BerandaTradisinesia
Jumat, 1 Jun 2023 18:00

Tradisi Pingitan yang Justru Mengobarkan Semangat Perjuangan RA Kartini

Tradisi Pingitan yang Justru Mengobarkan Semangat Perjuangan RA Kartini

Kartini dan saudari-saudarinya sempat menjalani tradisi pingitan. (Kompas/Wikimedia Commons - GPL FDL)

Kartini mulai menjalani tradisi pingitan saat usianya masih 13 tahun. Meski nggak bisa keluar rumah, dia bisa membaca buku, koran, dan majalah. Kegiatan membaca ini jadi salah satu alasan semangatnya semakin membara memperjuangkan hak-hak kaum perempuan.

Inibaru.id – Tradisi pernikahan dengan adat Jawa memang penuh dengan berbagai tahapan dan persyaratan. Nah, salah satu tradisi yang cukup unik adalah pingitan sebelum menikah. Sebenarnya, apa sih tujuan dari tradisi ini?

Menurut keterangan yang diungkap Repository Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, tradisi pingitan dilakukan sebelum akad nikah dan diterapkan kepada calon pengantin perempuan. Dia nggak boleh pergi ke luar rumah, termasuk menemui calon suaminya dalam kurun waktu tertentu sampai hari H akad nikah dilangsungkan.

Terkesan seksis dan hanya menyasar ke kaum perempuan saja ya? Meski begitu, masih banyak masyarakat Jawa yang menerapkannya. Alasannya, hal ini diperlukan demi mencegah calon pengantin perempuan terkena marabahaya.

Salah satu tokoh populer yang harus menjalani tradisi pingitan ini adalah RA Kartini. Kabarnya, dia menjalani tradisi pingitan di usia yang sangat muda, yaitu 13 tahun. Beda dengan penerapan tradisi pingitan pada saat ini, Kala itu, Kartini dipingit sampai ada laki-laki datang melamarnya secara resmi. Artinya, Kartini harus menjalaninya selama bertahun-tahun!

Kisah ini diungkap di situs resmi milik Museum Kebangkitan Nasional yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Dalam unggahan tersebut, disebutkan bahwa Kartini muda dikenal sebagai pribadi yang lincah dan sering bergaul dengan teman-temannya di luar rumah. Namun, semenjak menjalani tradisi pingitan, mau nggak mau dia harus berada di rumah saja.

Lebih dari itu, karena merupakan keturunan bangsawan, Kartini juga harus belajar untuk berbicara dengan suara yang halus. Cara berjalan hingga kebiasaan menundukkan kepala saat ada orang tua lewat juga harus sesuai dengan standar putri bangsawan, Millens.

Semangat Kartini memperjuangkan hak kaum perempuan semakin berkobar saat menjalani tradisi pingitan. (Fimela/Aquila-style.com)

Karena menghabiskan banyak waktu di rumah saja dan mempelajari berbagai aturan yang terkesan kaku, Kartini pun merasa kesepian. Untungnya, dia nggak buta aksara sebagaimana sebagian besar kaum perempuan muda pada masa itu sehingga bisa membaca buku, surat kabar, hingga majalah. Berkat apa yang dia baca itulah, Kartini semakin bertekad memperjuangkan hak-hak kaum perempuan.

Dia berani mengajak ayahnya, Bupati Sosroningrat berdiskusi mengenai hal ini. Ayahnya akhirnya luluh dan mau mengerti kegelisahan anaknya. Kartini yang dalam empat tahun hanya lima kali keluar rumah, yaitu saat ziarah kubur pada awal-awal bulan Ramadan, akhirnya diperbolehkan keluar rumah. Bahkan, bersama dengan saudari-saudarinya, mereka diajak sang ayah melakukan perjalanan dinas pada 1896.

Pada 2 Mei 1898, ketiga anaknya benar-benar dibebaskan dari tradisi pingitan dan dilibatkan dalam perayaan penobatan Ratu Wilhelmina yang dilakukan di Semarang. Meski banyak masyarakat Jawa yang mencibir keputusan ini, Sosroningrat nggak peduli. Dia bahkan membiarkan ketiga anaknya pergi mengunjungi desa-desa di seantero Jepara untuk mendengar keluh kesah dan permasalahan yang dihadapi rakyat kecil.

Pada akhirnya, Kartini dan saudari-saudarinya mampu membuat banyak perubahan, khususnya dalam perjuangan dan pendidikan kaum hawa. Semangat ini nggak disangka justru muncul dari tradisi pingitan.

Untungnya, tradisi pingitan pada zaman sekarang sudah jauh berbeda dari zaman Kartini hidup. Kini, pingitan biasanya hanya dilakukan selama beberapa hari. Itu pun biasanya dilakukan hanya sebagai memenuhi persyaratan tradisi dan tidak membuat calon pengantin perempuan bosan di rumah.

Kalau di lingkunganmu, apakah tradisi pingitan sebelum menikah masih sering dilakukan, Millens? (Arie Widodo/E05)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Mengenal Getuk Kethek, Apakah Terkait dengan Monyet?

13 Apr 2025

Di Balik Mitos Suami Nggak Boleh Membunuh Hewan saat Istri sedang Hamil

13 Apr 2025

Kisah Kampung Laut di Cilacap; Dulu Permukiman Prajurit Mataram

13 Apr 2025

Mengapa Manusia Takut Ular?

13 Apr 2025

Nilai Tukar Rupiah Lebih Tinggi, Kita Bisa Liburan Murah di Negara-Negara Ini

13 Apr 2025

Perlu Nggak sih Matikan AC Sebelum Matikan Mesin Mobil?

14 Apr 2025

Antrean Panjang Fenomena 'War' Emas; Fomo atau Memang Melek Investasi?

14 Apr 2025

Tentang Mbah Alian, Inspirasi Nama Kecamatan Ngaliyan di Kota Semarang

14 Apr 2025

Mengenal Oman, Negeri Kaya Tanpa Gedung Pencakar Angkasa

14 Apr 2025

Farikha Sukrotun, Wasit Internasional Bulu Tangkis yang Berawal dari Kasir Toko Bangunan Kudus

14 Apr 2025

Haruskah Tetap Bekerja saat Masalah Pribadi Mengganggu Mood?

14 Apr 2025

Grebeg Getuk 2025 Sukses Meriahkan Hari Jadi ke-1.119 Kota Magelang

14 Apr 2025

Tradisi Bawa Kopi dan Santan dalam Pendakian Gunung Sumbing, Untuk Apa?

15 Apr 2025

Keindahan yang Menakutkan, Salju Turun saat Sakura Mekar di Korea Selatan

15 Apr 2025

Mereka yang Terlibat dalam Suap Putusan 'Onslag' Kasus Korupsi Minyak Goreng

15 Apr 2025

Harus Bagaimana Agar Ambulans Nggak Lagi Kena Tilang ETLE?

15 Apr 2025

Warga Semarang Sambut Gembira Penghapusan Denda Pajak Kendaraan

15 Apr 2025

Berasal dari Tradisi Eropa, Kelinci Paskah Jadi Simbol Kesuburan

15 Apr 2025

Alasan Sejumlah Asosiasi Jurnalis Menolak Program Rumah Subsidi Wartawan

16 Apr 2025

'Burning'; Ketika Ending Sebuah Film Justru Bikin Bingung Penontonnya

16 Apr 2025