Inibaru.id - Ratusan pelajar yang mendadak terserang gejala keracunan setelah menyantap makan siang gratis di Cipongkor, Kecamatan Bandung Barat, kian menambah daftar panjang kasus dugaan keracunan akibat MBG di Indonesia.
Bermula ketika puluhan siswa SMK di Desa Sirnagalih, Kecamatan Cipongkor, mengeluhkan muntah, demam, dan sesak napas setelah makan siang MBG di sekolah mereka pada Senin (22/9/2025), jumlah korban terus bertambah sesudahnya.
Kapolsek Sindangkerta Iptu Solehudin mengonfirmasi bahwa data awal mencatat sekitar 15 siswa terdampak, seblum bertambah hingga berlipat ganda setelahnya. "Betul ada (keracunan massal karena MBG), sudah ditangani oleh petugas medis,” ujarnya kala itu.
Pada Selasa pagi, pelajar yang terdampak mencapai 352 orang, lalu melonjak menjadi 411 orang sehari kemudian; dengan gejala yang nyaris sama, antara lain muntah, mual, sakit kepala, dan sesak napas. Beberapa di antara mereka bahkan sampai rawat inap.
Ribuan Korban Berjatuhan
Bandung Barat bukan satu-satunya daerah yang mengalami kasus keracunan MBG. Dirangkum dari berbagai sumber, Jawa Barat menjadi provinsi dengan jumlah kasus tertinggi, yakni mencapai 2.012 kasus hingga pertengahan September 2025.
Secara nasional, kasus yang ditemukan mencapai 5.360 kasus pada sekitar 14 September dan bertambah hingga mencapai 5.626 kasus seiring dengan terus bertambahnya laporan yang masuk. Tentu saja jumlah tersebut belum final, mengingat nggak semua korban memberikan kesaksian.
Hal ini tentu saja menjadi trauma tersendiri bagi anak maupun orang tua korban. Jumlah korban terus bertambah juga memicu keresahan publik. Dorongan agar pemerintah bertanggung jawab secara hukum atas kegagalan pengelolaan program tersebut pun mencuat.
Sri Raharjo dari Pusat Studi Pangan dan Gizi UGM menilai, rentetan keracunan ini memperlihatkan kegagalan sistemik dalam proses penyiapan, pengolahan, maupun distribusi makanan. Dia memperingatkan bahwa makanan yang telah dimasak tidak semestinya disimpan lebih dari empat jam agar bakteri tidak berkembang.
Peluang Hukum untuk Korban
Pertanyaannya, adakah potensi masyarakat yang menjadi korban keracunan MBG menggugat pemerintah berdasarkan hukum di Indonesia atas kasus yang menimpa mereka. Jawabannya adalah bisa, tapi prosesnya bisa sangat panjang dan nggak mudah.
Dikutip dari BBC, Selasa (23/9/2025) berikut adalah poin-poin penting yang diperlukan saat menyoal peluang hukum untuk korban:
1. Dasar Gugatan
Wakil Ketua Riset Bidang Advokasi dan Jaringan YLBHI Arif Maulana menyebut, kebijakan MBG telah “menimbulkan banyak masalah”. Dia menyatakan bahwa masyarakat berhak secara hukum mengajukan gugatan kepada pemerintah.
Kerugian yang dapat diklaim meliputi material (seperti biaya pengobatan) dan immaterial (trauma, penderitaan). Untuk landasan hukumnya adalah Pasal 1365 KUHPerdata yang disebut sebagai dasar untuk “perbuatan melawan hukum”.
"Syaratnya, ada pelanggaran undang-undang atau norma masyarakat, serta kausalitas nyata," sebutnya.
2. Jenis Gugatan yang Dapat Digunakan
- Class Action: Gugatan kolektif di mana satu atau lebih orang mewakili kelompok korban dengan fakta dan kejadian serupa.
- Citizen Lawsuit: Lebih fokus pada mengikat pemerintah agar memperbaiki kebijakan, bukan hanya kompensasi; seperti revisi atau penghentian kebijakan yang terbukti merugikan.
3. Contoh Serupa di Indonesia
Sebuah contoh nyata gugatan class action adalah kasus gagal ginjal akut yang terjadi beberapa waktu lalu. Dikutip dari BBC (8/2/2024), keluarga korban menggugat Kementerian Kesehatan, BPOM, dan beberapa perusahaan farmasi atas dugaan kelalaian yang mengakibatkan lebih dari 200 anak meninggal dan sakit.
Gugatan tersebut bukan hanya menuntut kompensasi, tapi juga perbaikan sistem agar tragedi serupa nggak terulang.
Tantangan yang Dihadapi
Walau peluang hukumnya ada dan korban punya kesempatan untuk menggugat pemerintah, menurut Arif, kenyataannya korban MBG menghadapi beberapa hambatan serius:
1. Beban Pembuktian
Korban harus membuktikan bahwa keracunan disebabkan oleh MBG yang disediakan pemerintah dan bukan faktor eksternal seperti sanitasi sekolah atau kesehatan individu. Bukti lab dan dokumentasi sangat penting dalam hal ini.
2. Proses Hukum yang Panjang dan Rumit
Biaya, waktu, tenaga, serta kebutuhan untuk mendapatkan kuasa hukum yang kompeten diperlukan. Menurut Arif, nggak semua orang berani dan punya cukup waktu untuk itu.
3. Kepatuhan Pemerintah terhadap Putusan
Dalam hal ini, Arif mengambil contoh kasus pencemaran udara. Pemerintah bisa dikalahkan di pengadilan, tetapi eksekusi putusan kadang berjalan lambat atau nggak sepenuhnya dijalankan. Ini menjadi risiko bahwa meskipun gugatan dimenangkan, dampak praktisnya bisa terlalu kecil.
4. Kesadaran dan Akses Publik
Banyak korban dan orang tua belum sepenuhnya memahami hak-hak hukum mereka dalam situasi seperti ini, termasuk prosedur menggugat serta jenis gugatan apa yang paling tepat.
Keracunan massal yang diduga akibat program MBG, termasuk kasus besar di Bandung Barat yang menimpa ratusan pelajar dengan gejala keracunan, bukan hanya alarm kesehatan, tapi barangkali juga bisa jadi pertanda adanya kegagalan sistemik dalam pelaksanaan kebijakan publik.
Terlepas dari kemungkinan untuk menggugat atau tidak, kebijakan publik yang mengalami kendala sudah tentu harus dievaluasi. Yang terpenting bukanlah membuktikan kebenaran atau kesalahan, tapi mencegah kejadian serupa terjadi lagi di kemudian hari. Gimana menurutmu, Gez? (Siti Khatijah/E10)
