BerandaAdventurial
Minggu, 26 Jul 2025 15:06

Tektok Perdana ke Puncak Songolikur via Tempur Jepara: Lelah, tapi Nagih!

Puncak Songolikur adalah puncak tertinggi dari tujuh titik puncak Gunung Muria. (Inibaru.id/ Rizki Arganingsih)

Tektok perdana saya mendaki Gunung Muria, menempuh jalur panjang via Tempur Jepara ke Puncak Songolikur, dimulai dengan motor yang nggak kuat nanjak hingga sepatu rusak di jalan. Terasa lelah, tapi bikin nagih!

Inibaru.id - Saya pikir naik gunung itu romantic kayak di film; memandang bentang luas lautan awan dari puncak, memotret siluet keren sambil memegang plakat, lalu turun dengan hati puas dan kepala penuh kenangan manis. Namun, rupanya semua itu hanyalah ilusi.

Realitasnya, belum juga satu jam nanjak, napas sudah ngos-ngosan, kaki gemetar, dan tenaga serasa raib entah ke mana. Maka, saya mengapresiasi betul orang-orang yang melakukan pendakian perdana tanpa mengeluh, terlebih untuk model pendakian tektok atau naik-turun gunung sekali jalan tanpa menginap.

Ya, saya yang sama sekali belum pernah naik gunung ini memang gegabah saat mengiyakan ajakan teman-teman untuk tektok ke Gunung Muria beberapa waktu lalu, yang membuat tubuh terasa tremor bahkan jauh sebelum mencapai Puncak Songolikur, titik tertinggi di gunung tersebut.

"Gas!" jawab saya waktu itu, mengiyakan ajakan teman-teman yang saya tahu mereka sudah cukup terbiasa naik gunung; tanpa berpikir panjang persiapan apa yang harus dilakukan saat seseorang mau muncak. Saya bahkan belum punya sepatu yang proper untuk naik gunung.

Puncak Songolikur yang terlihat menjulang dari jalur pendakian via Tempur. (Inibaru.id/ Rizki Arganingsih)

Nekat? Tentu saja! Namun, waktu itu saya hanya berpikir, ajakan ini mungkin nggak akan datang lagi dan rasanya seperti petualangan yang terlalu sayang untuk dilewatkan. Maka, rencana pun dibuat. Tujuan kami adalah Puncak 29 atau Songolikur, yang juga sering disebut Saptorenggo.

Saptorenggo adalah salah satu puncak kawasan Gunung Muria yang memiliki ketinggian 1.602 mdpl. Gunung stratovolcano yang terletak di tiga kota, yakni Jepara, Kudus, dan Pati ini sebetulnya punya titik puncak lain, yakni Abiyoso, Agrojembangan, Natas Angin, Argowiloso, dan Watu Payon.

Kami sengaja memilih Puncak 29 karena lebih populer di kalangan pendaki. Untuk jalur pendakiannya, kami memilih via Tempur di Kabupaten Jepara. Kami berangkat dari Kecamatan Tayu, Pati, dengan mengendarai sepeda motor sekitar pukul 07.00 WIB.

Untuk yang belum tahu, Tempur adalah nama sebuah desa di Kecamatan Keling, Jepara, yang berjarak sekitar 30 kilometer dari Tayu. Kawasan ini dikenal sebagai “desa tersembunyi” karena dikelilingi gunung dari berbagai sisi.

Start Lebih Awal

Sekitar satu jam perjalanan berkendara, kami tiba di gapura pendakian via Tempur. Dari gapura tersebut, sepeda motor sejatinya masih bisa melaju lebih jauh lagi. Namun, nahas, kendaraan yang saya tumpangi mogok karena nggak kuat nanjak.

Alhasil, kami terpaksa start lebih awal denang berjalan kaki mulai dari situ, jauh sebelum masuk jalur pendakian resmi. Namun, kami beruntung ada orang baik yang melintas, bapak-bapak warga setempat yang akan pergi ke kebun kopinya, menawari saya membonceng sepeda motor trail-nya.

“Ayo, bareng saya saja, Mbak," sambut sang Bapak ramah. "Trek pendakian masih cukup jauh, lo!”

Tentu saja saya mengiyakan. Di atas motor, lelaki paruh baya itu mengatakan, kejadian motor nggak bisa nanjak di jalur itu sudah biasa dialami para pendaki. Butuh kendaraan khusus untuk menaklukkan tanjakan ekstrem itu. Dia mengaku sudah sering mengantarkan pendaki naik dengan motornya.

Gapura pendakian Puncak Songolikur via Desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara. (Inibaru.id/ Rizki Arganingsih)

Saya nggak menyangkal, karena jalur itu memang cukup ekstrem. Banyak pendaki yang pada akhirnya memilih memarkir sepeda motornya di lahan kopi di tengah hutan, termasuk kami. Lahan parkir itu terbuka, tanpa penjagaan, tapi menurut warga setempat cukup aman.

Setelah semua anggota lengkap, kami mulai pendakian. Cuacanya cerah, tapi udara terasa dingin. Awal pendakian, kami melewati jalan setapak yang sudah dibeton dengan tingkat kemiringan yang cukup menguras tenaga. Kami berjalan lurus saja sembari mencari letak Pos 2.

Satu jam berjalan, napas saya mulai tersengal. Jantung berdegup kencang. Parahnya lagi, bagian bawah sneakers kasual yang saya kenakan mulai mengelupas, tapi masih bisa dipakai. Wajar, karena ini bukanlah sepatu gunung. Saya akhirnya menggunakan ranting kayu yang cukup kuat trekking pole darurat.

Akhirnya Tiba di Pos 2

Dengan sisa tenaga, saya berhasil mengikuti teman-teman sampai di Pos 2. Ada warung kecil di situ, tempat para pendaki beristirahat dan mengisi tenaga. Pendaki yang berhasil menanjak dengan sepeda motornya juga akan memarkir kendaraan di sini.

Kami rehat sebentar untuk minum dan makan bekal, lalu melanjutkan perjalanan yang untungnya lebih ramah di kaki nubie saya. Jalur menuju Pos 3 didominasi pemandangan hijau yang menyejukkan mata dengan trek naik-turun, tapi cukup menyenangkan.

Pos 3 adalah area nge-camp yang datar dan lumayan luas, yang cocok untuk mendirikan tenda. Kami nggak berhenti di sini karena cuma mau tektokan; terus naik hingga tiba di tempat keramat dan acap dikunjungi peziarah, khususnya pada bulan Suro, yakni petilasan Eyang Sang Hyang Wenang dan Eyang Pandu.

Di area tersebut, sebagian pendaki biasanya akan berhenti sejenak untuk berdoa, sementara yang lainnya tetap melanjutkan pendakian dengan tenang; tanpa banyak bersuara, apalagi membuat kegaduhan.

Trek berbatu menuju Puncak Songolikur dilengkapi beberapa tali tambang besar untuk pegangan. (Inibaru.id/ Rizki Arganingsih)

Kawasan keramat itu menjadi trek "nyaman di kaki" terakhir sebelum memasuki jalur yang bagi saya masuk kategori ekstrem. Tanjakan dengan kemiringan tajam, berbatu, dan licin. Di beberapa titik, trek menanjak ini bahkan dilengkapi tali pengaman untuk membantu pendaki naik.

Saya sempat oleng beberapa kali karena tenaga yang mulai habis dan asupan oksigen di ketinggian yang menipis. Namun, entah karena second wind (kekuatan yang muncul setelah tubuh berhasil beradaptasi) atau saling sapa antarpendaki yang bikin semangat, kaki saya tetap menjejak dan bergerak melangkah.

Sekitar empat jam berjalan, termasuk istirahat dan foto-foto yang sering banget, akhirnya kami tiba di Puncak Songolikur. Sayangnya, saat itu kabut turun, membuat lautan awan yang saya impikan nggak bisa terlihat. Namun, anehnya saya tetap merasa puas karena ini puncak pertama saya.

Perjalanan turun lebih singkat, sekitar tiga jam perjalanan, tapi rasanya jauh lebih menyakitkan ketimbang pas naik. Lutut terasa ngilu luar biasa. Beberapa kali saya terpaksa jalan mundur karena nggak kuat menahan beban saat berjalan menurun. Untung teman-teman sabar banget menunggu dan terus menyemangati.

Dengan rasa lelah yang terakumulasi, kami selamat sampai bawah. Saya berhasil, meski harus dibayar dengan rasa pegal dan capai luar biasa selama beberapa hari. Kapok? Ehm, belakangan saya justru rajin cari info puncak lain yang memungkinkan untuk ditektok. Sepertinya saya ketagihan! Ha-ha. (Rizki Arganingsih/E10)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Bakmi Palbapang Pak Uun Bantul, Hidden Gem Kuliner yang Bikin Kangen Suasana Jogja

2 Des 2025

Bahaya Nggak Sih Terus Menancapkan Kepala Charger di Soket Meski Sudah Nggak DIpakai?

2 Des 2025

Lebih Mudah Bikin Paspor; Imigrasi Semarang Resmikan 'Campus Immigration' di Undip

2 Des 2025

Sumbang Penyandang Kanker dan Beri Asa Warga Lapas dengan Tas Rajut Bekelas

2 Des 2025

Mengapa Kebun Sawit Nggak Akan Pernah Bisa Menggantikan Fungsi Hutan?

2 Des 2025

Longsor Berulang, Sumanto Desak Mitigasi Wilayah Rawan Dipercepat

2 Des 2025

Setujui APBD 2026, DPRD Jateng Tetap Pasang Target Besar Sebagai Lumbung Pangan Nasional

28 Nov 2025

Bukan Hanya Padi, Sumanto Ajak Petani Beralih ke Sayuran Cepat Panen

30 Nov 2025

Pelajaran Berharga dari Bencana Longsor dan Banjir di Sumatra; Persiapkan Tas Mitigasi!

3 Des 2025

Cara Naik Autograph Tower, Gedung Tertinggi di Indonesia

3 Des 2025

Refleksi Akhir Tahun Deep Intelligence Research: Negara Harus Adaptif di Era Kuantum!

3 Des 2025

Pelandaian Tanjakan Silayur Semarang; Solusi atau Masalah Baru?

3 Des 2025

Spunbond, Gelas Kertas, dan Kepalsuan Produk Ramah Lingkungan

3 Des 2025

Regenerasi Dalang Mendesak, Sumanto Ingatkan Wayang Kulit Terancam Sepi Penerus

3 Des 2025

Ajak Petani Jateng Berinovasi, Sumanto: Bertani Bukan Lagi Pekerjaan Sebelah Mata

23 Nov 2025

Sumanto: Peternakan Jadi Andalan, Tapi Permasalahannya Harus Diselesaikan

22 Nov 2025

Versi Live Action Film 'Look Back' Garapan Koreeda Hirokazu Dijadwalkan Rilis 2026

4 Des 2025

Kala Warganet Serukan Patungan Membeli Hutan Demi Mencegah Deforestasi

4 Des 2025

Mahal di Awal, tapi Industri di Jateng Harus Segera Beralih ke Energi Terbarukan

4 Des 2025

Tentang Keluarga Kita dan Bagaimana Kegiatan 'Main Sama Bapak' Tercipta

4 Des 2025

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

A Group Member of

Ikuti kamu di: