Inibaru.id - Bukan malam minggu yang muram, beberapa meja masih terisi muda-mudi dan malam juga belum cukup kelam untuk membalik penanda "yes, we are open" menjadi "sorry, we are closed" warna merah di pintu depan, tapi hari itu kafe di dekat kampus ini tampak sepi tanpa alunan lagu.
Biasanya, sejak buka hingga menjelang tutup, kafe bergaya minimalis yang menjual kopi dan pelbagai makanan kiwari ini nggak berhenti memutar musik. Sore pop, lalu balada ala band indie agak malam, dan menjadi jazzy selepas jam sebelas hingga tutup sekitar tengah malam.
Handi, lelaki asal Makassar yang telah lebih dari dua dekade merantau ke Surabaya hingga akhirnya bisa mendirikan kafe yang menjadi langganan anak muda ini mengaku takut jika harus memutar musik di tempat usahanya karena belum paham masalah aturan royalti yang baru saja dikeluarkan pemerintah.
"Aku nggak tahu pasti, tapi dengar-dengar ada kebijakan untuk membayar royalti ke pencipta lagu saat kita putar musik kafe dan restoran meski kita sudah langganan layanan premium di Spotify," tuturnya, Sabtu (2/8/2025). "Belum kupelajari lebih detail, sih. Jadi, sementara begini saja, nggak ada musik."
Kena Sindir Pelanggan
Lelaki 43 tahun itu mengaku harus segera menyelesaikan permasalahan ini karena menurutnya, lantunan musik adalah salah satu daya tarik di kafenya sejauh ini. Dia bahkan pernah kena sindir pelanggannya belum lama ini lantaran kafenya terkesan sepi.
"Iya, pernah dibilang kayak kuburan sama pelanggan," kelakarnya. "Kebetulan kami suka putar lagu dari pemusik indie yang mungkin nggak familiar di telinga khalayak umum. Nah, dia salah satu yang suka dengerin. Ya sudah, aku minta maaf dan kubilang, daripada aku dipenjara, sementara begini dulu, ya!"
Hal serupa juga dikeluhkan Wildan, pemilik coffee shop kecil di Kota Pekalongan. Nggak lama setelah mendengar adanya keharusan kafe untuk membayar royalti tahunan kepada pencipta lagu, dia memilih menyetop memutar musik di tempatnya.
"Tentu saja ada yang komplain. Tapi, kalau harus membayar royalti, sepertinya saya nggak kuat. Nggak nutup. Ini saja sudah ngos-ngosan mempertahankan tempat yang biaya sewanya terus naik tapi pembelinya terus berkurang. Kalau harus keluar biaya tambahan untuk ini (royalti), berat kayaknya," ucapnya.
Aturan Memutar Musik di Ruang Publik
Musik dan tempat makan adalah satu kesatuan yang sejatinya saling mengisi. Namun, sejumlah kafe dan restoran tampaknya memilih menghentikan untuk memutar musik belakangan ini sebagai imbas dari kebijakan yang baru saja diluncurkan pemerintah.
Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum menegaskan, setiap bentuk pemutaran musik di ruang publik oleh pelaku usaha wajib disertai pembayaran royalti kepada pencipta dan pemilik hak terkait.
Direktur Hak Cipta dan Desain Industri DJKI Agung Damar Sasongko mengatakan, kewajiban ini berlaku termasuk untuk pemilik usaha yang sudah berlangganan layanan streaming musik digital premium seperti Spotify, Youtube, atau platform over-the-top (OTT) lain.
"Berlangganan layanan streaming bukanlah dasar yang sah untuk memperdengarkan musik secara terbuka kepada publik secara komersial, karena sifatnya personal. Jika diperdengarkan kepada publik di ruang usaha, masuknya komersial dan butuh lisensi tambahan via mekanisme yang sah,” terangnya, Rabu (30/7).
Mekanisme Pembayaran Royalti
Mekanisme yang sah tersebut, Agung menambahkan, adalah dengan membayar royalti kepada pencipta lagu dan pemilik hak terkait, sebagaimana diatur dalam UU No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan PP No 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Lagu dan/atau Musik.
"Pembayaran dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang secara resmi bertugas menghimpun dan menyalurkan royalti kepada pencipta lagu dan pemilik hak terkait," jelasnya. "Sistem kolektif ini lebih praktis karena pelaku usaha tidak perlu mengurus izin satu per satu dari pencipta lagunya."
Aturan tersebut, lanjutnya, dibuat untuk menjamin perlindungan hak ekonomi bagi para seniman. Maka, saat pelaku usaha memilih untuk nggak lagi memutar lagu-lagu lokal untuk menghindari kewajiban membayar royalti, menurutnya sikap itu justru akan merugikan pencipta.
"Tidak hanya merugikan para seniman, tetapi juga konsumen, serta menghambat pertumbuhan budaya dan industri kreatif nasional," tegasnya.
Besarnya Royalti yang Harus Dibayar
Perlu kamu tahu, besaran royalti yang harus dibayarkan pemilik usaha kepada pencipta lagu dan pemilik hak terkait dihitung berdasarkan jumlah kursi yang tersedia atau luasan area usaha, mengacu pada SK Menteri Hukum dan HAM RI Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016.
Tarif royalti untuk usaha kuliner yang ditentukan dengan jumlah kursi adalah Royalti Pencipta sebesar Rp60.000 per kursi per tahun dan Royalti Hak Terkait sebesar Rp60.000 per kursi per tahun. Agung mengatakan, aturan itu berlaku untuk restoran nonwaralaba dengan 50 kursi.
"Restoran nonwaralaba dengan 50 kursi dikenai tarif royalti sebesar Rp120 ribu per kursi per tahun, sehingga totalnya menjadi Rp6 juta per tahun," tuturnya, dikutip dari Bloomberg Technoz, Minggu (31/7).
Sementara itu, usaha yang dihitung berdasarkan luas areanya, tarif yang digunakan adalah sekitar Rp720 per meter persegi per bulan. Namun, pub, bar, dan bistro akan dikenai tarif Royalti Pencipta sebesar Rp180 ribu dan Royalti Hak Terkait sebesar Rp180 ribu per meter persegi per tahun.
Adapun untuk diskotek dan kelab malam, tarifnya adalah Rp250 ribu untuk Royalti Pencipta dan Rp180 ribu untuk Royalti Hak Terkait per meter persergi per tahun.
Siapa yang Paling Dirugikan?
Jika tersalurkan dengan tepat, kebijakan ini tentu baik untuk seniman. Namun, siapakah yang paling dirugikan? Tanpa mengecilkan karya dan niat baik dari pemerintah, konsumenlah yang ujung-ujungnya bakal terkena imbas dari kebijakan ini.
Biaya yang harus dikeluarkan pemilik usaha kuliner untuk royalti lagu itu kemungkinan akan dibebankan kepada para konsumen dengan menaikkan harga makanan atau minuman. Artinya, konsumen harus membayar lebih besar untuk nongkrong di kafe atau restoran.
Meski dilematis, kemungkinan itulah yang menurut Wildan paling memungkinkan untuk diambilnya. Sementara, Handi mengaku akan memilih memutar musik barat yang nggak kena royalti atau menggandeng pemusik lokal untuk memainkan musik instrumental yang nggak kena royalti.
"Sebagai penyuka musik, memilih lagu-lagu yang nggak populer tapi enak didengar untuk diputar di kafe juga menjadi upayaku untuk membantu pemusik agar lebih dikenal. Tapi, untuk bayar royalti, mohon maaf untuk para seniman, aku belum bisa," tutupnya.
Seperti kata Handi, kita nggak bisa menafikkan keberadaan kafe atau restoran sebagai tempat promosi gratis bagi pemusik, terutama untuk mereka yang baru saja merintis karier di belantika musik. Maka, bukan nggak mungkin pencipta lagu juga akan terkena dampak dari kebijakan ini. Gimana menurutmu, Gez? (Siti Khatijah/E10)
