Inibaru.id – Majalah BASIS merupakan majalah favorit saya yang sangat susah dicari keberadaannya selama saya tinggal di Semarang. Sudah lebih dari empat toko buku saya putari tapi nggak pernah ketemu. Untuk kali pertama, saya menemukan majalah ini bukan di toko buku, tapi di kedai kopi. Namanya Serikat Dagang Kopi.
Di tempat nongkrong dan ngopi itulah saya menemukan majalah BASIS dengan berbagai edisi keluaran lama. Saya girang bukan kepalang melihatnya. Nggak hanya BASIS, di sini ada pula bacaan-bacaan signifikan lainnya seperti National Geopraphic dan TEMPO.
Selain itu, di sini terdapat perpustakaan khusus yang dulu dikelola oleh seorang aktivis sosial bernama John Dijkstra. Berbagai macam buku bergenre sosial, agama, dan campuran keduanya tertata rapi di perpustakaan yang berada di lantai 1 bangunan.
“Kenapa ada perpustakaan di sini karena beliau (John Dijkstra) suka membaca jadi banyak buku-bukunya disimpan di sini. Memang nggak terlalu kelihatan pergerakannya, cuman beliau fokus di masalah sosial. Tapi itu kita simpan, nggak untuk umum,” kata pendiri Serikat Dagang Kopi Anak Agung Gde Putra Dwipayana atau yang kerap disapa Putra.
Laki-laki asal Bali itu menambahkan, perpustakaan khusus milik John Dijkstra ini nggak dibuka untuk umum beberapa di antaranya karena banyak buku yang hilang serta naskah-naskah yang tua memerlukan perawatannya tersendiri. Meski begitu antara warung kopi dan perpustakaan konsepnya dijadikan satu. Pengunjung masih bisa membaca majalah-majalah di lantai 2.
Minat pengunjung untuk membaca menurut Putra ternyata cukup baik. Buku yang sering dibaca terutama National Geograpic, Tempo, serta beberapa buku tentang kopi dan seni. Pengunjung sambil nongkrong bisa lihat-lihat buku kemudian membacanya, meski nggak bisa dibawa pulang, he-he.
Bagi Putra, konsep warung kopi yang ada perpustakaannya baik. Sebab ketika seseorang datang ke warung kopi dan membaca, dia nggak mengganggu sekitar, anteng-anteng. Berbeda dengan mereka yang ngobrol atau sambil main kartu yang cenderung berisik.
“Aku pernah baca penelitian ngopi itu bisa bikin lebih rileks, kalau disangkutpautkan ya mungkin kita bacanya lebih nyaman. Lebih bisa masuk bacaannya. Kopi itu cuma perantara di mana kita bisa diskusi tentang buku atau tentang apapun,” ucapnya.
Banyak Ngopi
Meski begitu, pengunjung di Serikat Dagang Kopi lebih banyak ngopi-nya daripada membacanya. Putra sadar budaya ngopi di Indonesia adalah ngobrol. Dia juga sempat underestimate dengan minat baca di Semarang yang nggak berbeda dengan tempat asalnya Bali, masih kurang.
“Ketika aku coba untuk nyebar majalah-majalah, nyebar buku-buku mereka ada yang nanya boleh dibawa atau nggak. Bahkan ada yang mohon maaf buku kita hilang. Menurutku orang yang mencuri buku itu walaupun salah tapi keren,” tutur dia.
Salah seorang pengunjung Nadia Alma mengatakan, Serikat Dagang Kopi unik karena suasananya yang nggak seperti kafe-kafe biasa. “Kafe ini nggak cuma buat orang untuk bertemu aja, tapi juga di sini ngasih informasi. Terus untuk suasananya juga asyik, asli. Kafe kan identik modern dan ber-AC, di sini beda,” kata mahasiswi jurusan Antropologi Sosial Universitas Diponegoro ini.
Tersedianya buku-buku bagi Nadia juga memberikan keunikan sendiri yang menggambarkan kafe. Buku bisa membantu para pengunjung yang datang sendirian tanpa teman. Seperti dirinya yang datang ke kafe sering sendiri.
“Para pengunjung jenis ini bingung mau ngapain, cuma mau minum atau apa. Kadang-kadang kita butuh alat untuk kita pegang. Kayak buku-buku bisa bantu mereka. Jadi mereka ada hal-hal lain lagi yang bisa dilakukan. Ngisi waktu juga,” ucap Nadia.
Benar juga ya kata Nadia, Millens. Daripada megang HP yang gitu-gitu saja sampai toksik, mending beralih ke buku yuk! (Isma Swastiningrum/E05)