BerandaPasar Kreatif
Sabtu, 30 Jun 2023 13:55

Nestapa Perajin Tempe; Kelimpungan dengan Harga Kedelai Impor

Jumadi saat mengecek tempe-tempe buatannya. (Inibaru.id/ Fitroh Nurikhsan)

Salah seorang perajin tempe legendaris di Kota Semarang, Jumadi, sering kelimpungan menghadapi harga kedelai impor yang terkadang meroket naik.

Inibaru.id - Semua tahu kalau tempe merupakan salah satu panganan yang digemari masyarakat Indonesia. Dari kalangan bawah, menengah, hingga atas menyukai makanan yang terbuat dari kedelai tersebut.

Olahan tempe nggak hanya tempe goreng atau tempe orek. Seiring perkembangan zaman, banyak kreasi menu kuliner modern seperti burger, grill, dan sandwich berbahan dasar tempe bermunculan. Bahkan di luar negeri, tempe digemari sebagai ikon makanan sehat.

Di balik kepopuleran tempe, ada sebuah nestapa perajin tempe rumahan yang sering kelimpungan dengan lonjakan harga impor kedelai. Mereka dipaksa ektra kreatif ketika harga kedelai impor sedang melambung tinggi.

"Biasanya saya memperkecil ukuran tempe, nggak ada pilihan," ucap seorang perajin tempe legendaris di Kota Semarang, Jumadi, pada Inibaru.id belum lama ini.

Lelaki berambut putih dan wajah yang sudah terlihat keriput itu sangat bergantung kedelai impor. Pasokan kedelai lokal yang tidak bisa memenuhi kebutuhan pasar jadi penyebab utamanya.

"Saya melanjutkan usaha orang tua. Dulu rentang tahun 1960 pakai kedelai lokal. Lama-kelamaan semakin sulit mencari kedelai lokal. Dengan terpaksa mulai tahun 1979 beralih menggunakan kedelai impor," kenang lelaki yang akrab disapa Pak Jum tersebut.

"Padahal kualitas kedelai lokal nggak kalah dengan impor. Enak pokoknya. Tapi memang ada satu kekurangan kalau dimasak nggak bisa berkembang," lanjut Pak Jum.

Sempat Berjaya

Jumadi sedang menuangkan kedelai untuk proses perebusan. (Inibaru.id/ Fitroh Nurikhsan)

Jika mengenang masa lalu, Pak Jum seperti ingin kembali. Baginya, era orde baru sebagai masa kejayaan perajin tempe. Harga kedelai murah karena disubsidi sehingga bisa mendatangkan keuntungan besar.

"Dulu bisa beli rumah buat tempat produksi. Bisa menghidupi keluarga dan saya sampai punya empat pegawai untuk membantu proses produksi," kenang Pak Jum.

Kala itu, rumah usaha tempe Pak Jum yang terletak di Jalan Medoho, Kelurahan Pandean Lamper, Kecamatan Gayamsari cukup sering dikunjungi mahasiswa di Kota Lunpia untuk sekedar belajar mengolah kedelai menjadi tempe.

"Sehari saya bisa produksi 130 kilogram kedelai jadi tempe," ungkap Pak Jum.

Saat orde baru berakhir dan subsidi dicabut, perajin tempe termasuk Pak Jum sering kelimpungan dengan harga kedelai impor yang sering naik-turun. Tinggi rendahnya harga kedelai tersebut imbas dari dollar di Indonesia yang tidak terkendali.

"Zaman Presiden SBY pernah harga kedelai naik sebesar Rp10 ribu per kilo. Kami para perajin tempe banyak yang demo. Akhirnya kami diberi subsidi lagi dan harga kedelai turun Rp6.500," lanjut Pak Jum.

Mencoba Bertahan

Proses perebusan kedelai. (Inibaru.id/ Fitroh Nurikhsan)

Mata Pak Jum mulai berkaca-kaca kala menceritakan kondisi usahanya semakin runyam di masa pandemi Covid-19 dua tahun lalu. Harga kedelai impor sempat menggila hingga tembus Rp14.000 perkilo.

Harga kedelai impor yang tidak terkendali itu membuat Pak Jum dengan terpaksa memberhentikan semua pegawainya. Kini Pak Jum seorang diri mempertahankan usaha warisan dari orang tuanya.

"Dari mencuci kedelai, penggodokan, membersihkan dari kulit ari, merendam, sampai fermentasinya baru jadi tempe. Saya lakukan semuanya sendiri," ujar Pak Jum.

Diakui Pak Jum produksi tempenya sudah menurun dratis. Kendati begitu, lelaki berusia 66 tahun itu berharap pemerintah ikut campur dalam menentukan dan menstabilkan harga kedelai impor.

"Dalam sehari harga kedelai impor kadang bisa naik sampai dua kali, ini sering kali menyusahkan pengrajin kecil," tandas Pak Jum.

Sebuah kondisi yang cukup ironi, ya. Tempe yang kita kenal selama ini adalah makanan yang murah meriah, mudah dijumpai di banyak tempat, dan banyak yang suka. Rupanya untuk memproduksi tempe nggak semudah saat kita melahapnya. (Fitroh Nurikhsan/E10)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Bakmi Palbapang Pak Uun Bantul, Hidden Gem Kuliner yang Bikin Kangen Suasana Jogja

2 Des 2025

Bahaya Nggak Sih Terus Menancapkan Kepala Charger di Soket Meski Sudah Nggak DIpakai?

2 Des 2025

Lebih Mudah Bikin Paspor; Imigrasi Semarang Resmikan 'Campus Immigration' di Undip

2 Des 2025

Sumbang Penyandang Kanker dan Beri Asa Warga Lapas dengan Tas Rajut Bekelas

2 Des 2025

Mengapa Kebun Sawit Nggak Akan Pernah Bisa Menggantikan Fungsi Hutan?

2 Des 2025

Longsor Berulang, Sumanto Desak Mitigasi Wilayah Rawan Dipercepat

2 Des 2025

Setujui APBD 2026, DPRD Jateng Tetap Pasang Target Besar Sebagai Lumbung Pangan Nasional

28 Nov 2025

Bukan Hanya Padi, Sumanto Ajak Petani Beralih ke Sayuran Cepat Panen

30 Nov 2025

Pelajaran Berharga dari Bencana Longsor dan Banjir di Sumatra; Persiapkan Tas Mitigasi!

3 Des 2025

Cara Naik Autograph Tower, Gedung Tertinggi di Indonesia

3 Des 2025

Refleksi Akhir Tahun Deep Intelligence Research: Negara Harus Adaptif di Era Kuantum!

3 Des 2025

Pelandaian Tanjakan Silayur Semarang; Solusi atau Masalah Baru?

3 Des 2025

Spunbond, Gelas Kertas, dan Kepalsuan Produk Ramah Lingkungan

3 Des 2025

Regenerasi Dalang Mendesak, Sumanto Ingatkan Wayang Kulit Terancam Sepi Penerus

3 Des 2025

Ajak Petani Jateng Berinovasi, Sumanto: Bertani Bukan Lagi Pekerjaan Sebelah Mata

23 Nov 2025

Sumanto: Peternakan Jadi Andalan, Tapi Permasalahannya Harus Diselesaikan

22 Nov 2025

Versi Live Action Film 'Look Back' Garapan Koreeda Hirokazu Dijadwalkan Rilis 2026

4 Des 2025

Kala Warganet Serukan Patungan Membeli Hutan Demi Mencegah Deforestasi

4 Des 2025

Mahal di Awal, tapi Industri di Jateng Harus Segera Beralih ke Energi Terbarukan

4 Des 2025

Tentang Keluarga Kita dan Bagaimana Kegiatan 'Main Sama Bapak' Tercipta

4 Des 2025

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

A Group Member of

Ikuti kamu di: