Inibaru.id – Kamu tahu makanan bernama apem? Itu lo, yang dibuat dari tepung beras dicampur dengan tape dan ditambah santan kelapa dan gula. Nah, di Klaten, Jawa Tengah, ada tradisi unik yang berkaitan dengan apem. Apa itu? Namanya tradisi sebar apem Yaqowiyu.
Nama apem berasal dari saduran bahasa arab “affan” yang bermakna “ampunan”. Tujuannya adalah agar masyarakat juga termotivasi selalu memohon ampunan kepada Sang Pencipta. Begitulah arti apem yang merupakan makanan khas yang digunakan dalam tradisi sebar apem Yaqowiyu di Kecamatan Jatinom, Kabupaten Klaten.
Di lakukan setiap Bulan Safar atau bulan kedua tahun Hijriyah, tradisi sebar apem ini dikenal juga sebagai ritual saparan. Konon, tradisi ini bermula pada 1600-an, saat Ki Ageng Gribig yang merupakan keturunan Prabu Brawijaya kembali dari perjalanannya dari Makkah. Dia membawa oleh-oleh berupa tiga buah makanan dari sana. Namun karena terlalu sedikit, kue apem ini dibuat ulang oleh istrinya. Setelah jadi, kue-kue ini kemudian disebarkan kepada penduduk setempat.
Nah, apem yang disebar tersebut kemudian di sebut apem Yaqowiyu. Mengutip Beritagar.id (7/12/2016), disebut demikian karena doa penutup pengajian dari Ki Ageng Gribig berbunyi "Ya qawiyu Yaa Azis qawina wal muslimin, Yaa qawiyu warzuqna wal muslimin".
Baca juga:
Tradisi Susuk Wangan dan Pesan untuk Menjaga Sumber Air
Bedhaya Ketawang, Tarian Sakral dari Keraton Surakarta
Doa itu memiliki makna meminta kekuatan pada Tuhan bagi segenap kaum muslim. Untuk melestarikan ajarannya maka budaya sebar apem kemudian menjadi tradisi tahunan masyarakat sekitar.
Sudah berlangsung sejak lama, tradisi sebar apem ini biasanya diadakan pada hari Jumat setelah Salat Jumat di Masjid Gedhe Jatinom, tempat makam Ki Ageng Gribig. Jika dahulu apem disebar langsung, sejak 1974 apem mulai disusun dalam bentuk dua gunungan yaitu gunungan lanang dan gunungan wadon. Bersamaan dengan itu, tempat sebaran apem juga dipindah. Semula di halaman Masjid Gedhe Jatinom, sekarang di Sendang Plampeyan atau panggung tepi sungai, sebelah selatan Masjid Gedhe dan makam Ki Ageng Gribig.
Oya, dalam membuat gunungan, apem tersebut disusun menurun seperti sate. Jumlahnya sesuai rakaat salat lima waktu. Untuk membedakan jenis gunungan apem kamu bisa melihat dari bentuknya. Gunungan wadon lebih pendek dan bulat sedangkan gunungan lanang lebih tinggi dan di bagian bawah ada kepala macan putih dan ular. Konon keduanya adalah hewan favorit Ki Ageng Gribig.
Nggak hanya ada apem saja, dalam susunan gunungan juga ada kacang panjang,tomat dan wortel yang melambangkan bahwa masyarakat sekitar hidup dari pertanian. Sedangkan di puncak gunungan terdapat mustaka (seperti mustaka masjid) yang di dalamnya berisi apem.
Sebelum disebar, gunungan apem tersebut pada Kamis siang akan diarak dari Kantor Kecamatan Jatinom menuju Masjid Gedhe Jatinom. Setelah kedua gunungan apem sampai di Masjid Gedhe Jatinom, maka gunungan apem tersebut dimalamkan di dalam masjid untuk diberi doa-doa. Pada hari Jumat setelah Salat Jumat, apem tersebut di bawa ke Sendang Plampeyan untuk disebar oleh panitia bersama dengan ribuan apem sumbangan dari warga setempat.
Baca juga:
Penari Lengger Zaman Old Itu Lelaki
Tanam Tembakau Petani Itu Diawali dengan Ritual Among Tebal
Jumlah apem yang disebar setiap tahunnya juga bertambah. Nggak tanggung-tanggung, pada 2017 lalu bahkan mencapai enam ton. Dipercaya mendatangkan berkah, ribuan masyarakat datang berbondong-bondong untuk berebut apem. Bahkan masyarakat dari luar kota yang memercayai hal ini pun ikut datang untuk berebut apem. Para pengunjung yang datang rela berdesak-desakkan di area masjid dan menunggu di bawah menara sebaran apem untuk mendapatkan apem berkah.
Percaya atau nggak akan berkah yang datang dari apem yang disebar, yang jelas tradisi tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Banyak wisatawan yang bahkan datang dari luar kota untuk menyaksikan kemeriahan acara tersebut. Nah, kalau kamu sendiri bagaimana, tertarik untuk menyaksikannya? Tunggu bulan Safar atau Sapar, ya. (ALE/SA)