Inibaru.id – Demokrasi tak boleh berhenti di bilik suara. Ia harus hidup dalam keseharian, menjadi panggung tempat rakyat bersuara, dan wadah tempat aspirasi diterjemahkan menjadi kebijakan yang berpihak. Begitulah pesan yang disampaikan Ketua DPRD Jawa Tengah, Sumanto, saat membuka seminar bertajuk “Membaca Ulang Demokrasi, Kepercayaan Publik, Gerakan Generasi Muda, dan Tantangan Legitimasi Pemerintah” di Hotel Nirwana, Pekalongan, Jumat (31/10/2025).
Menurut Sumanto, demokrasi yang sehat hanya bisa tumbuh jika kepercayaan publik terjaga. Demokrasi adalah panggung utama aspirasi masyarakat. Maka DPRD sebagai lembaga representasi rakyat harus mampu menyediakan kanal bagi suara-suara itu.
Baca Juga:
Pentaskan Ketoprak untuk Peringati Dies Natalis ke-68, Rektor Undip Jadi Pangeran DiponegoroDia menyoroti fenomena demonstrasi besar-besaran yang terjadi pada Agustus 2025 lalu. Kala itu, ribuan massa turun ke jalan di berbagai daerah, termasuk di Jawa Tengah, menolak kebijakan pajak baru yang dianggap memberatkan. Bagi Sumanto, peristiwa itu bukan sekadar bentuk kemarahan, tapi juga sinyal kuat bahwa masyarakat sedang haus akan transparansi dan komunikasi yang terbuka dari pemerintah.
"Hal ini sekaligus mencerminkan krisis legitimasi dan meningkatnya rasa frustrasi masyarakat terhadap lemahnya transparansi, akuntabilitas, serta komunikasi publik dari pemerintah," ujarnya.
Yang menarik, kata Sumanto, gelombang aksi tersebut banyak digerakkan oleh generasi muda khususnya Gen Z yang melek digital dan vokal di media sosial.
Menurutnya, mereka ini agen perubahan. Mereka bukan hanya berani bersuara, tapi juga mampu menggerakkan banyak orang untuk menuntut pemerintahan yang lebih responsif.
Karena itu, Sumanto mendorong agar lembaga seperti DPRD Jateng tak hanya menjadi “penonton” demokrasi, tapi juga “panggung” bagi aspirasi rakyat.
"Sebagai lembaga yang memiliki fungsi pengawasan, legislasi, dan representasi rakyat, DPRD Jawa Tengah memegang tanggung jawab moral dan politik untuk menjembatani kepentingan masyarakat dengan kebijakan pemerintah," katanya
Pandangan Sumanto juga diamini pengamat politik Ray Rangkuti, yang menjadi salah satu pembicara dalam seminar tersebut.
"Mengapa ini bisa terjadi? Mungkin penjelasannya karena dalam sistem yang demokratis tak melahirkan kultur yang demokratis. Sistemnya bagus tapi di dalamnya semrawut," kata Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia tersebut.
Ray menilai, peristiwa itu refleksi dari “demokrasi yang kehilangan jiwa.” Sistemnya demokratis, tapi pelakunya belum tentu berjiwa demokratis. “Masyarakat mau mengadu ke DPR, tapi kadang nggak tahu siapa yang mau mendengarkan. Akhirnya yang muncul adalah amarah,” ujarnya.
Sementara itu, Guru Besar Hukum Undip, Prof. Lita Tyesta Addy Listya Wardhani, mengingatkan pentingnya akuntabilitas DPRD sebagai lembaga yang lahir dari kedaulatan rakyat dan tidak bisa dibubarkan. Dia menekankan agar para anggota dewan memperkuat tanggung jawab politik melalui transparansi dan tindakan nyata dalam menindaklanjuti aspirasi masyarakat.
"Sedangkan keanggotaan DPR dan DPRD dapat berubah melalui mekanisme tertentu seperti PAW (Pergantian Antar Waktu)," ujarnya
Seminar yang digelar Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jateng itu pun diharapkan menjadi ruang refleksi bersama. Bahwa demokrasi sejati bukan sekadar sistem, tapi juga kultur yang harus terus dijaga lewat partisipasi rakyat dan kesediaan pemimpin untuk mendengarkan. Kamu setuju, Gez? (Ike P/E01)
