Inibaru.id - Tanpa perdebatan atau bahan apa pun untuk didiskusikan sebelumnya, Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon mendadak melontarkan pernyataan bahwa 17 Oktober adalah Hari Kebudayaan Nasional. Hal itu dipertegas dengan Surat Keputusan Menteri Kebudayaan Nomor 162/M/2025.
SK yang diterbitkan pada 7 Juli 2025 lalu itu resmi menegaskan bahwa penetapan hari yang kebetulan bertepatan dengan hari lahir Presiden RI Prabowo Subianto tersebut akan mulai berlaku sejak keputusan ditetapkan.
Sayangnya, nggak ada kejelasan mengapa 17 Oktober dipilih sebagai Hari Kebudayaan Nasional. Hingga berita ini ditulis, belum ada keterangan tambahan yang menegaskan dasar dari penetapan tangal tersebut.
Dalam SK, Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) hanya mengatakan bahwa kebudayaan adalah bagian dari fondasi, pilar utama, dan instrumen untuk menguatkan karakter bangsa, sekaligus memperteguh jati diri dan meningkatkan citra bangsa untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan.
Dasar Penetapan Hari Kebudayaan
Berdasarkan keterangan dalam SK, mereka menilai bahwa penetapan Hari Kebudayaan Nasionnal diperlukan karena pelestarian kebudayaan penting salah satunya untuk memantapkan peran dan posisi Indonesia dalam memengaruhi arah perkembangan peradaban dunia.
Namun, dari sekian banyak keterangan yang menyebutkan pentingnya menetapkan 17 Oktober sebagai hari Kebudayaan Nasional, nggak ada satu informasi pun yang menyatakan mengapa tanggal tersebut "dipaksakan" sebagai hari yang dimaksudkan untuk melindungi dan melestarikan kebudayaan Tanah Air ini.
Hal itu tampak kontras dengan penetapan hari kebudayaan di tingkat internasional yang saat ini dikenal dengan Universal Day of Culture. Perlu kamu tahu, hari perayaan sekaligus perlindungan budaya yang ditetapkan pada 15 April ini lahir dari perjalanan panjang diplomasi budaya.
Hari yang juga dikenal luas sebagai World Day of Culture ini ditetapkan berdasarkan hari penandatanganan Roerich Pact, sebuah pakta untuk perlindungan lembaga seni dan ilmiah serta monumen bersejarah, di Washington pada 15 April 1935 di bawah inisiatif seniman Rusia Nicholas Roerich.
Jalan Panjang menuju Penetapan
Penetapan Hari Kebudayaan Universal dimulai ketika Roerich mendesak agar budaya dan warisan manusia dilindungi, bahkan lebih tinggi kedudukannya daripada kepentingan militer konflik.
Ide ini diperkuat lewat kampanye “Prayer for Peace and Culture” pada 1933 yang mempromosikan apresiasi terhadap kekayaan budaya universal. Perjuangan panjang ini terus bergulir dan masyarakat mulai memakai tanggal tersebut sebagai dasar peringatan dan event budaya di berbagai negara.
Lithuania menjadi negara pertama yang merayakan Universal Day of Culture pada 2006 dengan menjadikan tanggal 15 April sebagai "hari raya budaya" yang diperingati lewat acara budaya, dialog antar-budaya, dan penggunaan Banner of Peace dengan simbol tiga lingkaran sebagai lambang perlindungan budaya.
Puncaknya, pada 2008 organisasi-organisasi dari berbagai negara membentuk gerakan internasional untuk mengafirmasi tanggal 15 April sebagai Universal Day of Culture (IMAUDC), dengan ribuan individu dan belasan organisasi sebagai anggota aktifnya.
Hari Kebudayaan di Indonesia
Kembali ke penetapan Hari Kebudayaan Nasional di Indonesia. Sedikitnya informasi terkait dasar penetapan 15 Oktober sebagai hari perayaan budaya di Tanah Air baru-baru ini tentu saja memunculkan sejumlah spekulasi, karena nggak ada penjelasan resmi mengenai urgensinya.
Pemberitahuan publik pun minim data latar belakang atau konsultasi publik. Salah satu informasi yang mungkin bisa menjadi dasar adalah usulan Tim Garuda Sembilan Yogyakarta saat Menbud Fadli Zon berkunjung ke Sekar Wangi Resto di Yogyakarta pada 18 Januari 2025.
Dikutip dari Krjogja (19/1/2025), tim yang diinisiasi maestro ketoprak Nano Asmorodono itu mengusulkan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional karena tanggal itu bertepatan dengan hari ketika Presiden Sukarno dan Perdana Menteri Muhammad Natsir menetapkan Bhineka Tunggal Ika sebagai slogan bangsa.
"Kebudayaan adalah jati diri bangsa. Dengan mengatasi perbedaan (melalui slogan Bhineka Tunggal Ika), kita menjadi bangsa yang besar," tutur budayawan sekaligus anggota Tim Garuda Sembilan Yogyakarta, Achmad Charris Zubair, yang hari itu menjadi salah seorang pembicara utama.
Diskusi Pemerhati Budaya
Selain Nano Nano Asmorodono dan Achmad Charris Zubair, Tim Garuda Sembilan Yogyakarta juga diperkuat oleh Rahadi Saptata Abra (pemerhati keris), Bimo Wiwohatmo (maestro keris), Isti Sri Rahayu (koreografer), Arya Ariyanto (pemerhati seni budaya), Yani Saptohoedojo (pemerhati seni rupa), Yati Pesek (maestro seniman tradisi) dan Oni Wantara (pemerhati budaya).
Nano Asmorodono menyebut, kekuatan bangsa Indonesia terletak pada kebudayaan. Maka, dengan semangat Bhineka Tunggal Ika, masyarakat di Tanah Air harus mampu menjadikan kebudayaan sebagai identitas dan kekuatan yang menyatukan.
Usulan itu pun disambut baik Fadli Zon yang berjanji akan menindaklanjutinya dengan kajian yang lebih serius, hingga muncullah SK penetapan Hari Kebudayaan Nasional pada 17 Oktober. Sayangnya, karena nggak dibarengi dengan publikasi kajian akademis atau diskusi terbuka, penetapan SK ini jadi terkesan terburu-buru.
Penetapan Hari Kebudayaan Nasional bukan hanya tentang penerbitan SK, tapi kesediaan masyarakat untuk menjadikan hari itu sebagai perayaan sekaligus komitmen untuk menjaga serta melindungi kebudayaan yang ada di Indonesia.
Menurutmu, sudah tepatkah Hari Kebudayaan Nasional diperingati pada 17 Oktober? Adakah diskusi, kajian, atau mekanisme tertentu yang seharusnya mengawali penetapan sebuah peringatan nasional? (Siti Khatijah/E10)
