BerandaHits
Selasa, 16 Jun 2025 14:46

Statistik Pekerja Anak Terus Naik, Upaya Global Masih Jauh Panggang dari Api

Ilustrasi: Data terbaru BPS mencatat, masih ada jutaan pekerja anak di Indonesia selama 2024. Jumlah ini meningkat dibanding tahun sebelumnya. (Unicef)

Didorong oleh kemiskinan, akses sekolah, dan perlindungan sosial, Indonesia mencatat jutaan anak masih bekerja, meningkat dari tahun sebelumnya. Ini sejalan dengan statistik global yang memastikan bahwa upaya untuk menghapus pekerja anak di dunia masih jauh panggang dari api.

Inibaru.id - Sehari sebelum peringatan Hari Dunia Menentang Pekerja Anak pada 12 Juni lalu, dua organisasi PBB yang mengurusi perburuhan (ILO) dan anak (Unicef) menyatakan, upaya untuk menghapus pekerja anak di dunia masih jauh panggang dari api.

Hal ini nggak lepas dari laporan mereka tentang “Child Labour: Global estimates 2024, trends and the road forward" yang menyatakan bahwa target untuk menghapus pekerja anak belum tercapai. Per 2024, masih terdapat 138 juta anak tercatat sebagai pekerja, dengan 54 juta di antaranya pada sektor yang berbahaya.

Alasannya bermacam-macam. Yang pertama adalah kemiskinan yang membuat pendapatan keluarga terlalu rendah sehingga kontribusi anak dianggap vital. Lainnya adalah karena kesulitan anak mengakses sekolah, baik dari segi kualitas, biaya, hingga jarak tempuh hingga membuat mereka memilih bekerja.

Data ini bersifat global, dengan Afrika menanggung beban terbesar hingga 87 juta pekerja di bawah umur, sementara sisanya tersebar di Amerika Latin, Eropa, dan Asia. Bicara tentang Asia, Indonesia juga termasuk negara yang berkontribusi di dalamnya.

Keharusan Membantu Orang Tua

Naufal Hakimi nggak menampik kenyataan ini. Saat menjadi seorang guru sukarelawan di sebuah SD di desa yang berlokasi di lereng gunung di Jateng, dia mengatakan sering menjumpai kelasnya sepi, terutama pada musim panen tembakau.

"Banyak (siswa) yang nggak masuk karena membantu orang tuanya panen. Ini sudah menjadi kebiasaan di desa itu, jadi mau nggak mau saya mafhum," terang lelaki yang sekarang berdomisili di Kota Semarang tersebut, Senin (16/6/2025).

Tiga tahun bekerja di SD itu, Naufal juga menyadari bahwa nggak sedikit siswa yang pada memilih berhenti di tengah jalan. Nggak lulus. Biasanya mereka memilih bekerja, entah menjadi buruh, ikut merantau bersama kakaknya yang sudah berangkat ke kota besar lebih dulu, atau bikin usaha sendiri di rumah.

"Saya pikir anak berhenti sekolah di tengah jalan cuma ada pada masa saya masih SD dulu, ternyata sampai sekarang juga masih ada," keluhnya.

Mereka yang Tak Punya Pilihan

Sejalan dengan data ILO dan Unicef, upaya menghapus pekerja anak di Indonesia juga seolah berjalan di tempat. Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, per 2024, sebanyak 1,27 juta anak Indonesia tercatat masih bekerja. Angka ini naik dari 1,01 juta anak pada tahun sebelumnya.

Angka ini senilai dengan 2,17 persen dari keseluruhan anak usia 5-17 tahun di Indonesia. Terlihat kecil? Namun, hal ini nggak mengubah fakta bahwa upaya menjauhkan anak dari "kewajiban" untuk membantu dapur orang tua agar tetap mengepul dengan menghilangkan masa kecilnya lebih cepat masih sulit dilakukan.

Ilustrasi: Sekitar 2,17 persen anak di bawah umur (5-17 tahun) di Indonesia pada 2024 tercatat sebagai pekerja. (Human Rights Watch/Marcus Bleasdale)

Berdasarkan data BPS itu, pekerja anak terbanyak tinggal di perdesaan. Persentasenya sekitar 2,82 persen; dua kali lipat dibanding perkotaan (1,72 persen). Pekerjaan mereka bermacam-macam, mulai dari buruh tani, pekerja di kebun, penjaga warung milik orang tua, atau sebagai buruh kasar di pasar tradisional.

“Gejolak ekonomi sering memaksa keluarga mengirim anak-anak mereka bekerja,” ungkap Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat dalam sebuah wawancara pada 16 Maret 2025 lalu.

Kebutuhan Harian Menuntut Tenaga Tambahan

Kemiskinan struktural masih menjadi biang kerok yang sulit dibongkar terkait hal ini. Pengamat sosial dari Universitas Padjadjaran Prof Nunung Nurwati mengatakan, banyak keluarga yang dipenuhi dilema. Satu sisi, mereka menginginkan anaknya bersekolah, tapi kebutuhan harian menuntut tenaga tambahan.

“Lingkungan harus tercipta secara kondusif sehingga anak bisa mengaktualisasikan dirinya. Pendidikan juga harus terjangkau,” terangnya pada 23 Maret lalu.

Sayangnya, kondisi ideal itu masih sulit dicapai. Banyak sekolah di daerah terpencil belum memadai, akses jalan susah, biaya penunjang sekolah mahal; lengkap sudah alasannya.

Di atas kertas, Indonesia punya payung hukum, yakni: Undang-Undang Perlindungan Anak dan ratifikasi Konvensi ILO tentang Penghapusan Bentuk Pekerja Anak Terburuk. Namun, implementasinya masih jadi pekerjaan rumah bersama.

“Peningkatan pekerja anak ini jadi indikator bahwa sistem perlindungan harus terus diperkuat,” kata Nahar, Deputi Perlindungan Anak Kemen-PPPA pada 7 Januari 2024 lalu.

Jalan Akhir Masih Panjang

Hal senada diungkap Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah yang mengakui besarnya tantangan untuk membebaskan jutaan anak dari dunia kerja informal.

“Satu juta lebih anak Indonesia harus dikeluarkan dari dunia kerja. Kami perlu komitmen dan kerja bersama lintas sektor,” ujar Ida, dikutip dari Kompas (23/7/2024).

Pekerja anak adalah cermin rapuhnya benteng perlindungan sosial keluarga rentan. Naiknya angka pekerja anak menegaskan satu hal: memutus rantai kemiskinan butuh lebih dari sekadar slogan. Hari ini, di sudut-sudut desa, ladang, pasar, atau jalanan kota kecil, jutaan anak masih memanggul beban orang dewasa.

Hari ini, jutaan anak menggadaikan mimpinya demi sesuap nasi untuk keluarga. Butuh tindakan nyata agar mereka bisa kembali ke bangku sekolah. Tanpa upaya memperkuat jaminan sosial dan akses pendidikan, kita tahu ke mana grafik pekerja anak ini akan mengarah. (Siti Khatijah/E07)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Bakmi Palbapang Pak Uun Bantul, Hidden Gem Kuliner yang Bikin Kangen Suasana Jogja

2 Des 2025

Bahaya Nggak Sih Terus Menancapkan Kepala Charger di Soket Meski Sudah Nggak DIpakai?

2 Des 2025

Lebih Mudah Bikin Paspor; Imigrasi Semarang Resmikan 'Campus Immigration' di Undip

2 Des 2025

Sumbang Penyandang Kanker dan Beri Asa Warga Lapas dengan Tas Rajut Bekelas

2 Des 2025

Mengapa Kebun Sawit Nggak Akan Pernah Bisa Menggantikan Fungsi Hutan?

2 Des 2025

Longsor Berulang, Sumanto Desak Mitigasi Wilayah Rawan Dipercepat

2 Des 2025

Setujui APBD 2026, DPRD Jateng Tetap Pasang Target Besar Sebagai Lumbung Pangan Nasional

28 Nov 2025

Bukan Hanya Padi, Sumanto Ajak Petani Beralih ke Sayuran Cepat Panen

30 Nov 2025

Pelajaran Berharga dari Bencana Longsor dan Banjir di Sumatra; Persiapkan Tas Mitigasi!

3 Des 2025

Cara Naik Autograph Tower, Gedung Tertinggi di Indonesia

3 Des 2025

Refleksi Akhir Tahun Deep Intelligence Research: Negara Harus Adaptif di Era Kuantum!

3 Des 2025

Pelandaian Tanjakan Silayur Semarang; Solusi atau Masalah Baru?

3 Des 2025

Spunbond, Gelas Kertas, dan Kepalsuan Produk Ramah Lingkungan

3 Des 2025

Regenerasi Dalang Mendesak, Sumanto Ingatkan Wayang Kulit Terancam Sepi Penerus

3 Des 2025

Ajak Petani Jateng Berinovasi, Sumanto: Bertani Bukan Lagi Pekerjaan Sebelah Mata

23 Nov 2025

Sumanto: Peternakan Jadi Andalan, Tapi Permasalahannya Harus Diselesaikan

22 Nov 2025

Versi Live Action Film 'Look Back' Garapan Koreeda Hirokazu Dijadwalkan Rilis 2026

4 Des 2025

Kala Warganet Serukan Patungan Membeli Hutan Demi Mencegah Deforestasi

4 Des 2025

Mahal di Awal, tapi Industri di Jateng Harus Segera Beralih ke Energi Terbarukan

4 Des 2025

Tentang Keluarga Kita dan Bagaimana Kegiatan 'Main Sama Bapak' Tercipta

4 Des 2025

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

A Group Member of

Ikuti kamu di: