BerandaAdventurial
Rabu, 24 Sep 2025 17:27

Tari 'Beswara Ngara-Ngara' dan Upaya Menjaga Hutan dengan Kesenian

Penulis:

Tari 'Beswara Ngara-Ngara' dan Upaya Menjaga Hutan dengan KesenianImam Khanafi
Tari 'Beswara Ngara-Ngara' dan Upaya Menjaga Hutan dengan Kesenian

Salah satu penampilan kelas tari Kampung Budaya Piji Wetan di Panggung Ngepringan Piji. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Di atas Panggung Ngepringan Piji di Kampung Budaya Piji Wetan, anak-anak menampilkan kesenian Tari 'Beswara Ngara-Ngara' yang menggambarkan daur hidup pepohonan. Selain menghibur, tersemat doa, peringatan, dan ajakan untuk menjaga hutan dalam kesenian itu.

Inibaru.id - Malam turun pelan-pelan di Kampung Budaya Piji Wetan, Desa Lau, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus. Udara lereng Muria yang sejuk membawa aroma dedaunan basah. Lampu-lampu di Panggung Ngepringan mulai menyala, memantulkan cahaya ke rimbun pohon bambu di sekelilingnya.

Denting musik mengalun, mengundang penonton yang duduk bersila di kursi-kursi kayu dan tikar pandan untuk memalingkan muka arah panggung. Tiba-tiba, suara tabuhan perkusi menyeruak, disusul sorak-sorai lembut burung-burung malam dari kejauhan.

Dari balik tirai bambu, sekelompok penari kecil merangsek maju. Lengan mereka melambai, tubuh meliuk luwes mengikuti irama yang mengalir. Itulah pembuka pentas Tari Beswara Ngara-Ngara, sebuah pertunjukan yang menghibur sekaligus melantun doa, memberi peringatan, dan menyatakan ajakan.

“Beswara” berarti bunyi, sedangkan “Ngara-Ngara” adalah nama kawasan hutan di Kebun Agung, lereng Muria. Tari ini mengisahkan perjalanan alam: dari hutan yang rimbun, mata air yang melimpah, hingga perubahan ekologis yang membuat pepohonan meranggas.

“Ini kisah nyata di Desa Ngara-Ngara. Dulu pohon besar menjadi penjaga mata air, tapi kini semakin jarang,” ujar Asri Norrodiyah, Koordinator Kelas Tari, usai pementasan, belum lama ini.

Lebih Fasih dari Kata-Kata

Salah satu penampilan kelas tari Kampung Budaya Piji Wetan di Pangung Ngepringan Piji (Inibaru.id/ Imam Khanafi)
Salah satu penampilan kelas tari Kampung Budaya Piji Wetan di Pangung Ngepringan Piji (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Di atas panggung, tubuh para penari bercerita lebih fasih daripada kata-kata. Anak-anak melangkah dengan gerakan kecil, seolah menirukan benih yang baru tumbuh. Remaja dan orang dewasa kemudian menyusul, gerakan mereka makin cepat, menggambarkan hutan yang semula lebat dan penuh kehidupan.

Tiba-tiba musik berubah. Nada-nada tinggi dan dentuman rendah terdengar seperti gergaji. Penari memutar tubuh dengan gerakan patah-patah. Lampu panggung meredup menjadi kemerahan, menciptakan bayangan seperti batang pohon yang roboh.

Penonton terdiam. Seorang anak kecil di barisan depan menatap tanpa berkedip, seolah ikut merasakan kehilangan yang dilambangkan para penari.

“Tarian ini lahir dari kegelisahan bersama atas kondisi hutan yang kian tak terawat. Dulu, mata air di kaki Muria menjadi sumber kehidupan bagi desa-desa sekitar. Tapi seiring waktu, pohon-pohon ditebangi dan air pun menyusut. Lewat gerakan, kami ingin orang-orang bisa merasakan sendiri luka itu,” jelasnya.

Dari Kehancuran ke Kebangkitan

Namun, Beswara Ngara-ngara tak berhenti pada kesedihan. Setelah keheningan yang menekan, musik menjadi lebih ceria. Penari berganti kostum bernuansa hijau dan kuning sebagai simbol tunas baru. Mereka menari sambil membawa replika bibit rambutan, durian, alpukat, kopi sebagai lambang kembalinya kehidupan.

“Ini pesan bahwa akan selalu ada harapan. Masyarakat bisa menanam lagi, merawat lagi. Alam punya kemampuan memulihkan diri kalau kita mau,” kata Asri begitu melihat para penari bergerak lebih ringan, melingkar, seperti angin yang membawa benih ke tanah subur. Saat itulah penonton bertepuk tangan riuh.

Salah satu penampilan kelas tari Kampung Budaya Piji Wetan di Pangung Ngepringan Piji (Inibaru.id/ Imam Khanafi)
Salah satu penampilan kelas tari Kampung Budaya Piji Wetan di Pangung Ngepringan Piji (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Pentas malam itu bukan hanya milik para penari. Di sudut panggung, seorang seniman melukis kaligrafi secara langsung, sementara anak-anak menampilkan pantomim sederhana tentang air yang hilang dari sungai. Semua elemen berpadu menjadi pengalaman multisensori: suara, gerak, warna, dan makna.

Menurut Asri, keterlibatan anak-anak dan remaja ini bukan sekadar estetika, tapi pendidikan lingkungan. Mereka, lanjutnya, belajar bahwa menjaga alam bukan tugas orang tua saja. Lewat seni, dia menegaskan, pesan ini bisa menembus hati, bukan hanya kepala.

Merawat Alam Bukan sekadar Wacana

Pada akhir acara, lampu panggung perlahan padam, menyisakan cahaya bulan yang menembus celah bambu. Penonton berdiri, sebagian menatap ke arah lereng Muria yang gelap, mungkin membayangkan hutan Ngara-ngara yang dulu penuh pohon besar.

Pergelaran itu menjadi pengingat bahwa merawat alam bukan sekadar wacana, melainkan tindakan sehari-hari seperti menanam pohon, menjaga sumber air, dan menghargai warisan leluhur. Seni menjadi cara yang lembut tapi kuat untuk menyampaikan pesan itu.

“Semoga semakin banyak anak muda sadar menjaga lingkungan, menghargai cara-cara leluhur merawatnya,” kata Asri, menutup malam penuh pesan.

Di Piji Wetan, suara Beswara Ngara-ngara nggak hanya bergema di panggung, tapi juga di hati setiap penonton; seperti bunyi alam yang terus memanggil, mengajak, dan memberi peringatan agar kita menjaga hutan yang merupakan rumah kita bersama. (Imam Khanafi/E10)

Tags:

Inibaru Indonesia Logo

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

Sosial Media
A Group Member of:
medcom.idmetro tv newsmedia indonesialampost

Copyright © 2025 Inibaru Media - Media Group. All Right Reserved