BerandaHits
Kamis, 7 Des 2022 17:10

Sepotong Cerita Aksi Jurnalis Semarang Menolak Pengesahan RKUHP

Sejumlah masa aksi yang terdiri dari elemen jurnalis dan pers mahasiswa Kota Semarang menentang pengesahan RKUHP, Senin (5/12/2022). (Inibaru.id/ Fitroh Nurikhsan)

Jurnalis Semarang turut serta dalam aksi menolak pengesahan RKUHP yang sehari selanjutnya tetap dijadikan undang-undang oleh DPR. Setelah ini, langkah apa yang akan mereka lakukan?

Inibaru.id - Cuaca menjelang tengah hari yang terik pada Senin (5/12/2022) nggak menyurutkan kami, para jurnalis Kota Semarang, untuk menggelar aksi menolak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Di depan Gedung DPRD Jawa Tengah, kami membentangkan spanduk besar.

"Alerta!! Pengesahan RKUHP di Depan Mata #SemuaBisaKena #TibaTibaDipenjara," begitu bunyinya.

Selain membentangkan spanduk, kami yang terdiri atas belasan jurnalis dari pelbagai media dan pers mahasiswa turut mengangkat tulisan-tulisan di kertas yang berisikan penolakan terhadap RKUHP. Kamal, sang koordinator lapangan (Korlap), membuka aksi dengan memanjatkan doa.

"Untuk keberlangsungan aksi, supaya tujuan yang ingin kita suarakan tercapai. Marilah menundukkan kepala untuk berdoa!" pinta Kamal kepada seluruh peserta aksi.

Sejurus kemudian, aksi dilanjutkan dengan orasi yang kian memanas di tengah terik matahari. Kami memang geram. Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang Aris Mulyawan nampak menggebu-gebu saat menyampaikan orasinya.

"Banyak pasal di RKUHP yang merugikan masyarakat, terkhusus jurnalis," seru lelaki berkacamata yang siang itu mengenakan penutup kepala warna hitam.

Kebebasan Pers dan Demokrasi 

Menurutnya, berdasarkan temuan dan hasil riset yang dilakukan oleh tim AJI, setidaknya terdapat 17 pasal yang menurutnya dapat mengancam kebebesan pers dan demokrasi di Indonesia.

"Kami berdiri di sini menuntut penghapusan pasal-pasal bermasalah itu. Bagi saya, RKUHP ini tidak berpihak kepada masyarakat, termasuk jurnalis," geramnya melalui pengeras suara, yang segera disambut dengan seruan para peserta aksi lain.

Potret massa aksi yang merupakan gabungan jurnalis dan pers mahasiswa Kota Semarang yang tengah membentangkan spanduk penolakan pengesahan RKUHP. (Inibaru.id/ Fitroh Nurikhsan)

Selanjutnya, aksi dilanjutkan dengan pembacaan puisi "Seonggok Jagung" oleh perwakilan pers mahasiswa Fikri Toharuddin. Dia mengatakan sengaja membaca puisi karya WS Rendra tersebut karena ingin mengajak peserta aksi, masyarakat, dan pihak kepolisian, merenungi perannya masing-masing.

"Semacam ingin mengingatkan dan mereflesikkan untuk apa kita ada serta sebagai apa kita berdiri dan duduk," kata Fikri.

Setali tiga uang dengan Aris, Fikri juga menilai pasal-pasal bermasalah temuan AJI bisa memberangus kebebasan pers, padahal seharusnya jurnalis mendapat ruang-ruang yang aman. Ini penting, karena kerja jurnalis adalah pilar sekaligus partner pemerintah dalam menegakkan demokrasi di Tanah Air.

"Adanya RKUHP ini malah seperti jadi pasal-pasal karet yang dapat merugikan jurnalis untuk melakukan fungsi kontrolnya," tegas Fikri.

Dari Aksi ke Jalur Hukum

Pada Selasa (6/12), pemerintah melalui DPR RI memutuskan mengesahkan RKUHP menjadi undang-undang (UU) melalui mekanisme sidang. Dipimpin Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmaddi, beleid hukum pidana terbaru ini pun menggantikan KUHP warisan kolonialisme yang dianggap sudah usang.

Membaca berita ini, saya jadi teringat apa yang dilontarkan Aris dan orator lain di tengah aksi sehari sebelumnya. Hari itu, Aris mengatakan, jika pemerintah kekeuh mengesahkan RKUHP tanpa mendengar aspirasi masyarakat, akan ada perlawanan lain, termasuk menempuh jalur hukum.

"Kami akan terus melawan dengan langkah-langkah yang masih ada peluang untuk dilakukan, semisal langkah hukum," tegas jurnalis senior di Semarang tersebut.

Dia juga berjanji akan kembali turun ke jalan dengan mengerahkan massa yang jauh lebih banyak, lalu bersama-sama menolak pasal-pasal yang masih bermasalah itu.

"Kami akan mengajak seluruh elemen masyrakat untuk saling bergandengan tangan, menolak pasal-pasal yang tidak memihak masyarakat," tandasnya.

Pengesahan undang-undang yang terkesan terburu-buru ini tentu saja membuat banyak pihak merasa kecewa. Bukankah aturan hukum pidana seharusnya dibuat dengan mempertimbangkan aspirasi seluruh elemen masyarakat alih-alih kepentingan kelompok tertentu? (Fitroh Nurikhsan/E03)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024

Menyusuri Perjuangan Ibu Ruswo yang Diabadikan Menjadi Nama Jalan di Yogyakarta

11 Nov 2024

Aksi Bersih Pantai Kartini dan Bandengan, 717,5 Kg Sampah Terkumpul

12 Nov 2024

Mau Berapa Kecelakaan Lagi Sampai Aturan tentang Muatan Truk di Jalan Tol Dipatuhi?

12 Nov 2024

Mulai Sekarang Masyarakat Bisa Laporkan Segala Keluhan ke Lapor Mas Wapres

12 Nov 2024

Musim Gugur, Banyak Tempat di Korea Diselimuti Rerumputan Berwarna Merah Muda

12 Nov 2024

Indonesia Perkuat Layanan Jantung Nasional, 13 Dokter Spesialis Berguru ke Tiongkok

12 Nov 2024

Saatnya Ayah Ambil Peran Mendidik Anak Tanpa Wariskan Patriarki

12 Nov 2024