta per bulan!

Kini, Kupas Panggungharjo mampu mengelola sampah sebanyak 4,5 ton per hari. BUMDes ini juga sudah membeli alat pemilah sampah berteknologi terbaru yang memungkinkan pengelolaan sampah sampai 180 ton per hari atau setara dengan sampah yang diproduksi 30 ribu keluarga. Mereka semakin optimis mampu membantu mengatasi masalah sampah di Bantul dan sekitarnya.

Aksi pengelolaan sampah di Panggungharjo, Bantul ini memang layak diacungi jempol, ya, Millens. Semoga saja daerah-daerah lain terinspirasi untuk melakukan inovasi-inovasi serupa. (Arie Widodo/E10)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024