BerandaTradisinesia
Minggu, 26 Feb 2022 19:46

Motif Batik yang Tak Boleh Dikenakan Sembarang Orang

Ilustrasi pemakaian batik keraton. (Portal Jember)

Batik adalah salah satu warisan budaya Indonesia yang diakui oleh UNESCO. Dari pelbagai macam motif batik, ternyata ada lo batik khusus yang nggak boleh dikenakan sembarang orang. Apa aja sih?

Inibaru.id – Batik merupakan kain yang dilukis menggunakan canting yang berisi cairan lilin malam. Warnanya dan motifnya beragam dan sangat cantik. Karena alasan ini, nggak heran kalau batik selalu laris dan punya pangsa pasar tersendiri.

Di Indonesia, batik sudah ada sejak lama, tepatnya sejak zaman kerajaan. Meski memang awalnya dikerjakan terbatas dalam keraton dan hanya dipakai oleh orang-orang spesial layaknya raja, keluarga, atau kaum bangsawan, kini batik telah berubah menjadi identitas bangsa dan bisa dipakai siapa saja.

Sejak UNESCO menobatkan batik sebagai warisan budaya Indonesia, nama batik semakin terkenal di kancah internasional. Bahkan, pada 2014, Yogyakarta dinobatkan sebagai Kota Batik Dunia oleh World Craft Council atau Dewan Kerajinan Dunia. Semakin jelas deh kalau batik memang budaya Indonesia yang harus dilestarikan.

Kendati begitu, ternyata batik khas Yogyakarta memiliki sejumlah motif yang nggak bisa dipakai oleh sembarang orang, lo. Tradisi soal batik dengan motif tertentu yang hanya bisa dipakai sejumlah orang ini masih dipegang oleh Keraton Yogyakarta.

Motif-motif batik yang diatur penggunaannya ini disebut sebagai Awisan Dalem. Konon, ada alasan bersifat spritual, religius, atau bahkan magis yang membuatnya nggak boleh dipakai sembarang orang di dalam keraton.

Pelbagai macam batik Awisan Dalem itu antara lain; Parang Rusak Barong, Parang Rusak Gendreh, Parang Klithik, Semen Gedhe Sawat Gurdha, Semen Gedhe Sawat Lar, Udan Liris, Rujak Senthe, Parang-Parangan, Cemukiran, Kawung, dan Huk.

Menariknya, setiap kali ada pergantian sultan, bisa jadi aturan soal motif batik ini juga berubah. Contohlah, motif Parang Rusak dikenal sebagai motif batik pertama yang masuk dalam Awisan Dalem, Millens.

Batik larangan motif kawung. (Berkaos)

Beragam Cerita Motif Batik Larangan

Kemunculan motif larangan Parang ini ternyata punya dua versi cerita, lo. Nah, kalau versi pertama, batik motif Parang berbentuk pedang kabarnya hanya boleh dikenakan para ksatria yang berperang. Sementara di versi kedua, disebutkan kalau motif Parang terinspirasi dari ombak laut selatan yang menerpa karang.

Meski berbeda versi, makna motif batik Parang ini cukup dalam. Yakni seorang raja harus berhati-hati dalam bertindak, bijaksana, dan mampu mengendalikan diri.

Lain lagi dengan motif Kawung, motif berpola geometris dengan empat bentuk elips yang mengelilingi satu pusat. Dalam budaya Jawa, motif ini diberi nama lain yakni keblat papat lima pancer yang memiliki makna sumber tenaga alam atau empat penjuru mata angin.

Motif Kawung juga berbentuk seperti bunga teratai yang sedang bermekaran cantik. Bunga memiliki makna kesucian. Jadi, orang yang memakai batik motif ini diharapkan bisa memberikan manfaat bagi lingkungan sekitar.

Batik larangan motif parang. (Semarangpos)

Pewarnaan Alami dan Pembuatan yang Sakral

Hingga kini, proses pembuatan batik larangan di Keraton Yogyakarta masih dilakukan dengan memperhatikan aturan tradisi. Contohlah, pembuatan batik motif Parang dan Kawung masih menggunakan pewarna alami dari tanaman soga. Hal ini membuat batik dengan motif ini memiliki warna cokelat kekuningan yang khas.

Bahkan, ada hal lain yang harus diperhatikan, yakni adanya ritual sebelum mulai membatik motif larangan. Contohlah, pembuat harus berpuasa satu minggu sebelumnya. Bahkan, mereka harus menyediakan sesajen saat membatik. Menarik, ya?

Meski ada kasan memberikan jarak karena hanya orang tertentu yang bisa memakainya, nyatanya, keberadaan motif batik larangan ini menjadi tradisi yang dilestarikan karena kaya akan kesakralan dan nilai luhur.

Jadi penasaran deh, kamu pernah memakai batik motif larangan nggak, Millens? (His/Fem/IB31/E07)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024