BerandaPasar Kreatif
Sabtu, 13 Mar 2020 14:00

Menjodohkan Kopi dengan Buku Ala Serikat Dagang Kopi

Salah seorang pengunjung membaca buku koleksi Serikat Dagang kopi. (Inibaru.id/ Isma Swastiningrum)

Sepertinya seru menikmati kopi sambil membaca buku ya, Millens? Kalau kamu tertarik, datang saja ke Serikat Dagang Kopi di Kota Lama Semarang. Dijamin deh, nongkrongmu berfaedah!

Inibaru.id – Majalah BASIS merupakan majalah favorit saya yang sangat susah dicari keberadaannya selama saya tinggal di Semarang. Sudah lebih dari empat toko buku saya putari tapi nggak pernah ketemu. Untuk kali pertama, saya menemukan majalah ini bukan di toko buku, tapi di kedai kopi. Namanya Serikat Dagang Kopi.

Di tempat nongkrong dan ngopi itulah saya menemukan majalah BASIS dengan berbagai edisi keluaran lama. Saya girang bukan kepalang melihatnya. Nggak hanya BASIS, di sini ada pula bacaan-bacaan signifikan lainnya seperti National Geopraphic dan TEMPO.

Selain itu, di sini terdapat perpustakaan khusus yang dulu dikelola oleh seorang aktivis sosial bernama John Dijkstra. Berbagai macam buku bergenre sosial, agama, dan campuran keduanya tertata rapi di perpustakaan yang berada di lantai 1 bangunan.

“Kenapa ada perpustakaan di sini karena beliau (John Dijkstra) suka membaca jadi banyak buku-bukunya disimpan di sini. Memang nggak terlalu kelihatan pergerakannya, cuman beliau fokus di masalah sosial. Tapi itu kita simpan, nggak untuk umum,” kata pendiri Serikat Dagang Kopi Anak Agung Gde Putra Dwipayana atau yang kerap disapa Putra.

Laki-laki asal Bali itu menambahkan, perpustakaan khusus milik John Dijkstra ini nggak dibuka untuk umum beberapa di antaranya karena banyak buku yang hilang serta naskah-naskah yang tua memerlukan perawatannya tersendiri. Meski begitu antara warung kopi dan perpustakaan konsepnya dijadikan satu. Pengunjung masih bisa membaca majalah-majalah di lantai 2.

Minat pengunjung untuk membaca menurut Putra ternyata cukup baik. Buku yang sering dibaca terutama National Geograpic, Tempo, serta beberapa buku tentang kopi dan seni. Pengunjung sambil nongkrong bisa lihat-lihat buku kemudian membacanya, meski nggak bisa dibawa pulang, he-he.

Membaca di Serikat Dagang Buku berikan ketenangan. (Inibaru.id/ Isma Swastiningrum)<br>

Bagi Putra, konsep warung kopi yang ada perpustakaannya baik. Sebab ketika seseorang datang ke warung kopi dan membaca, dia nggak mengganggu sekitar, anteng-anteng. Berbeda dengan mereka yang ngobrol atau sambil main kartu yang cenderung berisik.

“Aku pernah baca penelitian ngopi itu bisa bikin lebih rileks, kalau disangkutpautkan ya mungkin kita bacanya lebih nyaman. Lebih bisa masuk bacaannya. Kopi itu cuma perantara di mana kita bisa diskusi tentang buku atau tentang apapun,” ucapnya.

Banyak Ngopi

Meski begitu, pengunjung di Serikat Dagang Kopi lebih banyak ngopi-nya daripada membacanya. Putra sadar budaya ngopi di Indonesia adalah ngobrol. Dia juga sempat underestimate dengan minat baca di Semarang yang nggak berbeda dengan tempat asalnya Bali, masih kurang.

“Ketika aku coba untuk nyebar majalah-majalah, nyebar buku-buku mereka ada yang nanya boleh dibawa atau nggak. Bahkan ada yang mohon maaf buku kita hilang. Menurutku orang yang mencuri buku itu walaupun salah tapi keren,” tutur dia.

Salah seorang pengunjung Nadia Alma mengatakan, Serikat Dagang Kopi unik karena suasananya yang nggak seperti kafe-kafe biasa. “Kafe ini nggak cuma buat orang untuk bertemu aja, tapi juga di sini ngasih informasi. Terus untuk suasananya juga asyik, asli. Kafe kan identik modern dan ber-AC, di sini beda,” kata mahasiswi jurusan Antropologi Sosial Universitas Diponegoro ini.

Tersedianya buku-buku bagi Nadia juga memberikan keunikan sendiri yang menggambarkan kafe. Buku bisa membantu para pengunjung yang datang sendirian tanpa teman. Seperti dirinya yang datang ke kafe sering sendiri.

“Para pengunjung jenis ini bingung mau ngapain, cuma mau minum atau apa. Kadang-kadang kita butuh alat untuk kita pegang. Kayak buku-buku bisa bantu mereka. Jadi mereka ada hal-hal lain lagi yang bisa dilakukan. Ngisi waktu juga,” ucap Nadia.

Benar juga ya kata Nadia, Millens. Daripada megang HP yang gitu-gitu saja sampai toksik, mending beralih ke buku yuk! (Isma Swastiningrum/E05)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024