Inibaru.id – Nggak semua sejarah lahir dari peristiwa besar. Sebagian justru tumbuh dari hal-hal yang tampak remeh: cap pos kecil yang mulai retak, surat dagang dengan lipatan berulang, atau angka-angka yang ditulis tangan dengan cermat di selembar kertas tipis.
Dari benda-benda semacam itulah pameran "Jejak Dagang PR Delima" bermula. Di sebuah ruang pamer yang tenang, arsip-arsip dagang itu dibiarkan berbicara, membuka lapis demi lapis kehidupan ekonomi rakyat Kudus pada awal abad ke-20.
Sedikit informasi, PR Delima merupakan pabrik rokok (PR) yang didirikan oleh Haji Mas (HM) Ashadi di Kudus. Pabrik skala kecil yang didirikan pada 1916 dengan nama awal "Terong" ini penting bagi masyarakat Kudus karena dikelola seorang bumiputera, yang pada masanya telah mempekerjakan ribuan orang dan memproduksi jutaan batang klobot per hari.
Pameran ini yang digagas oleh Cerita Kudus Tuwa (CKT), sebuah komunitas yang selama bertahun-tahun menaruh perhatian pada sejarah sosial kota Kudus. Bertempat di Moesioem Ketjil H.M. Ashadie, pameran yang digelar pada akhir November ini menyuguhkan narasi tentang kerja keras para pendahulu di Kudus.
Selain kerja keras, narasi keberanian, dan kreativitas dalam membangun “peradaban kecil” yang berdampak luas dari mereka pun begitu kentara di sini. Dalam suasana museum yang intim, pengunjung diajak berhenti sejenak untuk menyimak kisah-kisah yang nyaris terlupakan, sembari merefleksikan sejarah sebagai cermin untuk memahami arah masa depan.
Merayakan Ekonomi Rakyat
Pameran di gedung yang berlokasi di Jalan Kyai Telingsing No 1 Kudus ini terbuka untuk umum. Bagi Cerita Kudus Tuwa, sejarah bukan semata urusan raja, bangunan besar, atau tanggal-tanggal monumental, melainkan juga tentang kerja sehari-hari yang nyaris nggak tercatat.
Yusak Maulana, salah satu penggerak CKT, mengatakan bahwa PR Delima dipilih justru karena posisinya yang tampak sederhana. Ia bukan pabrik raksasa, tetapi sebuah industri rumahan yang pelan-pelan membangun jejaringnya sendiri.
“Kami tidak sedang merayakan rokoknya, yang kami rayakan adalah kerja dan kecerdikan ekonomi rakyat,” ujarnya.
Riset arsip yang dilakukan tim CKT menemukan 2.212 dokumen dagang yang berkaitan langsung dengan aktivitas PR Delima. Jumlah itu mencakup nota penjualan, surat korespondensi, daftar pelanggan, hingga cap tinta yang mulai memudar.
Nggak semua arsip bisa dibaca dengan mudah. Banyak yang rusak, terpotong, atau kehilangan konteks. Namun melalui pembacaan perlahan dan berulang, 219 dokumen berhasil diidentifikasi secara lebih jelas, lalu 60 di antaranya dipilih untuk dipamerkan sebagai potret paling representatif dari jaringan distribusi PR Delima.
Proses membaca arsip, menurut Yusak, bukan sekadar pekerjaan teknis. Menuntut kesabaran dan kepekaan. Setiap surat harus dipahami, bukan hanya isinya, tapi juga situasi sosial dan ekonomi yang melatarinya.
Arsip dagang, katanya, memiliki kejujuran yang khas. Ia tidak dibuat untuk dipamerkan atau dikenang, melainkan agar sebuah usaha bisa terus berjalan. Di situlah tersimpan kegelisahan, perhitungan, sekaligus harapan para pelaku usaha kecil.
Peta Mental Jaringan Dagang PR Delima
Dari arsip-arsip tersebut, perlahan terpetakan apa yang oleh Yusak disebut sebagai “peta mental” jaringan dagang PR Delima. Nama-nama kota muncul satu per satu, membentuk semacam konstelasi: Kudus, Semarang, Surabaya, Batavia, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Yogyakarta, dan Solo.
Jaringan itu meluas hingga Jawa Timur; mulai dari Madiun, Malang, Banyuwangi, Bondowoso, dan Situbondo; bahkan sampai ke kota-kota di Sumatra dan kota lain di luar Jawa seperti Balikpapan, Banjarmasin, Makassar, serta Lombok. Agak mengejutkan, mengingat skala industri PR Delima nggak begitu besar di Kudus.
Yusak mengatakan, temuan ini penting bagi CKT, karena membongkar anggapan lama bahwa usaha kecil umumnya berpikir lokal. Namun, arsip PR Delima justru menunjukkan sebaliknya. Pengusaha itu memahami logistik, kepercayaan, dan ritme distribusi lintas wilayah.
"Mereka mungkin tidak menyebut dirinya modern, tetapi cara kerjanya sudah mencerminkan modernitas itu sendiri," tuturnya.
Suara-Suara yang Tertinggal di Kertas
Arsip-arsip dagang ini juga menghadirkan sisi lain yang lebih manusiawi. Yusak menyebutnya sebagai suara-suara yang tertinggal di kertas. Ada "suara" kurir yang melintasi kota demi kota, pedagang yang menunggu kiriman datang, atau pekerja yang melinting rokok dengan ritme nyaris seperti doa.
Arsip, dalam pandangan ini, nggak lagi menjadi benda mati, melainkan fragmen dari sebuah ekosistem ekonomi rakyat yang hidup dan bekerja.
Selain arsip dagang PR Delima, Jejak Dagang PR Delima juga memamerkan beberapa arsip atau catatan tentang kunjungan Parada Harahap, tokoh pers Hindia Belanda, yang dimuat di Tjaja Timoer pada Desember 1939.
Di Moesioem Ketjil H.M. Ashadie itu, turut dipamerkan pula iklan PR Delima di koran Asia Raya yang berangka tahun 1942, menjadi penanda bahwa Kudus nggak berdiri di pinggir sejarah. Kota ini terlibat langsung dalam arus industri rokok bumiputera yang tumbuh pesat pada awal abad ke-20.
Yusak mengungkapkan, bukan tanpa alasan CKT menggelar pameran di Moesioem Ketjil H.M. Ashadie. Menurutnya, ia adalah ruang yang paling memiliki kedekatan dengan skala cerita yang dihadirkan. Museum kecil, lanjutnya, memungkinkan pengunjung berhadapan langsung dengan arsip tanpa jarak yang berlebihan.
"Museum adalah tempat di mana masa lalu diuji ulang, dibaca kembali, dipahami ulang, dan diberi kesempatan untuk menyampaikan pesannya kepada masa kini. Karena itulah tempatnya harus di sini (Moesioem Ketjil H.M. Ashadie)," tuturnya.
Pada akhirnya, Jejak Dagang PR Delima hadir bukan semata sebagai pameran arsip, tapi undangan untuk melaju lebih lambat dan mengamati dengan lebih saksama. Menatap lebih dekat cap pos yang mulai retak, tulisan tangan yang nyaris pudar, dan angka-angka yang pernah menentukan hidup banyak keluarga.
Di dalam arsip-arsip itu, kita tidak hanya menemukan sejarah dagang, tetapi juga sejarah ketekunan, keberanian, dan kepercayaan. Sejarah kota. Sejarah keluarga. Dan, pada akhirnya, sejarah kita bersama. (Imam Khanafi/E10)
