Inibaru.id – Tiap jepretan berharga. Suatu ketika teman saya, seorang fotografer senior yang yang sudah menggeluti fotografi sejak belasan tahun silam, mengatakannya. Saya mengangguk, tapi sejujurnya nggak relate dengan apa yang dikatakannya kala itu.
Saya yang lahir pada akhir 1990-an memang nggak akan memahaminya. Sebagai pengguna kamera digital, saya bisa menjepret sebanyak-banyaknya dan menghapus yang nggak dibutuhkan. Namun, nggak demikian dengan kamera analog, jenis kamera film yang mulai ditinggalkan saat saya baru lahir.
Kamera analog yang memakai gulungan film sebagai ruang penyimpanan memang punya keterbatasan, yakni sekitar 36 frame saja. Berbeda dengan kamera digital yang memiliki fitur penampil, model analog belum memilikinya. Itulah kenapa tiap jepretan kamera analog begitu berharga, karena perlu dipikirkan dengan saksama.
Nggak hanya saat memotret, proses mencetak foto pada kamera analog juga butuh kesabaran. Pita dari rol film harus dikeluarkan lalu dicuci dengan sejumlah cairan khusus, lalu dicetak ke kertas foto atau didigitalisasi dengan cara di-scan.
Ribet? Tentu saja! Namun, keribetan inilah yang belakangan justru digandrungi penyuka fotografi di Tanah Air. Di pelbagai media sosial, mudah sekali melihat postingan foto yang dibidik menggunakan kamera analog, yang biasanya ditandai dengan tagar #35mm.
Panduan untuk Pemula
Untuk pemula yang baru mencoba menggeluti kamera analog seperti saya, memotret dengan kamera 35mm bukanlah perkara mudah. Beruntung saya bertemu Andika Yogiswara, pehobi sekaligus penjaja kebutuhan kamera analog asal Kota Semarang.
Belum lama ini saya sempat ngobrol dengan lelaki yang lebih akrab disapa Mbahe tersebut. Dia banyak memberikan tips dan panduan gratis untuk pemula seperti saya, yang akan coba saya bagikan di sini. Apa saja?
1. Memilih Kamera Analog
Sebagai penyedia kamera analog, yang lapaknya bisa kamu pantau via Instagram @miss.focus, Mbahe menyarankan, untuk awal-awal, sebaiknya pemula memilih kamera yang sesuai isi kantong saja. Terus, carilah yang mudah dioperasikan.
"Jangan memaksakan diri! Mau tipe apa pun, sebaiknya sesuaikan dengan bujet," ujar Mbahe saat saya temui di tempat kerjanya di Fotogra.film Lab Semarang, belum lama ini. "Kalau nggak mau ribet, pilih kamera pocket (saku) atau point and shot saja dulu."
Untuk kamera saku yang dasar banget, lanjutnya, sebaiknya pilih yang harganya di atas Rp 500 ribu. Menurut dia, kamera saku dengan harga tersebut adalah yang sangat mumpuni untuk dipakai belajar, karena sudah memiliki fitur auto-focus dan light meter yang masih menyala.
"Kamera saku di bawah Rp 500 ribu biasanya pakai optik plastik, ouput hasil foto hanya fokus di tengah, hasil alakadarnya, dan sering vignet (penggelapan pada tepian gambar)," terang lelaki bertubuh ramping tersebut.
2. Mulai Upgrade Kemampuan
Setelah mahir dan terbiasa menggunakan kamera analog, barulah Mbahe memberi saran untuk mulai menambah kemampuan dengan meng-upgrade kamera atau menggantinya dengan yang lebih kompleks. Pilihannya, bisa jenis rangefinder atau single lense reflection (SLR).
“Harganya berada pada kisaran Rp 500 ribu sampai Rp 1 jutaan, sudah siap pakai,” terangnya di sela-sela kesibukannya mengurus sejumlah pelanggan yang datang untuk mencucikan gulungan pita filmnya di Fotogra.film Lab Semarang.
Sedikit informasi, cara kerja rangefinder nggak jauh berbeda dengan kamera digital (kamdig) jenis mirrorless zaman sekarang; yang menangkap foto langsung pada view finder. Sementara, SLR adalah bentuk zadul dari DSLR yang bekerja melalui pemantulan objek dengan cermin.
Laiknya mirrorless dengan DSLR, perbedaan rangefinder dengan SLR juga terletak pada lensanya. Sebagian besar lensa kamera rangefinder nggak bisa diganti alias lensa mati. Sementara itu, Mbahe menambahkan, kamera SLR lebih unggul karena lensanya bisa diganti-ganti.
"Kalau di kamera sudah mentok, bisa upgrade lensa ke jenis medium format atau yang paling tinggi, yang koceknya nggak main-main, beli yang large format," beber pemuda yang mengeluti kamera analog sejak 2011 itu, lalu tertawa.
3. Menjajal Rol Film
Sebagai permulaan, selain kamera, Mbahe juga menyarankan kepada saya untuk menjajal semua rol film yang tersedia di pasaran sebelum menentukan ketertarikan pada jenama mana. Semua rol film, lanjutnya, bisa menghasilkan foto bagus. Jadi, memilih rol film lebih bertujuan untuk memantapkan diri.
"Minimal cobalah tiga rol film untuk mendapatkan pilihan yang pas di hati," terang lelaki yang hampir selalu mengandalkan Fujifilm sebagai rol film andalannya untuk foto-foto lanskap itu.
Perlu kamu tahu, saat ini satu set rol film harganya terbilang sangat mahal. Fujicolor C200 dan Kodak Gold 200, misalnya, rata-rata dibanderol Rp 120 ribu. Namun, menurut Mbahe, harga itu sepadan dengan pengalaman yang didapatkannya.
"Nggak masalah (dengan harga rol yang terus naik), karena fotografi bagi saya adalah hobi untuk refreshing setelah jenuh akan kesibukan sehari-hari," terangnya.
4. Tips-Tips Penting Lainnya
Gizka Jati Parama Rizki, rekan kerja Mbahe di Fotografi.film Lab yang nggak lama kemudian nimbrung bersama kami juga nggak lupa memberikan sejumlah tips. Saran pertamanya adalah jangan asal membuka backdoor (tempat rol film) kameranya.
"Sebelum rol habis, jangan buka backdoor-nya. Ini penting," tuturnya serius.
Gizka, begitu dia biasa disapa, juga nggak menyarankan kamera saku analog dipakai untuk berswafoto, karena rata-rata fokus lensanya berjarak minimal 1,5 meter. Terus, foto indoor sebaiknya menggunakan flash. Dan, yang nggak kalah penting, jangan buru-buru jepret karena kamera analog butuh waktu untuk melakukan fokus.
"Untuk pemula, setelah beli kamera ada baiknya cuci cetak foto dulu sekali untuk melihat ada tidaknya kerusakan minor pada kamera," terangnya bersemangat. "Pokoknya, banyak-banyak tanya dan konsultasi saja dulu."
Wah, ribet juga ya! Namun, memakai kamera analog membuat saya benar-benar lebih menghargai tiap kokangan dan memperhitungkan tiap jepretannya, lo, Millens! Menarik, bukan? (Kharisma Ghana Tawakal/E03)