Inibaru.id - Semua orang tahu bahwa salah satu kampus negeri terbaik di Indonesia saat ini yakni Universitas Gajah Mada (UGM) berlokasi di Yogyakarta. Namun, tahukah kamu bahwa almamater politikus Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo itu pernah punya cabang di Magelang?
Kalau nggak tahu, kamu nggak sendirian, kok. Bagi sebagian besar orang, termasuk para alumninya sendiri, informasi ini terbilang asing. Bahkan, dalam buku-buku sejarah resmi UGM, kisah ini nyaris nggak mendapat tempat.
Namun, bukan berarti bukti sejarah itu nggak pernah ada, ya. Pergilah ke Kelurahan Cacaban untuk menemukan buktinya. Berjarak sekitar 2,5 kilometer saja dari Alun-Alun Kota Magelang, di desa yang masuk wilayah Magelang Tengah ini terdapat satu bangunan tua yang diyakini sebagai bekas gedung UGM.
Gedung berwarna dominan krem yang diperkirakan berdiri sekitar dekade 1960-an itu butuh perawatan. Catnya memudar dan bingkai jendelanya berkarat dengan kaca yang sudah pecah melompong. Rumput liar merayap memenuhi halaman.
Menandingi Pengaruh PKI
Sunyi, itulah yang bakal kamu temukan jika berkunjung ke bekas bangunan ini; seolah-olah nggak pernah ada riuh mahasiswa di sini. Padahal, konon pernah ada masa ketika kampus cabang Magelang ini melayani hampir 2.000 mahasiswa dalam rentang 14 tahun perjalanan sejarahnya.
Oya, keberadaan UGM di Magelang bermula dari terbentuknya kampus di bawah Yayasan Perguruan Tinggi Magelang (PTM) pada 1962. Yayasan yang dipimpin pejabat sipil dan militer itu berdiri untuk dua alasan: meningkatkan pendidikan warga dan menandingi pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) di Magelang.
Candra Gustava Wardana, pemerhati sejarah dari Komunitas Mlaku Magelang mengungkapkan, kala itu PKI baru saja merintis Universitas Rakyat Borobudur. Setahun berselang, melalui SK Menteri PTIP No 181, PTM berubah status menjadi kampus negeri dengan nama UGM Cabang Magelang.
"Status 'negeri' hanya berlaku di sisi akademik, sementara urusan keuangan dan administrasi tetap ditangani yayasan," tutur lelaki yang akrab disapa Gus Wista ini. "Tiga fakultas resmi berdiri, yaitu Hukum, Ekonomi, dan Teknik Sipil; dengan dosen-dosen yang sebagian besar didatangkan dari Yogyakarta."
Menelurkan Ratusan Sarjana
Kompleks UGM Cabang Magelang menempati lahan seluas kira-kira 600 meter persegi. Selain ruang kuliah untuk ketiga fakultas, Gus Wista menyebutkan, mereka juga membangun gedung perkantoran, gazebo di belakang kampus, hingga fasilitas publik seperti lapangan untuk kegiatan mahasiswa.
“Dari gazebo ini, pemandangan Gunung Sumbing dan Bandongan membentang indah. Tempat itu dulu diyakini menjadi favorit mahasiswa melepas penat sambil berdiskusi,” tutur lelaki yang hari itu mengiringi para peserta Mlaku Magelang menjelajahi bangunan tua di sekitar pusat kota Magelang ini.
Sayangnya, usia kampus yang berdiri nggak jauh dari pusat kota ini nggak lama. Gus Wista mengungkapkan, tercatat sebanyak 1.855 mahasiswa pernah berkuliah di UGM Cabang Magelang, dengan ratusan sarjana terlahir dari kampus tersebut, sebelum resmi ditutup pada 12 Agustus 1978.
"Setelah resmi ditutup, seluruh aktivitas perkuliahan dipusatkan kembali ke Yogyakarta. Kompleks kampus yang semula ramai pun perlahan senyap. Gedung sempat digunakan sejumlah institusi sebelum UGM menyerahkannya kepada Pemerintah Provinsi (Jawa Tengah)," tuturnya.
Monumen Staf Pengajar
Di kompleks bangunan mangkrak tersebut, yang tersisa kini hanyalah monumen kecil dengan logo UGM yang tercetak cukup besar dalam bingkai pentagon di atas deretan nama staf pengajar dan mahasiswa yang terukir dengan jelas di dindingnya serta rentang angka tahun “1964–1978” yang menandakan usia kampus tersebut.
Empat belas tahun tentu saja bukanlah usia yang ideal untuk sebuah kampus negeri. Namun, keberadaan bangunan ini menandakan bahwa semangat belajar di Magelang telah terakomodasi sejak lama. Namun, lebih dari itu, UGM Cabang Magelang menunjukkan bahwa pendidikan pun menjadi arena pertempuran ideologi.
"Ia adalah saksi bahwa pendidikan telah lama menjadi arena pertempuran ideologi," tutup Gus Wista.
UGM Cabang Magelang adalah bukti bahwa ketika institusi pendidikan hanya didirikan untuk kepentingan politik, keberadaannya rentan tergoyahkan dan bisa disuntik mati kapan saja, apalagi jika tujuan sudah tercapai. Gimana menurutmu, Gez? (Imam Khanafi/E10)
