Inibaru.id - Mikaela mulai menggemari olahraga lari saat pandemi Covid-19 mendera dunia sekitar lima tahun lalu. Di sela kesibukannya sebagai digital support di sebuah perusahaan manufaktur di Jakarta, dia selalu menyempatkan diri untuk melakukan aktivitas ini. Kadang sendiri, tapi sesekali bersama komunitas.
"Tapi, sekarang aku lebih sering lari di sekitar kompleks perumahan atau pusat kebugaran yang lebih privat. Di jalan banyak 'paparazi'. Nggak nyaman akunya," kata perempuan 34 tahun tersebut, Selasa (28/10/2025).
Di tengah maraknya tren lari di kalangan generasi muda, yang telah jauh bergeser dari sekadar aktivitas menjaga kebugaran menjadi bagian dari gaya hidup, muncul fenomena lain yang memicu perdebatan, yakni fotografer dadakan yang memotret pelari di ruang publik. Inilah yang nggak disukai Mikaela.
"Mungkin ada pelari lain di komunitas yang 'aman' aja difoto orang asing tanpa izin, bahkan ada yang bilang justru merasa bangga. Tapi, itu bukan aku," serunya, ketus. "Mau ngelarang nggak enak. Mau dibiarin ntar fotonya kepakai untuk hal negatif yang merugikan kita. Daripada ribet, mending aku yang cari aman, deh!"
Banyak Muncul di Ruang Publik
Bukan sekadar iseng, banyak fotografer melakukan aktivitas tersebut untuk mencari keuntungan dengan memotret para pelari ini. Mereka acapkali ada di event maraton maupun ruang publik seperti stadion, taman kota, hingga jalur car free day (CFD), terutama di kota-kota besar.
Seperti paparazi yang memburu selebritas, mereka menunggu di titik-titik strategis untuk membidik momen terbaik para pelari. Meski ada yang dengan sopan meminta izin untuk memotret, banyak yang nggak melakukannya.
Hasil foto dari para fotografer ini kemudian diunggah ke medsos, bahkan diperjualbelikan di marketplace. Sayangnya, banyak pelari yang nggak tahu bahwa wajah mereka dijadikan objek foto komersial; yang justru baru menyadari ketika menemukan potret diri mereka di situs jual-beli foto berbasis AI face recognition.
Hal seperti inilah yang terus memicu perdebatan. Seperti yang dikatakan Mikaela, perdebatan itu juga terjadi di kalangan pelari. Banyak orang yang justru merasa senang karena ada dokumentasi tentang dirinya yang bisa dibeli di marketplace, tapi nggak sedikit yang merasa terganggu dengan kehadiran fotografer ini.
Perlukah Meminta Izin?
Pertanyaannya, perlukah fotografer meminta izin pelari yang dijadikan objek foto, terutama untuk kepentingan komersial? Bagaimana jika yang bersangkutan nggak pernah memberikan izin atau merasa keberatan karena dijadikan objek fotografi?
Terkait hal ini, Ahli Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar dengan tegas mengatakan bahwa memotret hingga menjual foto seseorang tanpa persetujuan adalah pelanggaran hukum karena masuk pasal perbuatan nggak menyenangkan dan pencemaran nama baik.
“Ya, jika tanpa persetujuan orang yang ada pada obyek foto, jelas merupakan tindak pidana,” ujarnya pada Senin (27/10/2025), dikutip dari Kompas. "Melanggar Pasal 335 tentang perbuatan tidak menyenangkan dan 310 KUHP tentang penghinaan atau pencemaran nama baik.
Ancaman pidana untuk Pasal 335 KUHP adalah satu tahun, sedangkan Pasal 310 sembilan bulan. Selain itu, Fickar menyebutkan, pelaku juga bisa digugat secara perdata atas dasar Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sesuai Pasal 1365 KUHPerdata.
Cara Menolak untuk Difoto saat Berlari
Nggak semua orang nyaman difoto, dengan alasan yang bisa bermacam-macam, mulai dari menjaga privasi, nggak ingin tampil di media sosial, takut fotonya dimanfaatkan untuk hal negatif, atau sekadar mau fokus menikmati olahraga tanpa gangguan.
Jika kamu termasuk yang merasa nggak nyaman difoto saat berlari, itu menjadi hak pribadimu. Namun, ketimbang melakukan konfrontasi langsung, berikut ini ada beberapa cara yang bisa kamu lakukan untuk memberi isyarat sopan agar fotografer memahami bahwa kamu nggak ingin difoto:
- Silangkan tangan di depan dada. Ini menjadi isyarat universal yang bisa dilihat dari kejauhan dan mudah dikenali bahwa kamu menolak untuk difoto.
- Lambaikan tangan ke arah fotografer sebagai sinyal penolakan. Gerakan kecil ini nggak akan membuatmu kehilangan fokus saat berlari dan cukup untuk memberi sinyal bahwa kamu enggan diabadikan oleh orang asing.
- Kalau nggak punya keberanian untuk menunjukkan penolakan, kamu bisa menutup wajah dengan tangan atau topi untuk menyatakan ketidaknyamanan sekaligus melindungi privasi tanpa menimbulkan kesalahpahaman.
- Apabila tersedia, gunakan gelang penanda "no photo". Beberapa event lari belakangan cukup aware dengan privasi pesertanya dengan menyediakan wristband khusus bagi mereka yang enggan untuk difoto. Fotografer yang paham biasanya akan memahaminya.
- Jika sudah terlanjut difoto, kamu bisa menghubungi fotografer secara langsung dan minta agar foto dihapus atau nggak diunggah. Sementara, jika sudah dijual di platform digital, ajukan komplain resmi kepada pihak pengelola dengan menjelaskan alasan keberatan.
- Kalau komunikasi nggak berjalan lancar atau komplain dimentahkan, pastikan untuk menyimpan bukti komunikasi atau unggahan foto sebagai dokumen apabila memerlukan langkah hukum.
Baca Juga:
Biar Nggak 'Zonk' saat Merencanakan Destinasi Wisata berdasarkan Testimoni di Media SosialTerlepas dari kebebasan fotografer untuk menentukan objek foto mereka, pemerintah juga telah memiliki perangkat hukum untuk melindungi data seseorang, apalagi jika berhubungan dengan tujuan komersial dan tanpa persetujuan yang bersangkutan.
Mungkin ada pelari yang merasa terbantu karena momen terbaik mereka saat berlari berhasil diabaikan secara candid oleh fotografer. Namun, perlu diingat bahwa nggak semua pelari menginginkannya. Menurutmu, perlukah ada regulasi khusus yang mengatur hal ini, Gez? (Siti Khatijah/E10)
