Inibaru.id – Berkali-kali datang ke ekshibisi seni, baru sekarang saya menyambangi pameran yang digelar di sebuah kampung nelayan yang untuk mencapainya harus menerobos banjir rob terlebih dulu. Namun, saya senang, karena karya yang ditampilkan relate dengan kondisi sosial di kampung tersebut.
Pameran itu adalah bagian dari rangkaian acara Penta KLabs IV, perayaan seni dua tahunan yang diinisiasi ruang temu kreatif asal Kota Semarang, Hysteria. Biennale ke-4 Penta KLabs itu digelar di kampung nelayan yang berada di sisi utara Semarang, yakni Desa Tambakrejo, Kecamatan Gayamsari.
Selain pameran seni, Penta KLabs juga menyajikan pertunjukan seni dan simposium dengan tujuan merespons isu perubahan tata ruang akibat iklim yang rusak dan diperparah ulah manusia yang kian membuat garis pantura Jawa diklaim lautan.
Nah, pameran seni Penta KLabs fokus pada isu tersebut. Sekurangnya ada 37 karya yang dipamerkan, yang tersebar di 37 titik di kampung tersebut. Menarik! Sayang sekali kalau ada salah satu saja yang terlewat, pikir saya.
Cara Unik Menggelar Pameran
Perlu kamu tahu, karya seni yang ditampilkan di Penta KLabs nggak hanya berasal dari seniman dari Semarang atau Jawa Tengah. Beberapa di antara mereka datang langsung dari luar Jawa seperti Lampung dan Palu, bahkan luar negeri, antara lain dari Hong Kong, Meksiko, dan Australia.
Para seniman datang ke Tambakrejo beberapa minggu sebelum eksibisi digelar untuk residensi dan riset. Mereka mengobrol dengan warga sekitar, bertukar pikiran, hingga melakukan penelitian terkait apa saja yang terjadi di desa tersebut.
Arief Mujahidin, salah seorang anggota kelompok seniman Brebes Artdictive mengungkapkan, saat residensi, banyak isu baru yang mereka dapatkan. Dia mengakui, konsep awal yang telah mereka pikirkan jadi banyak berubah begitu berhadapan dengan masyarakat.
"Pandangan kami berubah dan harus mengolah hal baru setelah menemukan fakta-fakta seperti penggusuran warga, hunian yang belum tahu kejelasannya, dan ketidakpastian dari pemerintah," ungkap Arief yang saya temui saat tengah memerhatikan karyanya dari kejauhan.
Arif dan ketiga temannya menempati Titik 31. Mereka menampilkan sebentuk mural di dinding rumah dua tingkat yang mungkin sudah ditinggalkan penghuninya. Rumah itu merupakan satu-satunya bangunan yang tersisa di tengah genangan air.
Dari kejauhan, mural berbentuk dua tangan terjulur ke atas dengan pergelangan di garis air ini tampak seperti orang tenggelam yang butuh ditolong.
“Kami sengaja membuat karya tangan yang masih terlihat sebagian ini. Intinya, menjadi pilihan bagi kita untuk menyelamatkan atau membiarkan mereka tenggelam?” ucap Arief getir.
Proses yang Terbayar Tuntas
Reza Pahlevi, anggota Brebes Artdictive lainnya, mengatakan, dia merasa memikul beban berat setelah bertukar pikiran dengan warga. Dia sulit membayangkan apa yang telah dan tengah terjadi di kampung-kampung yang hilang itu serta gimana nasib mereka sekarang.
“Residensi ini membuat kami banyak berpikir dan mengaji ulang,” terang lelaki yang mengungkapkan sempat tercebur saat membuat mural tersebut.
Menurut Reza, menciptakan mural di tempat yang sulit dijangkau, dengan akses sulit dan cuaca kurang mendukung, bukanlah pekerjaan mudah. Namun, dia dan kawan-kawannya mengaku puas dengan karya yang akhirnya kelar tepat waktu.
"Gawai dan badan yang kecebur jadi kenangan yang bakal selalu membekas di Tambakrejo. Bahagia sekali rasanya," kata Reza yang segera diamini teman-temannya.
Nggak hanya Reza, rasa bahagia juga diungkapkan Rianto, warga Tambakrejo yang rajin mengikuti persiapan Penta KLabs. Dia senang dengan kehadiran kawan-kawan seniman di kampungnya.
“Menurut saya, mereka (para seniman) melakukan hal positif dan mendengarkan apa yang kami rasakan untuk Tambakrejo yang lebih baik,” terang Rianto.
Menyaksikan pameran Penta KLabs dari Titik 1 hingga 37 membuat saya berpikir, harusnya karya seni memang diciptakan seperti ini: berpihak pada korban dan mengkritik dengan cara yang cantik. Sehat-sehat terus ya, masyarakat Kampung Nelayan Tambakrejo! (Kharisma Ghana Tawakal/E03)