Inibaru.id - Pernahkah kamu memperhatikan bagaimana sungai mengalir di tengah kota atau desa-desa di Jawa? Di satu sisi, ia dipuja dalam doa, namun di sisi lain, ia sesak oleh plastik dan limbah. Fenomena ini memicu pertanyaan besar; ke mana perginya kearifan lokal yang dulu diagung-agungkan leluhur kita?
Bagi masyarakat Jawa, sungai bukan sekadar infrastruktur alam. Ia adalah banyu panguripan atau air kehidupan. Tanpa sungai, padi di sawah nggak menguning dan sumur-sumur penduduk akan kering. Namun, melampaui fungsi ekologisnya, sungai adalah ruang spiritual yang sangat personal.
Dalam kosmologi Jawa, sungai dianggap sebagai "saudara tua". Ada etika nggak tertulis yang melarang kita berkata kotor atau membuang sampah sembarangan di sana. Larangan bermain di sungai saat senja atau cerita tentang kedung yang angker bisa jadi adalah mekanisme kontrol sosial agar manusia tetap waspada dan menghormati martabat alam.
Bahkan, bagi para pencari jati diri, sungai adalah tempat tirakat. Ritual topo kungkum (berendam di sungai) bukan sekadar mendinginkan badan, melainkan upaya menyelaraskan denyut nadi manusia dengan detak jantung bumi. Sungai adalah saksi bisu transisi kehidupan, mulai dari siraman sebelum pernikahan hingga ritual larung sesaji.
Paradoks: Mengapa Kini Menjadi Tempat Sampah?
Jika filosofi Hamemayu Hayuning Bawono (memperindah keindahan dunia) begitu kuat, mengapa banyak orang Jawa justru menjadikan sungai sebagai tempat sampah raksasa? Suluk Islam Jawa menyebut ada beberapa faktor yang menyebabkan pergeseran ini:
Erosi Nilai Akibat Modernitas
Desentralisasi budaya membuat nilai-nilai wingit (keramat) dianggap sebagai takhayul belaka. Ketika kesakralan hilang, sungai hanya dipandang sebagai "saluran pembuangan" yang efisien secara ekonomis.
Krisis Lahan dan Urbanisasi
Padatnya pemukiman di bantaran sungai mengubah orientasi rumah yang dulu menghadap sungai (sebagai sumber kehidupan) menjadi membelakangi sungai (sebagai area belakang/kotor).
Putusnya Transmisi Pengetahuan
Ritual Bersih Kali kini seringkali hanya menjadi seremonial tanpa pemaknaan mendalam bagi generasi muda.
Menemukan Kembali Pijakan Budaya
Mengembalikan martabat sungai nggak cukup hanya dengan regulasi pemerintah. Kita butuh kembali ke akar. Memperlakukan sungai dengan hormat adalah bentuk etika ekologis tradisional yang paling nyata.
Menjaga sungai tetap bersih bukan hanya soal sanitasi, tapi soal menjaga martabat diri sendiri sebagai manusia yang hidup dari tetesan airnya. Mari kita mulai lagi dengan hal sederhana. Berhentilah menganggap sungai sebagai "halaman belakang", dan mulailah melihatnya sebagai wajah depan peradaban kita! (Siti Zumrokhatun/E05)
