BerandaTradisinesia
Senin, 22 Sep 2025 15:01

Guyang Cekathak: Ritual Membasuh Pelana Sunan Muria yang Merekatkan Warga

Penulis:

Guyang Cekathak: Ritual Membasuh Pelana Sunan Muria yang Merekatkan WargaImam Khanafi
Guyang Cekathak: Ritual Membasuh Pelana Sunan Muria yang Merekatkan Warga

Cekathak, pelana kuda peninggalan Sunan Muria Sayyid Umar Said sedang dibawa untuk di siram di Sendang Rejoso (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Digelar tiap Jumat Wage pada bulan September, tradisi Guyang Cekathak di Desa Colo, Kudus, bukan cuma tentang ritual membasuh pelana peninggalan Sunan Muria, tetapi juga doa, kebersamaan, dan simbol persatuan warga yang diwariskan turun-temurun.

Inibaru.id – Embun pagi masih menempel di dedaunan kala puluhan warga Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, berbondong-bondong menuju aula Yayasan Masjid dan Makam Sunan Muria (YM2SM), Jumat (19/9/2025).

Sejak pukul 06.30 WIB, mereka sudah duduk bersila, berhadapan dengan sebuah benda yang tertutup kain putih. Di sampingnya, kepulan dupa dan kemenyan menari ditingkah angin yang berembus ringan. Wangi; menambah sakral suasana di ruangan tersebut.

Warga dan pengurus yayasan sedang melakukan doa di Sendang Rejoso (Inibaru.id/ Imam Khanafi)
Warga dan pengurus yayasan sedang melakukan doa di Sendang Rejoso (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Benda yang tertutup kain itu adalah cekathak, pelana kuda peninggalan Sunan Muria Sayyid Umar Said. Dalam tradisi Jawa, kuda kerap menjadi simbol perjalanan dan perjuangan, dengan pelana kuda sebagai "ruang kendalinya. Untuk memuliakan Sunan Muria, dibuatlah tradisi yang dikenal sebagai Guyang Cekathak ini.

“Guyang Cekathak adalah tradisi membasuh pelana Sunan Muria. Bukan sekadar memandikan, ini membasuh doa dan harapan kami, supaya masyarakat tetap mendapat berkah dan rahmat dari Allah melalui perantara barokah Sunan Muria,” tutur Mbah Mastur, Dewan Pembina YM2SM, dengan suara lirih dan khidmat.

Mengarak Cekathak

Guyang Cekathak adalah tradisi yang sudah diwariskan secara turun-temurun. Setelah berdoa dan tahlil bersama, selanjutnya cekathak diarak menuju Sendang Rejoso, mata air yang diyakini sebagai tempat Sunan Muria berwudu dan membasuh wajahnya.

Barisan depan melantunkan selawat, diiringi tabuhan terbang papat. Sementara ratusan warga telah menyemut membentuk barisan di sepanjang jalan. Berjajar rapi, campur-bawur menjadi satu, mulai dari pedagang, tukang ojek, petani, hingga peziarah dari luar kota.

Terlihat dawet dalam gelas platik yang nanti akan digunakan untuk diguyang atau disebar (Inibaru.id/ Imam Khanafi)
Terlihat dawet dalam gelas platik yang nanti akan digunakan untuk diguyang atau disebar (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Setibanya di sendang, suasana semakin riuh, tapi tetap tertib. Masing-masing orang membawa nasi berkat dalam tampah untuk didoakan bersama. Ada juga yang menenteng bubur ketan, puceng, hingga dawet muria—hidangan khas pegunungan yang sarat makna simbolis.

Di tepi sendang, air jernih memantulkan cahaya matahari pagi. Di situlah cekathak diletakkan, lalu dengan penuh kehati-hatian seperti jabang bayi, ia dibasuh dengan air sendang dan bunga setaman. Tepuk tangan kecil dari anak-anak yang menonton pecah, seolah menjadi bagian dari doa bersama.

Cendol Tawar dan Hujan

Ada satu bagian unik dari ritual ini, yakni keberadaan Cendol Tawar yang ditebarkan ke udara. Butiran hijau itu melayang sebentar sebelum jatuh ditarik gravitasi kembali ke sumber air. Bagi masyarakat Colo, ini adalah simbol turunnya hujan.

“Karena menjadi simbol turun hujan, cendol yang dipakai itu tawar; tanpa gula dan garam. Selain simbol hujan, cendol tawar ini juga berfungsi untuk membersihkan air sendang,” jelas Mbah Mastur.

Pengurus yayasan berdoa sebelum memakan makanan yang mereka bawa di Sendang Rejoso untuk melakukan makan bersama (Inibaru.id/ Imam Khanafi)
Pengurus yayasan berdoa sebelum memakan makanan yang mereka bawa di Sendang Rejoso untuk melakukan makan bersama (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Masyarakat percaya, ketika musim kemarau panjang datang, guyangan cendol ini menjadi doa bersama agar hujan segera turun. Namun begitu, bukan berarti tradisi ini nggak digelar jika sudah memasuki musim hujan. Tradisi tetap digelar, sebab esensi utamanya juga ngalap berkah dan menjaga warisan budaya.

Seusai ritual, nasi berkat ditata rapi bersama sesaji, bersanding dengan pelana kuda di tepi sendang. Doa kembali dipanjatkan. Setelah itu, warga duduk melingkar dengan alas daun jati. Tangan-tangan saling berebut lauk, tetapi nggak ada yang merasa iri. Semua bagian adalah milik bersama.

Tradisi sebagai Perekat Sosial

Warga Desa Colo makan bersama di sekitaran Sendang Rejoso (Inibaru.id/ Imam Khanafi)
Warga Desa Colo makan bersama di sekitaran Sendang Rejoso (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Bagi masyarakat setempat, tradisi guyang cekathak bukan cuma tentang melestarikan warisan turun-temurun dan melangitkan doa serta harapan, tapi juga upaya untuk tetap bersua, berkelindan dalam kebersamaan, dan memperekat hubungan sosial.

Di tengah modernisasi yang kian cepat, ritual seperti ini menjadi penanda bahwa masyarakat masih punya ruang untuk guyub rukun. Nggak hanya bagi warga setempat, peziarah dari luar daerah pun bisa merasakan kebersamaan yang membahagiakan tersebut, salah satunya Ade Sofwan.

“Semula saya hanya ingin berziarah ke makam Sunan Muria; kebetulan hari ini ada tradisi yang unik ini," sebut lelaki 38 tahun asal Sumatra tersebut di tengah ritual. Saya benar-benar terkesan. Saya belajar banyak, terutama soal kearifan masyarakat sini.”

Dia mengaku terkesima dengan suasana hangat yang ditunjukkan masyarakat setempat; saling sapa tanpa membedakan asal usul, berbagi doa, lalu makanan bersama dengan khidmat. Ade berharap tahun depan punya rezeki yang cukup agar bisa mengikuti ritual ini lagi.

Menjaga Jejak Sunan Muria

Cekathak, pelana kuda peninggalan Sunan Muria Sayyid Umar Said ditutup kain putih setalah ritul selesai. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)
Cekathak, pelana kuda peninggalan Sunan Muria Sayyid Umar Said ditutup kain putih setalah ritul selesai. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Sedikit informasi, Guyang Cekathak merupakan tradisi tahunan yang digelar tiap Jumat Wage pada bulan September, yang tahun ini kebetulan bertepatan dengan Jumat lalu. Bagi warga Colo, tradisi ini adalah bagian dari identitas budaya, karena itulah mereka berusaha menjaga konsistensi tradisi ini.

"Jika dalam kalender Jawa bulan itu tidak ada Jumat Wage, waktunya digeser ke Agustus atau Oktober," kata Mbah Mastur, menuturkan bahwa tanggal penyelenggaraan yang ditetapkan itu bukanlah tanggal pasti, tapi patokan yang bersifat dinamis.

Menurut Mbah Mastur, yang penting bukanlah tanggal, melainkan niat masyarakat setempat untuk nyengkuyung bersama, sama-sama bergerak untuk melestarikan peninggalan Sunan Muria.

Beberapa sajen dalam ritual Guyang Cekathak, pelana kuda peninggalan Sunan Muria Sayyid Umar Said di Sendang Rejoso. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)
Beberapa sajen dalam ritual Guyang Cekathak, pelana kuda peninggalan Sunan Muria Sayyid Umar Said di Sendang Rejoso. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

“Tradisi ini menjadi pengingat supaya keturunan Sunan Muria dan masyarakat sekitar tetap meneruskan perjuangan beliau,” kata Mbah Mastur, menutup obrolan.

Di lereng Muria yang sejuk, guyang cekathak bukan sekadar ritual, melainkan kisah tentang ingatan kolektif, doa-doa sederhana yang dilantunkan bersama, dan warisan budaya yang hidup dari generasi ke generasi. (Imam Khanafi/E10)

Tags:

Inibaru Indonesia Logo

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

Sosial Media
A Group Member of:
medcom.idmetro tv newsmedia indonesialampost

Copyright © 2025 Inibaru Media - Media Group. All Right Reserved