Inibaru.id - Telah sejak lama metode hidroponik diterapkan di dunia. Di Indonesia, cara bertani dengan media tanam air bernutrisi itu biasa menjadi solusi bagi para "petani" yang memiliki keterbatasan lahan. Tanaman yang biasa dibudidayakan adalah palawija.
Kondisi tanah yang buruk, cuaca yang kurang baik, atau lahan yang sempit menjadi sejumlah alasan kenapa orang beralih ke sistem hidroponik. Namun, perawatan yang njelimet dan biaya yang besar membuat sebagian petani enggan menggunakannya. Solusinya, dengan metode semi-hidroponik!
Nah, di Kelurahan Trimulyo, Kecamatan Genuk, Kota Semarang, Jawa Tengah, kamu bisa menjumpai para petani yang tengah menerapkan sistem semi-hidroponik ini. Mereka adalah warga RT 5 RW 10.
Parmin, salah seorang penggerak pertanian di RT tersebut menuturkan, semi-hidroponik adalah metode yang paling cocok diterapkan di wilayahnya. Berada di pesisir yang panas, nggak jauh dari Terminal Terboyo, dan lahan yang terbatas, menjadi alasan kenapa semi-hidroponik paling cocok.
Semi-hidroponik, tutur sosok yang kini dikenal sebagai koordinator tanam di kampungnya itu, tetap menggunakan media tanam tanah, yang dicampur dengan sekam. Media tanam ini kemudian dihubungkan dengan penampungan air dalam paralon di bawahnya menggunakan semacam sumbu.
“Jadi, di atas paralon itu ada pot tanaman yang berisi tanah dan sekam,” terangnya, yang juga menjelaskan bahwa sekam tetap diperlukan untuk wilayah pesisir yang panas agar suhu tanaman bisa terjaga.
Kemudian, air pada paralon yang diisi tiap minggu itu juga dicampuri nutrisi AB Mix yang kerap dipakai petani hidroponik untuk memacu perkembangan tanaman. Dengan sistem pengairan ini, mereka cukup menyiram tanaman sekali dalam seminggu.
Belajar Otodidak
Parmin menuturkan, metode semi-hidroponik ini didapatkan para warga melalui proses yang lumayan panjang. Semua itu, lanjutnya, dipelajari secara otodidak, nggak ada yang mengajari.
“Kami coba cari referensi di Youtube dan artikel-artikel,” jelasnya.
Teknik semi-hidroponik, masih menurut Parmin, dianggapnya paling tahan terhadap segala medan dan kondisi. Ini berbeda dengan hidroponik. Kendati sistem hidroponik lebih simpel, perawatannya harus lebih fokus.
Kelemahan hidroponik, lanjut sosok murah senyum tersebut, kandungan air sebagai media tanam bisa berubah apabila terkena panas. Pun ketika hujan. Karena itulah, terang Parmin, hidroponik biasanya diberi atap agar selalu terlindungi.
Hal ini, imbuhnya, berbeda dengan metode semi-hidroponik. Kendati semi-hidroponik butuh lebih banyak modal, secara perawatan lebih baik.
"Terkait biaya, kami siasati dengan menggunakan barang bekas. Tanah pun ambil di sekitar rumah,” terangnya.
Sementara, secara terpisah, Kepala Dinas Pertanian Hernowo Budi Luhur mengatakan, di kalangan pertanian, teknik semi-hidroponik yang diterapkan di Trimulyo disebut juga dengan sistem wick atau sistem sumbu.
Dihubungi via pesan singkat pada Jumat (26/6/2020), Hernowo menerangkan, kalau wick adalah semacam sistem pasif yang berarti nggak ada bagian yang bergerak. Larutan nutrisi di penampungan paralon ditarik ke dalam media tanam atau pot dengan sumbu, tepat seperti dikatakan Parmin.
"Wick cocok untuk semua lokasi. Kuncinya ada pada sinar matahari. Jadi, jika asupan sinar matahari terjaga, tanaman akan subur," pungkasnya.
Nah, kalau tertarik menggunakan teknik semi-hidroponik, bisa banget, lo, Millens! Eh, tapi, kalau pengin lebih detail, ada baiknya kamu main ke tempat para pembudidaya ini dulu deh! (Audrian F/E03)