Inibaru.id - Pola asuh adalah fondasi utama yang membentuk kepribadian, karakter, dan cara anak berinteraksi dengan dunia. Menariknya, pola asuh ini acapkali bersifat turun-temurun, yakni orang tua membesarkan anak dengan cara yang mereka alami dari orang tua mereka dulu.
Di Indonesia, hal ini kerap dipengaruhi oleh nilai budaya, agama, dan norma sosial yang kuat. Namun, tidak semua pola asuh yang diwariskan relevan dengan kebutuhan anak zaman sekarang. Hal itulah yang beberapa kali dirasakan Ayu Saraswati, ibu asal Kota Pekalongan yang saat ini tengah membesarkan dua anak.
"Yang paling umum tentu saja menerapkan hukuman fisik. Mendiang ibuku dulu begitu ke anak-anaknya," tutur perempuan yang saat ini mengajar di salah satu SD swasta di Kota Batik tersebut, Sabtu (23/8/2025). "Dicubit biar kapok dan karena sayang, selalu begitu bilangnya. Sayang kok mencubit, aneh, kan?"
Untuk era saat ini, tentu saja hukuman fisik semacam itu nggak lagi relevan, apalagi jika diterapkan pada kedua anaknya. Ayu mengatakan, kebetulan suaminya juga tipe yang gaya bicaranya lembut dan acap nggak tahan melihat kekerasan fisik di hadapannya.
Kesalahan Berulang karena Pola Asuh Warisan
Perlu dipahami, nggak semua pola asuh "warisan" yang diturunkan dari orang tua kita buruk untuk era sekarang. Banyak yang masih relevan hingga kini. Namun, sebagaimana dikatakan Ayu, harus diakui bahwa sebagian pola asuh itu nggak cocok lagi untuk diterapkan kepada anak kita.
Ayu mungkin termasuk sosok yang beruntung karena berhasil memutus pola asuh warisan orang tuanya. Suaminya pun sepakat melakukannya. Namun, nggak sedikit yang menganggapnya sebagai sebuah legacy yang secara sadar atau tidak memengaruhi pola asuhnya ke anak.
Berikut adalah beberapa pola asuh warisan yang seringkali dianggap menjadi kesalahan berulang lintas generasi di Indonesia:
1. Disiplin berlebihan tanpa dialog
Banyak orang tua Indonesia masih memegang prinsip “anak harus patuh tanpa banyak tanya”. Pola yang otoriter ini umumnya lahir dari budaya hierarki dan penghormatan mutlak pada orang tua.
Meski tujuan awalnya agar anak disiplin, pendekatan ini sering menekan ekspresi anak, membuat mereka takut salah, dan kurang terlatih mengemukakan pendapat.
2. Mengabaikan suara anak
Dalam keluarga tradisional, anak sering dianggap belum cukup “pantas” untuk didengar. Akibatnya, keputusan besar maupun kecil dibuat sepihak oleh orang tua. Pola ini menimbulkan anak yang pasif, ragu mengambil keputusan, atau justru melawan secara diam-diam ketika dewasa.
3. Menggunakan hukuman fisik sebagai didikan
Seperti dikatakan Ayu, banyak orang tua yang menggunakan hukuman fisik sebagai bentuk "sayang" agar anak disiplin, nggak mengulangi kesalahan, atau patuh. Padahal, kekerasan fisik, apapun bentuknya, adalah bullying yang hanya akan menghadirkan kepatuhan palsu pada anak.
Banyak penelitian yang telah menyebutkan bahwa bullying, apalagi yang dilakukan keluarganya sendiri, hanya menimbulkan rasa takut, bukan pemahaman. Anak bisa tumbuh dengan luka emosional dan fisik yang dalam, bahkan menormalisasi kekerasan pada kemudian hari.
4. Membandingkan dengan orang lain
Ungkapan seperti “coba lihat si A, nilainya bagus” atau “kenapa kamu nggak bisa seperti kakakmu?” kerap terdengar oleh anak-anak di Indonesia. Cara ini mungkin dimaksudkan sebagai motivasi, padahal hal itu menurunkan harga diri anak.
Ini adalah kekerasan verbal yang juga merujuk pada bullying. Korban akan tumbuh dengan kurang percaya diri dan merasa dirinya nggak cukup baik meski sudah berusaha keras. Bahkan, ada penelitian yang menyebutkan bahwa kekerasan tersebut memengaruhi ukuran otak.
5. Menyamakan kasih sayang dengan pemenuhan materi
Sebagian orang tua menganggap memberikan uang jajan besar, mainan, atau fasilitas lengkap sudah cukup sebagai bentuk kasih sayang. Padahal, anak juga membutuhkan perhatian emosional seperti waktu untuk didengar, pelukan, atau sekadar kehadiran.
Kekeliruan ini bisa membuat anak tumbuh materialistis dan menilai segala hal dengan materi. Parahnya, anak bisa merasa kesepian secara emosional.
6. Kurang memberi ruang pada anak untuk mandiri
Banyak orang tua masih beranggapan bahwa melindungi berarti mengendalikan. Anak nggak diberi kesempatan mengambil keputusan kecil seperti memilih baju atau mengatur waktu belajar. Dampaknya, anak sulit mandiri dan rentan bingung saat harus menghadapi tantangan nyata di luar rumah.
7. Mengabaikan kesehatan mental
Topik kesehatan mental sering dianggap tabu. Anak yang menunjukkan tanda stres, cemas, atau depresi seringkali disalahartikan sebagai “kurang bersyukur” atau “manja”. Akibatnya, masalah psikologis anak bisa semakin memburuk karena nggak ditangani dengan tepat.
Mengapa Pola Ini Terus Berulang?
Pertanyaan yang kemudian muncul, mengapa pola ini terus berulang. Jawabannya bisa bermacam-macam, tapi menurut psikolog Albert Bandura, manusia cenderung belajar lewat peniruan (social learning). Anak cenderung meniru pola asuh yang mereka alami, baik dari gaya bicara, emosi, dan pemberian konsekuensi.
Alasan lainnya, ada sebuah kajian lintas-generasi yang menemukan bahwa hampit selalu ditemukan adanya kontinuitas pola asuh seperti pemantauan atau disiplin keras dari kakek-nenek ke orang tua, lalu ke anak, meski nggak selalu sempurna.
Dalam penelitian yang diterbitkan dalam Pubmed Central (PMC) itu, faktor orang tua yang mengalami masalah kesehatan mental seperti stres atau depresi berpotensi memperkuat pola yang berulang tersebut.
Yang nggak kalah menarik, pola yang terus berulang ini juga terjadi karena melestarikan tradisi, norma budaya, atau keyakinan yang dianut sebuah keluarga. Pola asuh itu bertahan bukan karena efektif untuk anak, tetapi karena sudah menjadi norma yang harus diikuti.
Menurutmu, adakah bentuk pola asuh "warisan keluarga" lainnya yang mungkin ditinjau ulang agar nggak menjadi kesalahan lintas generasi yang terus berlarut-larut, Gez? (Siti Khatijah/E10)
