BerandaTradisinesia
Jumat, 14 Nov 2019 11:55

Jangan Salah Paham, Keris itu...

Selain keris, ada juga berbagai akik dan barang-barang langka yang turut dipertontonkan pada pameran tersebut. (Inibaru.id/ Sitha Afril)

Minimnya pemahaman soal sejarah keris menjadi senjata para pahlawan pada masa perjuangan melawan Belanda semakin memiringkan citra keris dan lebih sering dianggap mistis. Hal itulah yang kemudian menjadi dasar penyelenggaraan dari pameran edukasi keris di Desa Sukolilo berikut ini!

Inibaru.id – Mungkin banyak orang memandang keris sebagai benda keramat lantaran adanya ritual khusus yang biasanya diadakan untuk keris. Entah itu dijamas atau diarak keliling. Apalagi sejumlah keris diberi nama yang terkesan sangar dan embel-embel adanya "penghuni" di dalamnya. Makin kental deh unsur horor pada keris.

Padahal kalau mau membaca literatur soal keris, kamu bakal menemukan informasi bahwa keris merupakan senjata tradisional yang berjasa bagi Indonesia. Meski kecil dan pendek, keris menjadi senjata andalan para pahlawan dalam mengusir penjajah Belanda. Mereka tetap menggenggam erat kerisnya meski harus beradu dengan bedil.

Senjata ini telah diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia dari Indonesia. Karena itu, sudah seharusnya keris orang Indonesia khususnya Jawa nggak lagi menganggapnya seram. Bagaimana bisa dilestarikan kalau orang memilikinya saja nggak berani.

Pikiran saya soal keris terbuka ketika menghadiri pameran keris dalam rangka menyambut Meron di Desa Sukolilo Pati. Digagas Tosan Aji bekerja sama dengan Kanigoro Pati dan Yayasan Sultan Agung, masyarakat bisa dengan leluasa melihat dan memegang keris yang merupakan koleksi pribadi.

Beberapa keris yang dipamerkan. (Inibaru.id/ Sitha Afril)

"Tidak dapat dipungkiri bahwa sejarah melawan penjajah tidak akan terlepas dari peran keris yang menjadi senjata para pahlawan. Ini yang ingin kami jelaskan pada masyarakat agar stigma mistis dan kemusyrikan yang melekat pada keris itu pupus!” jelas Arifin, penyelenggara, Minggu (10/11).

Saat saya di sana, suasana Gedung Haji Sukolilo nggak terlalu ramai. Hanya tampak sekitar 30-an pengunjung yang berkeliling melihat-lihat keris. Kata panitia, publikasi memang nggak terlalu masif. Sayang sekali, batin saya.

Baca juga: Pameran Keris Semarakkan Tradisi Meron di Desa Sukolilo, Pati

Meskipun panitia mengklaim acara ini untuk menghilangkan stigma negatif keris, situasi jadi lain ketika tercium bau dupa dan kemenyan. Wangi sih tapi... hi! Panitia sukses membuat aura siang itu menjadi sedikit creepy. Sesaat saya pikir ini malah tumpang tindih dengan tujuan acara. Kalau memang mau membersihkan citra mistis keris, harusnya kan pakai pengharum ruangan saja ya. Ha ha

Tapi benar juga, orang-orang ini sangat kejawen. Banyak juga peserta dan pengunjung pameran yang memakai surjan dan blangkon, lo. Saya pikir nggak ada yang salah dengan mempertahankan tradisi. Betul nggak, Millens?  

Suasana pameran keris. (Inibaru.id/ Sitha Afril)

“Saya mendukung kegiatan seperti ini karena bisa menambah wawasan bagi masyarakat, khususnya generasi muda yang kurang begitu memahami nilai filosofi dalam keris dan sejarahnya sebagai senjata pada masa penjajahan," kata Huda, salah seorang pengunjung.

Selain keris, benda-benda lain juga ikut dipamerkan seperti aneka batu dan benda langka. Pengunjung yang memiliki keris yang butuh diperbaiki juga tampak mendatangi venue ini. Ada jasa untuk memperbaiki keris dan bisa ditunggu.

Berkunjung ke pameran ini semakin membuka cakrawala saya tentang senjata tradisional yang satu ini. Soalnya di setiap koleksi yang dipajang, tertera deskripsi singkat dari keris-keris tersebut. Baik nama keris, asal, dan sejarah singkatnya. Keren ya?

Pengunjung juga boleh memegang keris kalau mau. Nggak perlu mengerjakan syarat tertentu. Semoga saja banyak pihak yang mendukung acara seperti ini agar masyarakat lebih paham dan dekat dengan warisan budayanya sendiri. (Sitha Afril/E05)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024