Inibaru.id – Bagus priyayine, pinter ngaji, lan wasis dagang. Bagi warga Kudus, ketiga hal itu lebih familiar disebut Gusjigang. Yap, itu adalah nilai luhur masyarakat Kudus yang nggak lain maknanya adalah bagus pribadinya, pintar mengaji, dan ahli berdagang.
Konon, nilai-nilai luhur itu ditanamkan pemuka agama di Kudus yakni Syekh Jafar Shodiq pada zaman dulu. Ulama yang lebih kerap dipanggil Sunan Kudus itu disebut-sebut yang memprakarsai adanya Negeri Kudus. Dia pula yang mendirikan Menara Kudus, ikon Kabupaten Kudus.
Nah, akhir-akhir ini, nilai-nilai itu kembali digelorakan warga Kudus. Mereka kemudian membuat Museum Gusjigang yang jadi satu dengan Museum Jenang Kudus. Selain itu, gusjigang juga diwujudkan dalam suguhan tari Gusjigang, Millens. Tarian ini ditampilkan dalam acara Visualisasi Dhandangan yang rampung digelar pada Minggu (5/5/2019) di Alun-Alun Simpang 7 Kudus.
Salah satu bagian tari Gusjigang. (Inibaru.id/ Ida Fitriyah)
Tari Gusjigang memang belum lama diciptakan. Menurut sang pencipta tari Gusjigang Endang Tonny, tarian ini belum genap berumur setahun.
“Kami pentas pertama kali waktu Hari Jadi Kudus tahun kemarin,” ujarnya.
Kendati baru tercipta, tarian ini sudah dipentaskan di sejumlah tempat, lo. Endang mengatakan, tariannya itu sudah manggung di Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya.
Gerakan penutup tari Gusjigang. (Inibaru.id/ Ida Fitriyah)
Sesuai namanya, gerakan-gerakan tari itu sarat dengan makna Gusjigang. Unsur "bagus" bisa terlihat dari gerakan tari di bagian awal dan kostum yang digunakan penari. Unsur "ngaji" terlihat dari beberapa gerakan di pertengahan tarian yakni sembahyang dan mengaji secara melingkar. Sementara itu, unsur dagang disimbolkan dengan penyertaan batik Kudus dalam tarian.
“Di Kudus nggak cuma ada jenang dan lentog. Ya ada batik yang sudah terkenal sampai mancanegara,” ungkap pemilik Sanggar Seni Puring Sari ini.
Batik Kudus juga turut diperkenalkan pada tari Gusjigang. (Inibaru.id/ Ida Fitriyah)
Selain gerakan-gerakan yang terinspirasi dari nilai Gusjigang itu, perempuan 58 tahun itu juga mengawinkan tariannya dengan peragaan busana. Jadi, tarian itu nggak cuma dipentaskan penari tapi juga peraga busana yang juga siswa binaan di sanggarnya.
Mengenai jumlah penari, Endang membebaskannya. Namun, semakin banyak pemain dikatanya semakin bagus.
“Sebetulnya bebas tapi biasanya kalau pemainnya lebih banyak itu lebih bagus. Kalau di gedung itu ya antara 6 atau 5 orang, tergantung (luas) panggungnya,” pungkasnya.
Wah, ciamik deh, Millens. Kreativitas memang nggak ada batas. Semoga tarian semacam ini bisa langgeng dan dilestarikan para penerus bangsa ya! (Ida Fitriyah/E05)