inibaru indonesia logo
Beranda
Hits
Masyarakat Makin Gemar Lahap Tempe, Petani Justru Ogah Tanam 'Dele'
Senin, 12 Sep 2022 11:00
Penulis:
Inibaru Indonesia
Inibaru Indonesia
Bagikan:
Konsumsi tempe di Indonesia masih tinggi, tapi produksi kedelai lokal terus menurun. (Inibaru.id/Triawanda Tirta Aditya)

Konsumsi tempe di Indonesia masih tinggi, tapi produksi kedelai lokal terus menurun. (Inibaru.id/Triawanda Tirta Aditya)

Konsumsi tempe di Indonesia terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Tapi, produksi kedelai lokal justru anjlok. Hal ini karena minat petani untuk menanam kedelai juga semakin turun. Apa yang jadi penyebabnya?

Inibaru.id – Jika bicara tentang lauk yang Indonesia banget, sebagian dari kita pasti langsung menyebut tahu dan tempe. Nyatanya, lauk yang terbuat dari bahan kedelai ini memang digemari siapa saja, baik itu dari kalangan kelas bawah maupun kalangan atas. Hal ini dibuktikan dengan tingginya konsumsi tempe dan tahu di Tanah Air.

Dilansir dari Data Indonesia (23/2/2022), konsumsi tahu dan tempe per kapita orang Indonesia mencapai 0,304 kilogram per minggu pada 2021. Angka ini naik signifikan jika dibandingkan dengan data 2020 yang mencapai 0,293 kilogram per minggu. Mengingat tempe dan tahu bukanlah penganan yang cukup ‘berat’, angka tersebut membuktikan masih larisnya tahu dan tempe di Tanah Air.

Logikanya, jika konsumsi masyarakat terhadap tempe tinggi dan produksi lancar dan nasib petani kedelai jadi kian sejahtera. Namun kenyataannya nggak demikian. Banyaknya tempe dan tahu yang dibeli masyarakat, nggak menjamin para petani kedelai ikut menikmati keuntungannya. Nggak heran jika minat mereka untuk menanam kedelai pun mulai tergerus tahun demi tahun.

Berdasarkan hasil riset Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) yang diungkap Suara pada Jumat (9/9/2022), terungkap bahwa dalam lima tahun terakhir, produksi kedelai lokal Tanah Air terus merosot. Pada 2015 lalu, produksi kedelai di Indonesia mencapai 580 ribu ton. Tapi, pada 2020, tinggal 475 ribu ton. Yang bikin tambah memprihatinkan, luas panen kedelai Indonesia juga anjlok drastis dari 440 ribu hektare pada 2015 menjadi hanya 350 ribu hektare pada 2021.

Angka ini cukup kontras dengan semakin naiknya konsumsi kedelai di Indonesia. Menganut data Food Monitor, CIPS menemukan bahwa konsumsi kedelai nasional pada 2020 lalu mencapai 3,283 juta ton, naik 15 persen dari 2,854 juta ton pada 2015.

Harga Jual dari Petani Nggak Menguntungkan

Petani kedelai merasa harga jual kedelai tidak menguntungkan. (Media Indonesia/Antara/Prasetia Fauzani
Petani kedelai merasa harga jual kedelai tidak menguntungkan. (Media Indonesia/Antara/Prasetia Fauzani

Peneliti CIPS Azizah Fauzi menyebut minat petani untuk menanam kedelai di Indonesia semakin menurun karena dianggap nggak menguntungkan jika dibandingkan dengan tanaman lain seperti padi, sayuran, jagung, dan lain-lain.

“Kedelai yang ditanam tidak menghasilkan panen sebagaimana yang diharapkan,” ungkap Azizah, Jumat (9/9).

Hal ini juga dipertegas oleh pengakuan Ketua Gabungan Kelompok Tani Panugdi Makmur Desa Belor di Kecamatan Ngaringan, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah Abdul Aris. Laki-laki berusia 56 tahun menyebut para petani mengeluhkan harga jual kedelai berjenis gepak ijo yang mereka tanam nggak menguntungkan karena hanya laku Rp 9 ribu per kilogram.

“Idealnya di atas Rp 10 ribu per kilogram. Tapi, saat panen raya bahkan terkadang hanya laku Rp 6 ribu – Rp 7 ribu per kilogram. Itu yang jadi kendala yang membuat petani kurang tertarik menanam kedelai,” ungkap Aris sebagaimana dilansir dari Kompas, (23/2/2022).

Kalah dari Kedelai Impor

Kedelai impor dianggap lebih berkualitas dari kedelai lokal. (Kompas/Abdullah Fikri Ashri)
Kedelai impor dianggap lebih berkualitas dari kedelai lokal. (Kompas/Abdullah Fikri Ashri)

Mengingat produksi kedelai Indonesia nggak mampu memenuhi kebutuhan kedelai nasional, mau nggak mau pemerintah pun mengimpor kedelai dari luar negeri dengan jumlah sekitar 2 juta sampai 2,5 juta ton per tahun.

Sekilas, kebijakan ini dirasa menjadi jalan keluar agar permintaan kedelai produsen tahu-tempe terpenuhi. Tapi sayangnya, hal ini justru berujung pada makin ngenes-nya nasib para petani.

Nggak hanya mampu mengungguli jumlah kedelai lokal, kedelai impor dianggap lebih berkualitas dan lebih cocok untuk dijadikan bahan baku tahu dan tempe. Pasalnya, rasanya lebih enak serta memiliki tingkat rendemen (perbandingan berat kering produk yang dihasilkan dengan berat bahan baku) yang lebih rendah.

Sementara itu, kedelai lokal dianggap memiliki ukuran lebih kecil, kurang bersih, nggak seragam, dan kulit arinya sulit dikupas saat dicuci. Ketika dijadikan bahan baku tempe, proses peragiannya juga lebih lama. Kekurangan inilah turut membuat kedelai lokal kurang diminati produsen tempe di Indonesia.

Terkait hal ini, Serikat Petani Indonesia (SPI) sebenarnya sudah meminta pemerintah untuk mengembangkan benih unggul. Harapannya, jika kualitas kedelai yang dihasilkan lebih baik, pengrajin tahu-tempe bakal tertarik membelinya dan petani kedelai bisa memiliki peruntungan yang berbeda.

“Sayangnya pemerintah sampai sekarang belum mengembangkan benih-benih ungul. Jadi, produksi nasional kita yang dulu bisa memenuhi 70-80 persen, sekarang terbalik jadi 20 persen,” keluh Ketua SPI Henry Saragih sebagaimana dilansir dari Detik, Senin (11/1/2021).

Cukup ironis ya, Millens, melihat nasib petani kedelai di Indonesia di negara yang warganya gemar makan tempe dan tahu? (Arie Widodo/E05)

Komentar

OSC MEDCOM
inibaru indonesia logo

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

Social Media

Copyright © 2024 Inibaru Media - Media Group. All Right Reserved