BerandaTradisinesia
Sabtu, 19 Jan 2024 15:52

Jejak Bencana Badui; Masyarakat Adat Ajak Semua Pihak Menjaga Alam

Tokoh Badui Dalam, Karmain, saat melintas di salah satu jembatan kayu. (Inibaru.id/ Fitroh Nurikhsan)

Di balik komitmen Suku Badui dalam menjaga alam, kehidupan mereka masih terancam bencana yang disebabkan oleh pihak-pihak luar. Oleh karena itu, masyarakat adat Badui mengajak semua pihak untuk menjadi keasrian alam ini.

Inibaru.id - Suku Badui atau Urang Kanekes hidup berdekatan dengan alam. Seperti sepasang kekasih, mereka dan alam adalah dua hal yang saling menjaga, dan nggak bisa dipisahkan.

Seperti yang kita tahu, Suku Badui sudah ratusan tahun mendiami pedalaman kawasan Pegunungan Kendeng di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Secara garis besar, Suku Badui terbagi atas dua kelompok, yakni Badui Luar dan Badui Dalam. Mereka masih berpegang teguh dengan ajaran leluhur serta berpijak pada aturan adat.

Sayangnya, meski selalu hidup bermesraan dengan alam, perkampungan Suku Badui yang dikelilingi hutan lebat, aliran sungai, dan pegunungan itu tidak serta merta terbebas dari ancaman bencana seperti banjir dan tanah longsor.

Salah satu tokoh adat Suku Badui Dalam, Karmain, menyebut pemukiman Suku Badui pernah diterjang bencana banjir bandang sebanyak dua kali. Teranyar, bencana banjir bandang terjadi bulan September tahun 2022.

"Sepertinya banjir bandang ini permasalahannya adalah ada alam yang berdekatan dengan wilayah Kanekes yang dirusak. Karena kami selalu memelihara hutan supaya utuh, lestari dan aman," ucap Karmain.

Sungai Ciujung yang membentang di pemukiman Badui Dalam dan Badui Luar. (Inibaru.id/ Fitroh Nurikhsan)

Selain banjir bandang, pemukiman Badui juga pernah dilanda bencana tanah longsor di wilayah Desa Nungkulan. Karmain menyakini, bencana tersebut dikarena adanya aktivitas tebang tanam pohon kayu.

"Orang luar lagi yang nebang. Orang Badui tidak boleh (menebang pohon) kecuali untuk kebutuhan rumah-rumah sesepuh adat. Tapi kalau ada uang diusahakan untuk membeli kayu dari luar," jelas Karmain.

Prihatin dengan bencana-bencana yang melanda, lelaki yang menjabat sebagai juru bicara Suku Badui itu meminta seluruh pihak untuk menjaga alam dengan baik. Dia berharap masyarakat sadar selama ini alam sudah bersedia menjadi ruang hidup untuk manusia.

"Kami masyarakat adat Kanekes menjaga alam karena amanat dari leluhur. Kenapa alam harus dijaga? Sebenarnya bukan untuk kami tapi untuk seluruh umat manusia," ungkapnya saat menjadi pemateri soal bencana Badui dalam kegiatan pelatihan jurnalisme warga bersama Asia Pasific Alliance For Disaster Management (A-PAD) Indonesia belum lama ini.

Target Penambangan

Acara diskusi 'Jejak Bencana Badui' yang diselenggarakan oleh APAD (Inibaru.id/ Fitroh Nurikhsan).

Selaras dengan Karmain, Kepala Bidang Ekraf Dinas Pariwisata Provinsi Banten, Rohaendi membenarkan bencana yang terjadi di pemukiman Badui seperti banjir bandang tidak diakibatkan oleh aktivitas Suku Badui. Dirinya tahu betul Suku Badui tidak akan berani melanggar aturan adat.

Lelaki berusia 53 tahun ini kemudian mengungkapkan aktivitas penambangan liar di Gunung Liman-lah yang jadi penyebab utama pemukiman Badui sampai dua kali diterjang banjir bandang.

"Hulu Sungai Ciujung ini berada di Cikeusik. Di sana banyak eksploitasi dan pertambangan liar. Jujur saja kalau ngomong tambang emas dan sebagainya, nanti orang-orang tambang pasti tahu apa itu Badui," kata Rohaendi.

Rohaendi lalu menceritakan kejadian beberapa waktu lalu. Dia melihat tetua adat Suku Badui melakukan protes atas perusakan Gunung Liman. Banyak dari mereka, termasuk ayah Karmain menangis.

"Setelah diinvestigasi, bukan warga Badui yang merusak. Ayah (Karmain) beserta para Badui Dalam lainnya menangis melihat gunung yang dijaga selama ini tiba-tiba hancur oleh penambangan liar," ceritanya.

Oleh sebab itu, sebagai pemangku kebijakan, Rohaendi tidak akan membiarkan siapapun merusak tatanan alam yang sudah dijaga dengan baik oleh Suku Badui.

Ya, Suku Badui telah mengajarkan kepada kita bagaimana manusia bisa tetap hidup tanpa merusak pohon dan mencemari sungai. Jika mereka bisa, kita juga bisa, kan? Maka, janganlah menjadi pihak yang merusak alam dan membuat bumi menjadi makin sakit. Sepakat, Millens? (Fitroh Nurikhsan/E10)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Cantiknya Deburan Ombak Berpadu Sunset di Pantai Midodaren Gunungkidul

8 Nov 2024

Mengapa Nggak Ada Bagian Bendera Wales di Bendera Union Jack Inggris Raya?

8 Nov 2024

Jadi Kabupaten dengan Angka Kemiskinan Terendah, Berapa Jumlah Orang Miskin di Jepara?

8 Nov 2024

Banyak Pasangan Sulit Mengakhiri Hubungan yang Nggak Sehat, Mengapa?

8 Nov 2024

Tanpa Gajih, Kesegaran Luar Biasa di Setiap Suapan Sop Sapi Bu Murah Kudus Hanya Rp10 Ribu!

8 Nov 2024

Kenakan Toga, Puluhan Lansia di Jepara Diwisuda

8 Nov 2024

Keseruan Pati Playon Ikuti 'The Big Tour'; Pemanasan sebelum Borobudur Marathon 2024

8 Nov 2024

Sarapan Lima Ribu, Cara Unik Warga Bulustalan Semarang Berbagi dengan Sesama

8 Nov 2024

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024