Inibaru.id - Sebelum membicarakan film Mangkujiwo yang rilis pada Kamis (30/1/2020) kemarin, saya menyarankan agar kamu menghilangkan semua "kenangan" dari film Kuntilanak yang sudah-sudah.
Film ini lebih membahas mengenai asal-usul Kuntilanak secara folklor (ya meskipun disisipi adegan ngeri). Jadi jangan harap ada sesosok yang muncul di bawah kasur, kabut tebal, situasi yang selalu temaram, dan ada orang pintar sebagai juru selamat. Kesengajaan saya yang memilih jam nonton paling akhir juga nggak memberi saya efek serem. Huft, nggak banget.
Latar Mangkujiwo dihiasi dengan kebudayaan Jawa yang kental. Benar-benar di masa lampau yang relevan akan klenik, benda-benda pusaka, dan tradisi. Untuk hal ini saya suka sih. Nggak seperti film lainnya yang berupaya keras menggabungkan budaya lama dan modernitas.
Mangkujiwo
diceritakan dengan alur maju-mundur. Pada bagian ini awalnya saya sedikit
bingung. Sebab dalam pembagian adegan alur masa kini dan masa lampau loncatannya
kurang lembut. Jadi kalau kamu nggak konsen dan telaten mencermati, pasti bakal
bingung juga. Jadi, jangan pegang-pegang smartphone apalagi tangan pacar ya. Buyar nanti.
Titik yang membuat saya mikir (mungkin kamu juga) adalah pada kemunculan Uma (Yasamin Jasem). Dia muncul selepas adegan Kanti (Asmara Abigail), seorang wanita gila, yang sedang dimantra-mantrai oleh Brotoseno (Sujiwo Tejo) untuk dipersembahkan pada cermin “Pengilon Kembar”.
Selain rupa yang hampir mirip, kekuatan dadakan Uma saat hendak diperkosa membuat saya mengira kalau Uma dan Kanti adalah tokoh yang sama. Ternyata mereka adalah ibu dan anak.
Brotoseno saya kira berperan besar dalam menjelaskan kalau ini adalah film horror-thriller. Karena suasana mencekam datang pada saat dia merapal mantra, melakukan sejumlah tindakan keji dan menjijikkan seperti mencampur jeroan tikus dengan nasi untuk diberikan kepada Kanti.
Selebihnya, ibarat cerita rakyat biasa. Adegan bunuh-bunuhan
juga nggak membuat saya bergidik. Efeknya kurang nyata. Dengungan lagu “Lingsir
Wengi” juga nggak membantu. Ya meskipun visualnya bagus sih.
Dari sekian tokoh, Sujiwo Tejo dan Djenar Maesa Ayu (Nyi Kenanga) merupakan pemeran terbaik. Mereka berdua memberi ruh. Saya kira tanpa kedua tokoh tersebut film ini mungkin nggak ada apa-apanya. Asmara Abigail saya anggap gagal berperan sebagai orang Jawa. Intonasi aksen bahasa Jawanya payah. Sementara Yasamin Jasem berwajah terlalu “bule” untuk menjadi gadis Jawa.
Secara premis sebetulnya film ini memiliki maksud yang baik dan nggak klise. Banyak pesan tersirat terutama tentang kebudayaan Jawa dan benang merah antara film Kuntilanak lainnya. Namun saya kecewa tatkala mencapai akhir film.
Banyak adegan yang dipaksakan dan nggak masuk akal. Jujur ya, Millens, saya malah tertawa ketika Kanti, yang sudah menjadi kuntilanak, dengan cukup heroik datang untuk membantu anaknya Uma dengan gerakan yang mirip Kungfu Hustle. (Audrian F/E05)