Inibaru.id - Saya pikir naik gunung itu romantic kayak di film; memandang bentang luas lautan awan dari puncak, memotret siluet keren sambil memegang plakat, lalu turun dengan hati puas dan kepala penuh kenangan manis. Namun, rupanya semua itu hanyalah ilusi.
Realitasnya, belum juga satu jam nanjak, napas sudah ngos-ngosan, kaki gemetar, dan tenaga serasa raib entah ke mana. Maka, saya mengapresiasi betul orang-orang yang melakukan pendakian perdana tanpa mengeluh, terlebih untuk model pendakian tektok atau naik-turun gunung sekali jalan tanpa menginap.
Ya, saya yang sama sekali belum pernah naik gunung ini memang gegabah saat mengiyakan ajakan teman-teman untuk tektok ke Gunung Muria beberapa waktu lalu, yang membuat tubuh terasa tremor bahkan jauh sebelum mencapai Puncak Songolikur, titik tertinggi di gunung tersebut.
"Gas!" jawab saya waktu itu, mengiyakan ajakan teman-teman yang saya tahu mereka sudah cukup terbiasa naik gunung; tanpa berpikir panjang persiapan apa yang harus dilakukan saat seseorang mau muncak. Saya bahkan belum punya sepatu yang proper untuk naik gunung.
Nekat? Tentu saja! Namun, waktu itu saya hanya berpikir, ajakan ini mungkin nggak akan datang lagi dan rasanya seperti petualangan yang terlalu sayang untuk dilewatkan. Maka, rencana pun dibuat. Tujuan kami adalah Puncak 29 atau Songolikur, yang juga sering disebut Saptorenggo.
Saptorenggo adalah salah satu puncak kawasan Gunung Muria yang memiliki ketinggian 1.602 mdpl. Gunung stratovolcano yang terletak di tiga kota, yakni Jepara, Kudus, dan Pati ini sebetulnya punya titik puncak lain, yakni Abiyoso, Agrojembangan, Natas Angin, Argowiloso, dan Watu Payon.
Kami sengaja memilih Puncak 29 karena lebih populer di kalangan pendaki. Untuk jalur pendakiannya, kami memilih via Tempur di Kabupaten Jepara. Kami berangkat dari Kecamatan Tayu, Pati, dengan mengendarai sepeda motor sekitar pukul 07.00 WIB.
Untuk yang belum tahu, Tempur adalah nama sebuah desa di Kecamatan Keling, Jepara, yang berjarak sekitar 30 kilometer dari Tayu. Kawasan ini dikenal sebagai “desa tersembunyi” karena dikelilingi gunung dari berbagai sisi.
Start Lebih Awal
Sekitar satu jam perjalanan berkendara, kami tiba di gapura pendakian via Tempur. Dari gapura tersebut, sepeda motor sejatinya masih bisa melaju lebih jauh lagi. Namun, nahas, kendaraan yang saya tumpangi mogok karena nggak kuat nanjak.
Alhasil, kami terpaksa start lebih awal denang berjalan kaki mulai dari situ, jauh sebelum masuk jalur pendakian resmi. Namun, kami beruntung ada orang baik yang melintas, bapak-bapak warga setempat yang akan pergi ke kebun kopinya, menawari saya membonceng sepeda motor trail-nya.
“Ayo, bareng saya saja, Mbak," sambut sang Bapak ramah. "Trek pendakian masih cukup jauh, lo!”
Tentu saja saya mengiyakan. Di atas motor, lelaki paruh baya itu mengatakan, kejadian motor nggak bisa nanjak di jalur itu sudah biasa dialami para pendaki. Butuh kendaraan khusus untuk menaklukkan tanjakan ekstrem itu. Dia mengaku sudah sering mengantarkan pendaki naik dengan motornya.
Saya nggak menyangkal, karena jalur itu memang cukup ekstrem. Banyak pendaki yang pada akhirnya memilih memarkir sepeda motornya di lahan kopi di tengah hutan, termasuk kami. Lahan parkir itu terbuka, tanpa penjagaan, tapi menurut warga setempat cukup aman.
Setelah semua anggota lengkap, kami mulai pendakian. Cuacanya cerah, tapi udara terasa dingin. Awal pendakian, kami melewati jalan setapak yang sudah dibeton dengan tingkat kemiringan yang cukup menguras tenaga. Kami berjalan lurus saja sembari mencari letak Pos 2.
Satu jam berjalan, napas saya mulai tersengal. Jantung berdegup kencang. Parahnya lagi, bagian bawah sneakers kasual yang saya kenakan mulai mengelupas, tapi masih bisa dipakai. Wajar, karena ini bukanlah sepatu gunung. Saya akhirnya menggunakan ranting kayu yang cukup kuat trekking pole darurat.
Akhirnya Tiba di Pos 2
Dengan sisa tenaga, saya berhasil mengikuti teman-teman sampai di Pos 2. Ada warung kecil di situ, tempat para pendaki beristirahat dan mengisi tenaga. Pendaki yang berhasil menanjak dengan sepeda motornya juga akan memarkir kendaraan di sini.
Kami rehat sebentar untuk minum dan makan bekal, lalu melanjutkan perjalanan yang untungnya lebih ramah di kaki nubie saya. Jalur menuju Pos 3 didominasi pemandangan hijau yang menyejukkan mata dengan trek naik-turun, tapi cukup menyenangkan.
Pos 3 adalah area nge-camp yang datar dan lumayan luas, yang cocok untuk mendirikan tenda. Kami nggak berhenti di sini karena cuma mau tektokan; terus naik hingga tiba di tempat keramat dan acap dikunjungi peziarah, khususnya pada bulan Suro, yakni petilasan Eyang Sang Hyang Wenang dan Eyang Pandu.
Di area tersebut, sebagian pendaki biasanya akan berhenti sejenak untuk berdoa, sementara yang lainnya tetap melanjutkan pendakian dengan tenang; tanpa banyak bersuara, apalagi membuat kegaduhan.
Kawasan keramat itu menjadi trek "nyaman di kaki" terakhir sebelum memasuki jalur yang bagi saya masuk kategori ekstrem. Tanjakan dengan kemiringan tajam, berbatu, dan licin. Di beberapa titik, trek menanjak ini bahkan dilengkapi tali pengaman untuk membantu pendaki naik.
Saya sempat oleng beberapa kali karena tenaga yang mulai habis dan asupan oksigen di ketinggian yang menipis. Namun, entah karena second wind (kekuatan yang muncul setelah tubuh berhasil beradaptasi) atau saling sapa antarpendaki yang bikin semangat, kaki saya tetap menjejak dan bergerak melangkah.
Sekitar empat jam berjalan, termasuk istirahat dan foto-foto yang sering banget, akhirnya kami tiba di Puncak Songolikur. Sayangnya, saat itu kabut turun, membuat lautan awan yang saya impikan nggak bisa terlihat. Namun, anehnya saya tetap merasa puas karena ini puncak pertama saya.
Perjalanan turun lebih singkat, sekitar tiga jam perjalanan, tapi rasanya jauh lebih menyakitkan ketimbang pas naik. Lutut terasa ngilu luar biasa. Beberapa kali saya terpaksa jalan mundur karena nggak kuat menahan beban saat berjalan menurun. Untung teman-teman sabar banget menunggu dan terus menyemangati.
Dengan rasa lelah yang terakumulasi, kami selamat sampai bawah. Saya berhasil, meski harus dibayar dengan rasa pegal dan capai luar biasa selama beberapa hari. Kapok? Ehm, belakangan saya justru rajin cari info puncak lain yang memungkinkan untuk ditektok. Sepertinya saya ketagihan! Ha-ha. (Rizki Arganingsih/E10)
